Langsung ke konten utama

ADELESQUE

Dengan kualitas suara  prima Adele sukses  membuai dunia. Bermodal suara khas dan kejeniusan mencipta lagu Adele berhasil mengukuhkan dirinya di belantika musik dunia. Album kedua dari pernyanyi  bernama lengkap Adele Laurie Blue Adkins  bertajuk 21 ditahbiskan sebagai satu dari 50 album terbaik 2011 oleh Rolling Stone, salah satu majalah paling bergengsi  di dunia. Baca selengkapnya



Rolling Stone bahkan  menyematkan sebaris lirik dari satu lagu fenomenal Adele  Rolling in the Deep, terdapat dalam album 21, yang dianggap  merefleksikan riwayat bermusiknya  sebaris lirik itu ialah Turn my sorrow into treasured gold (mengubah  kepiluanku menjadi emas yang sangat berharga ). Sebaris lirik lagu ini seakan menyiratkan  prediksi Adele perihal takdir baik untuk karir bermusiknya maupun bagi lagu-lagunya yang mencapai kesuksesan fantastis baik di negaranya sendiri Inggris maupun di luar Inggris.

Kabar  terbaru menyebut  Adele dengan album  21 dan Rolling in the Deep  dengan gilang gemilang meraih keenam nominasi Grammy Award 2012  rekaman terbaik, album terbaik, penampilan solo pop terbaik, video musik film pendek terbaik, lagu tahun ini, serta  album vokal pop terbaik.

Berbeda dengan para penyanyi zaman sekarang yang cenderung mengutamakan gaya dan ferforma sebut saja Lady Gaga, Katy Perry, bahkan pendahulu Adele yang memiliki kualitas suara serupa dengan Adele mendiang Amy Winehouse,  Adele tampak memiliki kesadaran bahwa menyanyi terutama dan pertama-tama  ialah persoalan olah vokal. Menyanyi bagi Adele merupakan  laku kesenian yang murni  mengandalkan suara dan tak ada sangkut pautnya dengan cara berpakaian, lenggak-lenggok menari, tampang keren,  bodi sintal,  dan seterusnya.

"Saya suka menyaksikan, buah dada dan pantat Lady Gaga", ujar Adele, "saya suka melihat buah dada dan pantat Katy Perry. Menyukainya, Tapi, itu semua bukan musik saya. Saya tidak menciptakan musik bagi mata. Saya menciptakan musik bagi telinga" celetuk  Adele yang terkenal  spontan, ceplas-ceplos, dan seringkali tertawa  terbahak-bahak dalam setiap kesempatan  wawancara.

Penyataan di atas hampir mustahil keluar dari mulut penyanyi gadungan  yang berkarya semata mangandalkan aji mumpung, tampang mentereng tapi kemampuan terbelakang, pemuja komat-kamit lip-synch, mereka yang  yang tak memiliki sikap lugas, cerdas,  dan tegas dalam bermusik.

Adele bukan sekadar penyanyi ia adalah juga pencipta lagu. Ini salah satu keistimewaan Adele. Sebagian besar lagu-lagu Adele yang  bernuansa soul itu dilatari oleh kehidupan personalnya dalam hal kasih-mesra bersama sang pacar, khususnya berkaitan dengan peristiwa yang mengakibatkan patah hati, kepiluan, melankoli, galau, istilah anak-anak muda rezim Kabinet Indonesia Bersatu II-nya.

Melankoli  ia guratkan pada baris-baris lirik yang terdengar serupa bisikan lembut seorang perempuan yang berulang-kali gagal dimabuk kasmaran tapi terus-menerus mencoba meski tahu akhirnya gagal dan gagal lagi. Melankolia ia peragakan di atas pentas dengan penghayatan yang nyaris tanpa cela.

Ya, dunia sedang dilanda Adelesque. Tua dan muda terlena, besar dan kecil terbuai. Adele, yang mengaku sangat membenci ayahnya itu,  menjadi tren. Tapi mengingat tren adalah sesuatu yang cepat datang dan lekas beranjak pergi (ephemeral) pertanyaan pentingnya akan berapa lama Adele bertahan di puncak kecemerlangan? akankah ia mati muda seperti Amy Winehouse?  Tak ada jawaban pasti.

Tapi setidaknya dengan konsistensi dan totalitas dalam bermusik seperti diperlihatkan Adele sekarang, ia potensial mampu  melampaui apa yang disebut tren itu sendiri, kecuali jika  sang waktu memang berkehendak lain. Selamat Adele, selamat datang Adelesque!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya