Langsung ke konten utama

KETIKA API DAN BUKU BERTEMU

Waktu itu sekitar paruh terakhir tahun 2000. Aku tengah suntuk-suntuknya menuntut ilmu di salah satu perguruan tak jauh dari pemukiman padat penduduk di kawasan Rawasari, Jakarta. Salah seorang empu berrambut sebahu memberi tugas kepadaku, juga kepada murid-murid lain, untuk mengulas satu tulisan karangan seseorang bernama Melani Budianta. Tak lupa, empu berrambut sebahu, seperti sering dilakukannya, berbaik hati membagikan fotocopian tulisan Melani ke murid-muridnya.
Seingatku tulisan Melani Budianta itu, yang maaf-maaf aku lupa judulnya,  bercerita tentang ‘takdir’ buku di era di mana mesin-mesin industri percetakan sangat berkuasa. Tulisanku sendiri menyoroti masalah pertautan antara kuasa dan pengetahuan di buku-buku. Uraian Melani yang menarik, menggelitik, dan ciamik, membuatku penasaran akan sumber asli tulisan tersebut. Ternyata tulisan Melani adalah salah satu dari sekian banyak tulisan-tulisan lain yang terhimpun dalam satu buku tebal berjudul “Bukuku Kakiku” terbitan Gramedia Pustaka Utama.
“Bukuku Kakiku” menghimpun tulisan dari kaum cerdik pandai jempolan yang pernah dimiliki republik ini; Ajip Rosidi, Budi Darma, Mochtar Pabottingi, Daoed Joesoef, Franz Magnis Suseno, Fuad Hasan, Jacob Oetama, Taufik Abdullah, Yohanes Surya, Rosihan Anwar dan masih banyak lagi. “Bukuku Kakiku” merangkum pengalaman tokoh-tokoh jempolan itu berkaitan dengan buku-buku yang pernah mereka baca; buku pertama yang dibaca, buku yang sangat berpengaruh pada karir intelektual, hingga pandangan-pandangan tokoh-tokoh itu terhadap buku.
Franz Magnis Suseno, dalam  satu tulisan di “Bukuku Kakiku,” bercerita  dengan sangat mengesankan bagaimana  ia saat masih bocah  sebelum  terlelap selalu dibacakan dongengan-dongengan oleh ibunya. Sebuah kebiasaan yang diakuinya sendiri turut membentuk sikap cinta dan hormat pada  buku (baca pengetahuan). Masih dalam tulisan itu Magnis Suseno juga bercerita bagaimana ia membaca  novel-novel Pramoedya Ananta Toer  ”Di Tepi Kali Bekasi” dan “Keluarga Gerilya.”
Pendek kata, “Bukuku Kakiku” adalah salah satu epik dalam sejarah penerbitan buku, sebuah buku yang berbicara tentang buku-buku lainnya. “Bukuku Kakiku” adalah manifestasi cinta dan hormat pada buku. Di balik itu, “Bukuku Kakiku” adalah perwujudan hormat dan cinta pada kebiasaan membaca.
Kini, 2012, penerbit sama yang menerbitkan “Bukuku Kakiku” menjadi satu pihak, di antara sekian banyak pihak yang berdiri di balik aksi pembakaran sebuah buku yang terjadi baru-baru ini. Puluhan, mungkin ratusan, buku terlanjur hangus, menjadi abu, menjadi asap. Tentu di era teknologi digital seperti saat ini buku yang sama,  yang terlanjur diabukan itu, mungkin akan dengan mudah dijumpai lagi. Tapi, rasa-rasanya tindakan membakar buku serupa dengan tindakan membuang  air sisa pemandian bayi sekaligus dengan bayinya.
Padahal, ada banyak cara yang mungkin bisa diambil selain aksi membakar buku; menerbitkan buku tandingan, diperdebatkan dengan mengundang para pihak yang terlibat dalam penyusuan buku itu, diuji oleh sekumpulan pakar dst., karena bisa saja buku yang dibakar itu, tanpa dibakar, sudah bisa dinilai sebagai buku kacangan, tak bergizi, atau lainnya.
Pertanyaannya, benarkah penerbit  satu-satunya pihak yang layak disalahkan? Rasa-rasanya tidak. Terdapat  pihak lain  yang berperan penting di balik terjadinya aksi bakar-bakar buku: pihak yang dengan wawasan keilmuannya,  kecendikiaan yang dimiliki, kearifan yang dipunyai tak mampu  mencegah aksi pembakaran itu; alih-alih mereka malah menjadi api yang oleh si pembakar diarahkan dan dilemparkan ke buku-buku yang tersiram bahan bakar.
Setelah melihat lidah api menjilati lembar demi lembar halaman buku si pembakar dalam bawah sadarnya mungkin berucap:"Bukankah ini yang kalian kehendaki?"








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

MERENTANG SAJAK MADURA-JERMAN; CERITA KYAI FAIZI MENAKLUKAN JERMAN

Siapa Kyai Faizi? Ia seorang penyair. Tak cuma itu ia selain menguasai instrumen bass, disebut basis, juga ahli bis, orang dengan kemampuan membaca dan menuliskan kembali segala hal tentang bis seperti susunan tempat duduk, plat nomor, perilaku sopir berikut manuver-manuver yang dilakukan, ruangan, rangka mesin, hingga kekuatan dan kelemahan merk bis tertentu. Terakhir, ia seorang kyai pengasuh pondok pesantren dengan ribuan santri. Ia juga suka mendengarkan lagu-lagu Turki. Pria ramping nan bersahaja ini lahir di desa Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Sebagai penyair ia  telah membukukan syair-syairnya dalam bunga rampai Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan ke-IV, 2011); kumpulan puisi Delapanbelas Plus (Diva Press, 2007); Sareyang (Pustaka Jaya, 2005); Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011) yang terbaru adalah Merentang Sajak Madura-Jerman Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin (Komodo Books, 2012).   Buku disebut terakhir merekam kesan-kesan Kyai Faizi  atas berbagai ...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...