Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan
otentik.
Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan
pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas.
Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya
dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan
dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar,
pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.
Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir.
"Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita
pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat
pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi.
Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertutur tentang
pengalaman si "Aku" bertemu dengan
seorang lelaki paruh baya yang bekerja sebagai tukang kebun, yang mulai
sepi order karena rumah-rumah yang biasa
ia garap kebersihan dan penataan tamannya mendadak berubah. Pagar-pagar rumah
yang dulu di sekitarnya penuh tanaman tiba-tiba berganti besi dan tembok.
Di "Malam Takbir" tukang kebun dikisahkan mendapat rejeki tak
terduga dari seorang ibu yang merasa berdosa karena akibat perbuatan teledor
anak perempuannya yang sedan bermain bulu tangkis, bola bulu yang pernah jatuh
ke comberan kotor dan ada bangkai tikusnya, tanpa sengaja terjatuh di atas nasi
yang sedang disantap tukang kebun.
Di "Reuni" diceritakan tukang kebun sudah menjadi orang kaya
dan berreuni dengan si "aku." Tukang kebun mengajak si aku ke
mushala, berbuka puasa dengan aneka makanan lezat, bertemu dangan ibu-ini yang
memberi rejeki ke tukang kebun dan seterusnya.
Dramatik di "Malam Takbir" adalah ketika tukang kebun yang
terlihat saleh dan bersahaja tiba-tiba meneteskan air mata saat ada seorang ibu
memberinya amplop. Tak dikisahkan sampe akhir Cerpen apakah tukang kebun itu
akhirnya menerima amplop itu atau tidak.
Dramatik di "Reuni" adalah ketika si "aku"
disadarkan oleh warga bahwa pengalaman-pengalamannya diajak sholat, berbuka,
makan-makan di rumah besar ternyata tak lebih dari ilusi belaka alias hanya
angan-angan saja secara faktual tidak nyata.
"Reuni" dan "Malam Takbir" berakhir sama yaitu
membiarkan terbuka tanpa memberikan sebuah kesimpulan.
Sebuah pembacaan konvensional akan menyimpulkan kedua cerpen bicara
tentang gusur menggusur yang menciptakan ketimpangan sosial khas kehidupan
kota. Sebuah kemungkinan lainnya, kedua cerpen secara simbolis mengetengahkan
problem psikologis orang beragama yang tak lagi bisa membedakan antara
cita-cita dan realita karena adanya desakan model kekuasaan tertentu.
Kemungkinan terakhir, kelihatannya cerita pendek ini masih akan ada
lanjutannya. Untuk yang terakhir ini baik jika ditanyakan langsung ke
penulisnya Hamsad Rangkuti, cerpenis istimewa
dengan penampilan sangat bersahaja
sebersahaja Cerpen-cerpennya, dan yang kini
sedang terbaring sakit dan sangat membutuhkan bantuan Anda, para pembaca yang budiman.
Semoga cepat sembuh bang Hamsad Rangkuti.
Komentar
Posting Komentar