Langsung ke konten utama

Teman Kayak Pacaran (TKP) Penyair dan Tradisi

Saya mendapat buku baru Di Bawah Cahaya yang Terpancar dari Ingatan Terhadapmu (Indie Book Corner, Jogjakarta, 2016), sebuah kumpulan puisi dari seorang penyair bernama Malkan Junaidi. Di bagian-bagian ujung buku yang tertera foto diri si penyair, Malkan menulis antara lain “buku puisi pertamanya ‘Lidah Bulan’ terbit tahun 2011. Satu dua puisinya bisa ditemukan di antologi bersama, antara lain ‘Cinta Gugat’ (Sastra Reboan, 2013); ‘Menulis Puisi Lagi’ (Majelis Sastra Bandung, 2015). Sebuah esainya dimuat di bunga rampai ‘Jimat NU’ (Ar Ruz Media 2014. Sekarang tinggal di Blitar dan bekerja sebagai petani.”
Itu secuil bagian akhir buku Di Bawah Cahaya yang Terpancar dari Ingatan Terhadapmu. Secuil lagi saya cuplik dari bagian-bagian awal.
Bagian awal ini perlu saya cuplik karena unik dan oleh karenanya ingin saya kulik lebih jauh. Bagian itu berbunyi “Tak ada kebaruan. Semua tulisan saya, terutama dari segi bentuk, hanyalah keterpengaruhan oleh para penulis yang melingkungi saya; hanya hibrida dan sintesis; beberapa malah tak lebih dari intertekstualitas.”
Sejujurnya baru kali ini saya menemukan seorang penyair yang secara blak-blakan mengakui bahwa puisi-puisinya tak menyajikan hal-hal baru dan lebih merupakan hasil saling-silang pengaruh dari kreator-kreator yang melingkupinya.
Kebanyakan penyair biasanya berambisi atau setidaknya berkehendak untuk menghadirkan kebaruan dalam puisi-puisinya. Untuk ambisinya itu tak jarang penyair menempuh cara-cara meniru atau bahkan mencuri gaya pengucapan dari para seniman (penyair) yang langsung atau tidak langsung melakukan kontak dengan dirinya.
Jika pun ada semacam pengaruh dari penyair-penyair lain pada puisi dari penyair tertentu pengaruh itu biasanya sengaja disembunyikan serapat mungkin, dibiarkan tersirat, dan sangat jarang tersurat. Walhasil, puisi orang lain yang diam-diam diacu membayangi puisi karya sang penyair. Sebagai contoh perhatikan puisi berjudul Karangan Sikap (dalam Demonstran Sexy, Koekoesan: 2008) dari penyair Binhad Nurrohmat berikut;
Ada penyair muda.
Dalam langkah gagah kuda.
Datang ke Cikini
Sore itu.
“Ini dari saya
karangan sajak gairah pada semesta.
Ini sikap saya
untuk pidato penyair yang menista puisi
dengan berurai air mata.
Siang tadi.
Lalu bandingkan puisi Binhad Nurrohmat dengan puisi karya Taufiq Ismail Karangan Bunga berikut,
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
Lihat. Begitu banyak persinggungan antara puisi Karangan Bunga dengan Karangan Sikap. Kata ‘bunga’ berganti menjadi “sikap;” “tiga anak kecil” berubah menjadi “ada penyair muda;” “dalam langkah malu-malu” diringkus “dalam langkah gagah kuda;” “Salemba” digusur “Cikini” dan seterusnya.
Puisi Karangan Bunga tak secara eksplisit dirujuk oleh Binhad Nurrohmat. Sebaliknya ia sekadar meniru (atau mencuri?) teknik penulisan Taufiq Ismail dalam puisi Karangan Bunga. Menariknya, meski terdapat begitu banyak kesamaan antara Karangan Sikap dan Karangan Bunga, nuansa keduanya terasa sangat berbeda alias kontras;
di satu pihak Karangan Sikap hadirkan nuansa, katakanlah, mayor dan menggelora sedangkan Karangan Bunga mencuatkan nuansa minor dan atau murung. Lugasnya, Karangan Sikap dan Karangan Bunga serupa tapi tak sama.
Adakah kebaruan di balik proses kreatif dialogis ala Binhad Nurrohmat? Saya kira ada. Puisi Karangan Sikap hadirkan kesan-kesan tak hanya berbeda tapi bertolak belakang dengan puisi Karangan Bunga dari Taufiq Ismail.
