Langsung ke konten utama

Youtuber Sukses itu Bernama Zakir Naik

Zakir Naik
Medsos berbagi video youtube, menjadi media perkenalan saya dengan ceramah-ceramah pak Naik.
Serius, dingin, dan langsung ke pokok–yang dianggap beliau sebagai–persoalan, seperti itulah gaya pak Naik saat pidato.
Gaya orasi pak Naik sangat berbeda dengan gaya-gaya Kyai NU saat ceramah yang sudah sejak bagian “intro” saja sudah beberapa kali cekikikan.
Pak Naik menampilkan ceramah keagamaan seolah-olah ia, dan audiensnya yang terkesan antusias itu, sedang hidup dalam situasi keamanan berstatus Siaga 1; darurat, penuh ancaman dan kecaman.
Ibarat genre film, ceramah pak Naik adalah oplosan antara laga dan drama khas film-film Bollywood.
Pak Naik tak sekadar berceramah monolog, seringkali beberapa dialog berbalut drama ikut serta.
Keberhasilan sebuah film adalah ketika ia sudah sampai pada level mampu menggabungkan kenikmatan visual dengan kepuasan emosional. Di level Indonesia, Bollywood dengan berbagai proses pembuatan filmnya yang sedemikian rupa, adalah juaranya.
Dan, bukankah pak Naik berkebangsaan India?
Saya awali tulisan ini dengan menyinggung youtube, dan akan saya lanjutkan juga dengan menyinggung youtube.
Jejaring sosial yang mengedepankan audio-visualitas ini tak diragukan lagi menimbulkan dampak mendalam pada industri berbasis audio-visual.
Semua dibikin keki oleh youtube. Sayup-sayup mulai terdengar keyakinan bahwa youtube adalah antitesa dari apa yang kita kenal sebagai televisi.
Pesohor yang begitu berjaya di televisi seperti tergambarkan dalam “share dan rating” mendadak jeblok saat ikut-ikutan mejeng di youtube.
Sebaliknya, dia yang berjaya di youtube seperti tergambarkan dalam perolehan “subscriber” dan “viewers” di akun masing-masing, tak otomatis laris manis di televisi.
Walhasil, dengan mengarak jargon “broadcast yourself” youtube hadir dalam perwujudannya yang mendua; berkah sekaligus musibah.
Ia berkah bagi yang memiliki naluri audio-visual tajam, gestur yang lentur, dan penuh cita rasa. Sebaliknya, youtube adalah musibah bagi mereka yang terbiasa berpikiran kaku, berkeyakinan bahwa semua harus serba jelas dan terpilah, kalkulatif, dan semacamnya.
Youtube menambah panjang durasi bagi tsunami amatirisme global. Orang tak wajib kuliah penyiaran untuk mengetahui nikmatnya bersiaran. Tak perlu juga sekolah sinematografi untuk bisa menyajikan sebuah film yang mampu menyedot berjuta-juta pemirsa.
Maka, lahirlah figur-figur seperti Lifia Niala, Raditya Dika, Bayu Skak, Kaesang, Eka Gustiwana, Reza Oktovian, Chandra Liow, Edho Zell dan masih banyak lagi termasuk yang tidak mengatasnamakan pribadi melainkan manajemen tertentu.
Figur-figur di muka, dikenal dengan sebutan youtubers, tidak hanya terkenal tapi mereka sukses besar secara finansial lewat mekanisme “google adsense.” Sebulan puluhan juta rupiah mengalir ke rekening mereka. 
Sama seperti nama-nama yang telah saya sebut di atas, pak Naik juga tak saya kenal sebelum youtube berbaik hati memperkenalkannya pada saya dan dunia.
Ia “nothing” sebelum akhirnya menjadi “something.”
Akhirnya, bertolak dari konteks di muka, izinkanlah saya menyebut pak Zakir Naik, tentu dengan timnya, sebagai salah satu youtubers tersukses. Selamat!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya