Langsung ke konten utama

MERENTANG SAJAK MADURA-JERMAN; CERITA KYAI FAIZI MENAKLUKAN JERMAN


Siapa Kyai Faizi? Ia seorang penyair. Tak cuma itu ia selain menguasai instrumen bass, disebut basis, juga ahli bis, orang dengan kemampuan membaca dan menuliskan kembali segala hal tentang bis seperti susunan tempat duduk, plat nomor, perilaku sopir berikut manuver-manuver yang dilakukan, ruangan, rangka mesin, hingga kekuatan dan kelemahan merk bis tertentu. Terakhir, ia seorang kyai pengasuh pondok pesantren dengan ribuan santri. Ia juga suka mendengarkan lagu-lagu Turki.
Pria ramping nan bersahaja ini lahir di desa Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Sebagai penyair ia  telah membukukan syair-syairnya dalam bunga rampai Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan ke-IV, 2011); kumpulan puisi Delapanbelas Plus (Diva Press, 2007); Sareyang (Pustaka Jaya, 2005); Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011) yang terbaru adalah Merentang Sajak Madura-Jerman Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin (Komodo Books, 2012).  
Buku disebut terakhir merekam kesan-kesan Kyai Faizi  atas berbagai kegiatan yang diikutinya di Berlin, Jerman. Ia bersama seniman dari berbagai bidang kesenian lain dari Indonesia terlibat dalam rangkaian Jakarta-Berlin Arts Festival 24 Juni-3 Juli 2011. Selain Kyai Faizi yang mewakili kesusasteraan, puisi dan prosa, ada juga Sosiawan Leak, Joni Aridinata, dan Jamal D Rahman. Merentang Sajak Madura-Jerman berisi catatan Kyai Faizi sebelum, saat di Jerman, hingga setelah kembali ke Indonesia.
Meski ada kata sajak dalam judul, di dalamnya pembaca hanya akan menemukan sebuah sajak saja, itu pun tanpa judul. Melalui bukunya ini Kyai Faizi tampak ingin memaknai perjalanan ke Berlin sebagai suatu perjalanan puitis dalam artian Kyai Faizi menuliskan kesan-kesannya selalu dengan mengedepankan intuisi kepenyairan; tak ada rujukan ke literatur tertentu (buku, koran, novel, puis, laporan penelitian atau lainnya) tentang topik-topik yang menjadi kekhasan daerah yang dikunjungi; Proses yang lazim dioperasikan para penulis catatan perjalanan. Di buku ini Kyai Faizi  menjadikan dirinya sendiri sebagai sudut pandang tunggal.
Puisi dari Kyai Faizi dalam buku ini ialah sebagai berikut:
Ottoman
apakah kamu tahu bahwa saat ini
seorang lelaki dari desa nun jauh
sedang mengambil air dari tanahmu
untuk membasuh mukanya
berwudlu, sambil menyesap sedikit air darinya
berharap Emre atau Hakan
mengajaknya minum kahve di beranda rumahnya?

Lelaki itu, saat ini, hendak membayar rasa bersalah
di atas sajadah, tikar lembut hasil karya negerimu
dengan kening yang basah.

Malam itu
di antara Maghrib dan Isya
Waktu istijabah, waktu terjepit asak
dia mencicil rasa syukur
menghitung ingat dan lupa
pada banyak lembar sejarah

Di mushalla kecil terpencil itu
ia mengukur jarak nikmat dan kufur
mengukur jarak menang dan kalah/jarak antara kening dan sajadah.

Sajak di atas terdapat di halaman 124-125, menjelang penghujung buku. Sajak ini sajak galau. Menyiratkan pengakuan dosa (confession) dari seorang mahluk pada Sang Khaliq. Dalam tradisi kekristenan, confession biasanya dilakukan seseorang di hadapan seorang pastor, sebagai penjelmaan yang ilahi di dunia. Kepada pastor, demikian proses pengakuan dosa itu, orang biasanya mengakui dan mengatakan dosa-dosa apa saja yang pernah dilakukannya secara sadar dan berharap dapat pengampunan. “Dosa” apa yang diperbuat Kyai Faizi?  Pada halaman 90 Kyai Faizi menulis begini:
Astagfirullah, saya terperanjat. Ini hari Jum’at. Saatnya shalat Jum’at. Saya ingat tadi malam Syafiq (Syafiq Hasyim-Khudori Husnan) mengajak saya untuk shalat. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi, pikir saya. Tapi, saya tidak berhasil mendapatkan nomor kontak Syafiq. Waktu terus berjalan. Tak ada masjid di sekitar sini. Dengan perasaan malu, saya membatin, ‘Jum’at kali ini saya tidak hadir , Tuhan’”.

Inilah salah satu “dosa” Kyai Faizi yang secara lapang dada ia paparkan dalam buku; tak menunaikan shalat Jum’at. Ia merasa bersalah dan perlu mengguratkan perasaan malu dan bersalahnya pada sebuah sajak.
Selain masalah pengakuan dosa tadi, masalah lain yang tak kalah menarik dari buku ini ialah bagaimana Kyai Faizi berhasil membalik klaim “berpikir global, bertindak lokal” menjadi “berpikir lokal dan bertindak lokal” masa bodoh dengan segala keriuhan globalisme.  Sikap Kyai Faizi terumuskan dalam ungkapannya “betapa enak tinggal di Indonesia” (disingkat BETI)
BETI bisa dijadikan kesimpulan keseluruhan isi buku ini. Pernyataan ini mengindikasikan suatu ketidakpuasan Kyai Faizi pada segala hal di Jerman yang dianggapnya asing dan tak bersahabat. Keliru jika pembaca memahami BETI sebagai sebentuk rendah diri yang kompleks sebaliknya,  setidaknya bagi saya, BETI menunjukkan suatu posisi mantap menghadapi segala sesuatu yang dirasa tak sesuai dengan intuisi.
Semangat yang sama dapat tersua pada pendapat Kyai Faizi lain: “Di halaman, cahaya lampu-lampu besar kota telah berpendaran, berusaha memberikan suasana siang di aura malam yang gelap. Suasana indah tercipta. Namun pemandangan asing yang justru saya rasa”.
Sikap Kyai Faizi memperlihatkan watak berbeda tajam dengan kebanyakan orang yang kadang justru menganggap modernisme yang nota bene datang dari Barat itu sebagai sesuatu yang luhur, grandeur, dan mumpuni hingga perlu, meski harus dengan cara merangkak dan merengek, digapai, dipeluk, dan dijadikan orientasi hidup.
Dalam buku ini Kyai Faizi  membuktikan bahwa Berlin khususnya dan Jerman umumnya, negara yang pernah di suatu masa, 1918-1933, setidaknya menurut Peter Gay (dalam Weimar Culture, The Outsider as Insider, Penguin Books, 1968), pernah menjadi episentrum bagi kehidupan kreatif di hampir seluruh daratan Eropa, tak lebih bermutu dari Guluk-guluk, Sumenep Madura,  kampung halamannya.
Buku berhias banyak endorsment ini menarik untuk dibaca karena  menunjukkan bagaiman sikap seorang penyair, seniman dalam arti luas,  bersentuhan dengan kenyataan-kenyataan empirik relatif baru ditemuinya. Selain itu buku ini  juga memperlihatkan bagaimana sikap seorang penyair atas modernisme dan modernitas.
Banyak kisah menarik lain dalam buku ini misalnya tentang sekumpulan warga Indonesia yang membuka tempat pengajian untuk anak-anak meski hanya pada ruangan 6X9 meter, (halaman 53), ziarah Kyai Faizi ke makam  Johann Sebastian Bach (halaman 60), komposer legendaris  yang secara langsung mengalami fase paling kreatif di Weimar.
Sayangnya beberapa uraian dalam buku ini menunjukkan suatu alur yang tidak bertautan erat dari satu paragraf ke paragraf lain. Pada halaman 20 dengan judul “Semangkuk Sup dari Langit” Kyai Faizi memulai catatannya tentang kesan-kesan positifnya pada cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro dan Seno Guira Ajidarma yang menyiratkan apa yang disebut Kyai Faizi sebagai “akhir-luar-duga” tapi tulisan-tulisan Kyai Faizi berikutnya justru tak memperlihatkan adanya korelasi dengan catatan pembuka itu.
Contoh lain pada halaman 90 dan 91 ketika Kyai Faizi, seperti telah disebut di atas, lupa menunaikan  shalat Jum’at dan menyesali kelupaan itu, anehnya di paragraf berikut Kyai Faizi menulis “sesampainya di Asin, saya memesan ‘Malaysian Lamb,’ sejenis gule kambing dengan bumbu khas Malaysia rasanya sangat berat. Perut yang lapar pun terisi sudah.” Kesan yang timbul lupa beribadah dapat ditebus dengan menyantap “Malaysian Lamb.” (Salam Khudori Husnan)







Komentar

  1. Hahahahahaha... terima kasih. Saya sudah membaca esai ini dan sangat senang karena:

    1. ada BETI
    2. ini esai yang pertama untuk buku itu
    3. beberapa masukan saya terima dengan senang hati

    Wah, terima kasih sekali...

    BalasHapus
  2. sama-sama kang. Saya juga senang bisa membaca dan menuliskan kembali hasil pembacaan saya itu. salam.

    BalasHapus
  3. @Jakartaesque: terus terang Anda masih sangat sempat membaca buku ini. Terima kasih.

    1. tanggapan saya tentang tidak adanya korelasi akhir-luar-duga dengan catatan pembuka itu memang agak senjang, ya. Maksud saya bahwa catatan pembuka ini sejenis cerita yang memiliki akhir luar duga, yang tidak dinyana-nyana, maunya bertemu dengan Nanang, eh, malah gagal. Sudah setengah yakin gagal terbang, eh, malah sukses meskipun hampir ketinggalan. Mungkin saya memang kurang halus dan kurang runtut dalam menyanyikan paragraf per paragraf sehingga berkesan kurang padu

    2. soal yang kedua, ya, benar. Itu memang sangat senjang dan berjarak, seolah "confession" begitu mudah hilang setelah makan. Dasar perut. he3x.... Kemungkinan saya menghyentikan penulisan ketika menulis bagian ini. saya lupa. makanya jadi seerti itu.

    Sekali lagi, terima kasih untuk kecermatan Anda.

    BalasHapus
  4. jujur saja. sejak pertama kali tahu bahwa catatan perjalan itu akan dibukukan saya sangat penasaran untuk segera tahu isinya. karena (a) si penulisnya adalah penyair keren dan bersahaja; (b) termasuk suka dengan tulisan catatan perjalanan (catatan perjalanan ini mengingatkan saya pada buku In Europe, karya G. Maak (c) saya ingin tahu bagaimana kesan-kesan penyair Indonesia atas Berlin, mungkin sudah cukup banyak orang Indonesia menuliskannya tapi, entah saya hanya penasaran dengan catatan perjalanan "Merentang" ini. Untuk itu setelah dapatkan bukunya saya langsung marathon membacanya, saya butuh 3X baca buku itu untuk dapat benar-benar tau keasyikan membaca buku.
    Untuk nonor (1) Ya saya juga menduga hal itu. Visi yang bagus sebetulnya dan nuansa "akhir-luar-duga" itu memang terrasa pada hampir keseluruhan buku. Seumpama ditambahkan satu bab khusus tentang "akhir-luar-dalam eh luar-duga itu mungkin ceritanya akan jadi lain. (3) dalam menulis saya juga masih sering berbuat seperti itu (jaka sembung bawa golok antara satu bagian ke bagian lain) dan kalau saya biasanya itu karena kepingin cepet-cepet selesai.

    salam.

    BalasHapus
  5. Hahaha...

    iya, jadi begini, Mas..

    catatan perjalanan ini sama sekali tidak terencana untuk diterbitkan. Saya menulis, ya, karena saya sudah biasa menulis catatan perjalanan sejak kecil dalam diary. Cuma, kebiasaan ini berhenti agak lama dan belakangan kumat lagi setelah suka baca catatan perjalanan naik bis di komunitas bismania.

    Akhirnya, catatan ini saya layout pake MS Word dan saya cetak/fotokopi dan saya kasih sama orang-orang. Nah, pada suatu waktu, ada tamu ke rumah dan bilang, sayang kalau diary ini tidak terbit sebagai layaknya buku.
    “Kok bisa? Tanya saya, ini kan cuma diary”
    Tidak, ini bukan diary biasa, tapi mengandung proses kreatif, sambut dia.
    Akhirnya, saya pun pasrah kepada si penerbit untuk menerbitkannya. Penerbit tertarik jika ada buku ada endorsemen. Nah, minta lha saya pada beberapa orang. eh, setelah beberapa lama, ternyata gak terbit juga. Saya sekarang tidak bisa mundur lagi, buku ini harus terbit karena sudah terlanjur minta endorsemen. Coba kalau tidak, m,ungkin buku ini benar-benar akan difotokopi saja.

    Nah, begitulah, akhirnya buku ini terbit dengan bendera Komodo.

    BalasHapus
  6. Oh, ya.. sampe tiga kali baca? Hebaaaaaat. Saya tidak menyangka ada yang sedemikian peduli..hehe.. terima kasih sekali lagi mas Khudori.

    Oh, ya.. mungkin tak lama lagi buku cerita dari termnil ke terminal akan segera tayang… tunggu, ya.. catatan perjalanan mengandung Pantura dan bau solar…

    Ttd.
    M. Faizi dari blog yang lain.

    BalasHapus
  7. Catatan perjalanan itu menarik karena ada unsur sejarah kekinian di dalamnya seperti kata Seno Gumira Ajidarma: ’Sejarah itu bukan hanya catatan tanggal dan nama-nama, Florencio, sejarah itu sering juga masih tersisa di rerumputan, terpendam dalam angin, menghempas dari balik ombak. Sejarah itu, Florencio, merayap di luar kelas, kini kalian harus mempelajarinya." (Cerpen Pelajaran Sejarah)

    Salam

    BalasHapus
  8. wah, wah...
    apa mau dikata, sementara hanya berpuas diri hanya bisa menikmati kunyahan dari manusia-manusia lainnya! Masih greges pengen mengetahui lubuk di dalam buku ini, selamat Gus. Pengen tau, bentuk tulisannya yang selain sajak, ha ha

    BalasHapus
  9. @jakartaesque: wah, komentar kutipan. hehe. dahsyat.

    @Tamam Ayatullah Malaka: iya, saya juga menulis selain sajak, tetapi tidak intens. Untuk catatan perjalanan, saya menulis sejak dulu, sejak kelas II Mts bahkan, yang saya temukan secara tak sengaja di buku diary lawas. Ini catatan perjalanan yang sayang pertam, yang saya tulis, dan sempat diamanakan:

    http://kormeddal.multiply.com/journal/item/19

    BalasHapus
  10. Sebuah dairy yang ditulis atas dasar kebiasan ternyata menginspirasi banyak orang. Alhamdulillah .

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...