Asal pembaca ketahui Karangan Sikap hanya satu dari serentetan puisi lain dari Binhad Nurrohmat dalam buku Demonstran Sexy yang menyajikan proses kreatif bersifat “dialogis” seperti yang telah saya terangkan di muka. Puluhan puisi lain yang terdapat di bagian-bagian awal dalam Demonstran Sexy secara meyakinkan memerlihatkan proses kreatif dialogis Binhad Nurrohmat dengan para penyair lain seperti Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Acep Zamzam Noor dan masih banyak lagi.
Lantas bagaimana dengan Malkan Junaidi?
Terdapat beberapa puisi yang meneguhkan pendapatnya yang telah saya kutipkan di atas (“Tak ada kebaruan. Semua tulisan saya, terutama dari segi bentuk, hanyalah keterpengaruhan oleh para penulis yang melingkungi saya”) di antaranya ialah puisi berjudul Chairil Anwar telah Runtuh yang menghadirkan banyak nama-nama penyair dari mulai Goenawan Muhammad, Dorothea, Joko Pinurbo, hingga Afrizal Malna. Salah satu bait Chairil Anwar telah Runtuh berbunyai demikian,
“chairil Anwar telah runtuh. mirat di darahnya tumpah membasahi bumi, menumbuhkan afrizal malna di mana-mana. di antara jilan main ayunan di pohon waktu, berayun bolak-balik dari masa depan ke masa lalu. abad yang berlari. Berlari-lari sambil melambaikan tangan: dada. dada. dada.”
Puisi Chairil Anwar telah Runtuh dalam pembacaan saya paralel dengan dua puisi lain dari Malkan Junaidi yang berjudul Esai tentang Puisi dan Ingatan Terhadapmu. Perhatikan penggalan puisi Esai tentang Puisi;
“sebuah puisi bukanlah sesuatu yang mengisahkan, melainkan kisah itu sendiri; ia bukan biskuit dalam kaleng, melainkan perjalanan biji gandum dan bijih timah dari ladang dan tambang menuju mesin pemanggang dan mesin pencetak itu sendiri.”
Puisi Esai tentang Puisi serupa manifesto kepenyairan Malkan Junaidi. Penciptaan puisi bagi penyair yang mengidolakan Bono dari grup U2 ini, adalah “perjalanan” atau katakanlah sebuah “proses” yang melibatkan secara absoult berbagai sumber-sumber tradisi kreatif yang pernah ada atau sedang berlangsung. “Pelibatan” terjadi baik secara sadar, seperti kemungkinan besar dilakukan Binhad Nurrohmat, tapi seringkali terjadi secara tak sadar seperti dilukiskan Malkan Junaidi dalam puisinya Ingatan Terhadapmu;
“seorang penyair menyebutmu kata sambung, sesuatu yang acap tak dihadirkan agar pembaca tak henti bertanya: gerangan apa yang hilang untuk mengada? alangakah benarnya! betapa aku berusaha menanggalkanmu dari cerita yang aku tulis dan betapa bagian yang rumpang itu hanya bisa kuisi dengan ingatan terhadapmu. betapa aku berusaha mengutuk namamu jadi batu, namun betapa ia malah menjelma udara, bebas keluar masuk paru-paruku (bold dari saya yaa).”
Saling silang pengaruh antara satu penyair dengan penyair lain sontak melahirkan problem serius sekitar isu yang sangat sensitif dalam khazanah kesenian yakni masalah “kebaruan karya” dan “orisinalitas.” Dua tema sentral ini pernah paparkan oleh penyair dan kritikus berpengaruh T.S Eliot dalam esaynya yang sangat kece Tradition and Individual Talent (ditulis sekitar 1919-1920); sebuah esay yang dalam pembacaan saya tampak kuat mewarnai esay memikat dari Budi Darma berjudul Para Pencipta Tradisi (dalam Solilokui, Kumpulan Esei Sastra, Gramedia, Jakarta, 1984).

Saling silang atau percabangan pengaruh antar penyair juga jelas terlihat ketika kita membaca secara serempak dan seksama puisi-puisi Sitor Situmorang dengan Chairil Anwar; Ajip Rosidi dengan Rendra; Sapardi Djoko Damono dengan Subagio Sastrowardoyo, dan Taufiq Ismail dengan Rendra. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya