Di
catatan sebelum ini, ke hadapan Anda saya sajikan beberapa puisi dari Malkan
Junaidi yang terkumpul di buku kumpulan puisi “Di Bawah Cahaya yang Terpancar
dari Ingatan Terhadapmu”, yaitu “Ingatan Terhadapmu,” “Esai tentang Puisi,” dan
“Chairil Anwar telah Runtuh.”
Tiga
puisi di atas cukup mengesankan karena berhasil menunjukkan tak hanya posisi
kepenyairan Malkan Junaidi tapi lebih dari pada itu ketiga puisi nenyiratkan
adanya pemaknaan atas hubungan antara seniman, khususnya penyair, dengan apa
yang dikenal sebagai tradisi.
Budi
Darma di salah satu karangannya yang berjudul “Para Pencipta Tradisi” (dalam
“Solilokui Kumpulan Esei Sastra,” Gramedia, 1984, hal 6 s.d 10) menulis begini;
“Pengarang
yang baik adalah pengarang yang dapat menciptakan tradisi. Tapi tunggu dulu.
Untuk dapat menciptakan tradisi, seorang pengarang tentu mempunyai gagasan yang
orisinal. Ketahuilah, tradisi hanya dapat dicipta dengan gagasan-gagasan
demikian. Kecuali itu, pengarang ini juga mempunyai kepribadian yang kuat.”
Tentu
saja keseluruhan tulisan Budi Darma di esai tersebut tak bernuansa sekolahan
seperti tercermin dari kutipan di atas. Sebaliknya, Budi Darma menyuratkan
pemikirannya tentang tradisi dengan gaya bertutur sangat memikat.
Ia
bercerita tentang sosok imajiner, seorang seniman bernama Nirdawat yang mengaku
mendapat daya kreatifnya dari sesuatu yang ia sendiri seringkali tak sadari.
“Dia hanya menyerahkan nasibnya kepada sesuatu yang tidak diketahuinya sendiri,
yang sering memanipulasinya pada waktu dia menulis.”
Tradisi
sendiri menurut Budi Darma lewat mulut Nirdawat “dibentuk atas biasan gagasan
orang lain.”
Nirdawat
berpegang pada kredo kepenulisan, menulis ya menulis saja, berpuisi ya berpuisi
saja, biarkan mengalir begitu saja, dengan tuntunan dan panduan dari sesuatu
yang terpancar dari dalam diri sendiri.
Kendati
demikian, bahkan sesuatu yang tak secara langsung berpengaruh pada diri seorang
baik dia sesais, penyair, maupun dramawan hebat dan diakui sebagai terkemuka
akan selalu dapat dicari padanannya pada tradisi kreatif sebelum atau yang
hidup sejaman dengan esais, penyair, atau dramawan tertentu.
Tradisi
dalam bayangan Budi Darma menyerupai sebuah khazanah, tatanan mapan, hingga
membentuk sebuah ‘komunitas epistemik’ tertentu. Ambil contoh Chairil Anwar.
Pencapaian fantastis puisi-puisi Chairil dapat diamati dari pengaruh yang
dimunculkan baik pada para penyair satu generasi dengannya, misalnya Sitor
Situmorang, atau pada generasi para penyair yang hidup jauh setelah Chairil.
Sitor
Situmorang menulis puisi “Pesan 3 Petani Boyolali” dengan diam-diam menjadikan
puisi “Krawang-Bekasi” Chairil Anwar sebagai wawasan awal. Perhatikan penggalan
puisi Sitor “Pesan 3 Petani Boyolali”tersebut;
//Disaat
maraknya revolusi Agustus:// Pernyair berdendang lagu// Antara Karawang –
Bekasi// Itu adalah kisah anak-anak kami,// Kami petani, petani mana saja, Kami
petani Boyolali// //Nanti-dan tulang belulang akan berkata;// Pada saat
bahagia, pada tiap berHari Raya//Kenanglah, kenanglah nasi dan roti// Yang kamu
makan ini,// Adalah hasil bapak kami,// Yang disuburkan keringat // Tiap
butirnya// Disucikan air mata,// Tiap musimnya,//Lebih dari seribu doa//
Puisi “Krawang-Bekasi”,
yang ditangan Sitor Situmorang menjadi sangat dingin dan serta menjunjung
tinggi perjuangan kaum tani itu, seperti sudah umum diketahui, disinyalir
merupakan gubahan atas puisi karya penyair Amerika Serikat Archibald MacLeis
berjudul “The Young Dead Soldier.” Archibald McLeis bukan satu-satunya penyair
yang bersinggungan dengan Chairil.
Para
pemikir dan penyair lain seperti Marsman, Slauerhoff, Schopenhouer, Nietszche,
Andre Gide, Albert Camus, hingga penyair Tiongkok Hsu Chih-Mo turut memberi
warna bagi puisi-puisi seorang Chairil Anwar. Demi kebaruan puisi-puisinya,
Chairil menggali dan membaca “unsur-unsur yang datangnya dari segala penjuru
masa” (Iwan Simatupang, 2004). Pada titik ini, orisinalitas dan otentisitas tak
dimaknai sebagai sesuatu yang baru sama sekali dalam artian steril dari
berbagai partikel pembentuknya, melainkan seperti ditekankan Iwan Simatupang,
tak lain “terjadinya organisme baru.”
Pola-pola
dialogis (tentang tema ini akan saya uraikan secara terpisah nanti) penyair dengan
tradisi sebelum atau sejaman dengan penyair tertentu juga terbaca dari puisi
Ajip Rosidi “Hanya dalam Puisi” di mana ia menulis //Dalam keretaapi// Kubaca
puisi: Willy dan Mayakowsky// Namun kata-katamu yang kudengar Mengatasi
derak-derik deresi//
“Willy”
yang dipuisikan Ajip Rosidi adalah sapaan akrab untuk Rendra sedangkan
Mayakowsky tak lain adalah Vladimir Mayakovsky seorang penyair, dramawan,
bintang film terkemuka dari Rusia. Ajip Rosidi mencipta puisinya dengan
mengingat Rendra dan Mayakovsky.
Selain
Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo dan Sapardi Djoko Damono juga terlibat
“interaksi senyap” dalam penciptaan puisi masing-masing. Dalam puisi “Kata”
Subagio menulis //Asal mula adalah kata// Jagat tersusun dari kata// Di balik
itu hanya/ Ruang kosong dan angin pagi//
Sapardi
Djoko Damono menghadirkan asal mula itu dalam puisi “Variasi pada Suatu
Pagi”//Sebermula adalah kabut; dan dalam kabut/ Senandung lonceng, ketika
selembar daun luruh// Setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput//(kau dengar juga
seperti Suara mengaduh)//
Kembali
ke Chairil Anwar, lewat karya-karyanya dia telah mencipta tradisi tersendiri di
lingkungan kesenian tanah air. Para penyair setelah dia mau tidak mau
dihadapkan pada pilihan meniru cara pengucapan puitis ala Chairil atau berusaha
sekuat tenaga terbebas dari pengaruh Chairil.
Dinamika
seputar ke-chairilanwar-an dalam puisi Indonesia mutakhir mencuat dalam puisi
Malkan Junaidi “Chairil Anwar telah Runtuh”
“chairil
anwar telah runtuh. puing-puingnya menjelma afrizal malna. binatang dari senja
di pelabuhan kecil itu tidak runtuh sendiri. keruntuhannya bukan sebab uzur
atau harakiri. berdiri tegap dengan godam di tangan mereka, orang-orang dari
lereng tata bahasa kera. dengan wajah yudas bersikeras bilang adalah yesus nama
sejati mereka.
afrizal
malna berserakan, seperti arsitektur kota tempat para murid belajar berdusta
dan mencari puisi dalam pelajaran membunuh sejarah. kota tempat sapardi
menangis dalam hujan dan rendra mendirikan kemah. di luar dorothea berganti
kelamin dan goenawan menyusuri jagat pasemon. di luar thukul sibuk tumbuh di
tembok dan pinurbo asyik mengibarkan sarung.
chairil
anwar telah runtuh. mirat di darahnya tumpah membasahi bumi, menumbuhkan
afrizal malna di mana-mana. di antara jilan main ayunan di pohon waktu, berayun
bolak-balik dari masa depan ke masa lalu. abad yang berlari. berlari-lari
sambil melambaikan tangan: dada. dada. dada. “
Dari
puisi “Chairil Anwar telah Runtuh” terbaca penyairnya memaknai Chairil Anwar
sebagai “monumen puisi” yang tinggal puing-puing lantaran telah diobrak-abrik
dengan godam oleh mereka yang disebut “orang-orang dari lereng tata bahasa
kera.”
Penyair
Afrizal Malna terlihat mendapat tempat amat istimewa pada puisi di atas. Ia
dinggap sebagai perwujudan dari Chairil Anwar dalam bentuknya yang paling modis
dan metropolis.
Para
penyair lain seperti Rendra, Goenawan, Sapardi, Thukul, Dorothea, dan Pinurbo,
(puisi-puisinya terutama) tampak dianggap tak lebih dari bias sinar yang
menambah semarak kemodisan dan kemetropolisan puisi-puisi Afrizal Malna.
Penyair
puisi “Chairil Anwar telah Runtuh” lupa, atau mungkin pura-pura lupa, pada posisi
dirinya sendiri.
Nah,
pertanyaan usil yang tampaknya pas diajukan pada penyair yang menulis puisi
“Chairil Anwar telah Runtuh” ialah di mana letak dirinya sebagai seorang
penyair? Bukankah apa yang ia puisikan tak lebih dari potret Chairil Anwar yang
berdialektika dengan para penyair lainnya?
Benarkah
penyair “Chairil Anwar telah Runtuh” lebih nyaman menjadi sejenis tukang potret
keliling partikelir? Apa keterkaitan antara penyair jenius dan tradisi?
Benarkah tak pernah ada kebaruan dalam ekspresi puitis?
Pertanyaan-pertanyaan
ini akan coba saya carikan jawabannya dicatatan berikutnya dengan mencuri
sedikit wawasan dari “perdebatan” antara T.S Eliot dengan Ralph Waldo Emerson,
gagasan Erich Auerbach tentang “figura,” secuil tentang filsafat komposisi dari
Edgar Allan Poe, analogi universal dari Charles Baudelaire, hingga musikalitas
puisi dari Stephane Mallarme.
Komentar
Posting Komentar