Berbeda dengan
puisi-puisi para penyair Indonesia lain, sebut saja di antaranya Chairil Anwar,
Sitor Situmorang, dan Subagyo Sastrowardoyo, puisi-puisi Rendra selain selalu
memikat saat dibaca, juga terasa nikmat didengar. Musikalitas puisi-puisi
Rendra merupakan akibat langsung dari pemahaman pragmatis Rendra ihwal kesenian
yang merupakan medium bagi kesaksian pada kehidupan, termasuk unsur-unsur
sosial budaya pembentuknya.
Puisi-puisi Rendra
memiliki lapisan-lapisan yang menyiratkan adanya pernegosiasian puisi dengan
jenis-jenis ekspresi kesenian lain, semisal teater, prosa, dan musik. Negosiasi
digelar sekadar untuk mengantisipasi adanya penguasaan bidang-bidang kesenian lain
atas puisi. Walhasil, puisi-puisi Rendra selain selalu tampak bertenaga dan
penuh warna, juga terdengar sangat melodius.
Puisi-puisi Rendra
senantiasa setia kepada irama. Dalam arti ini, puisi-puisi Rendra masih
memiliki keserupaan corak dengan puisi-puisi Chairil Anwar
seperti Derai-derai Cemara dan Sitor Situmorang berikut Malam
Lebaran. Bedanya, pada puisi-puisi Rendra selalu menyusup pemaknaan bahwa puisi
identik dengan tembang.
Terdapat dua peta
sosio-kultural yang melatari posisi kepenyairan Rendra seperti disebut di muka;
pertama, Rendra sedari remaja sudah akrab dengan tradisi tembang lantaran sang
kakek, Raden Wedono Sosrowinoto, adalah wedono keraton,
yang menurut Rendra, gemar mencatat berbagai suluk pedalangan; kedua, adanya
semangat zaman amat dinamis yang membentuk posisi kepenyairan Rendra seperti
terekspresikan dalam generasi 60-an.
Visi
baru
Rendra termasuk
penyair yang secara intensif terlibat dengan nyaris keseluruhan gagasan yang
bersemi pada era 1960-an. Pasalnya, pada tahun 1964 Rendra mendapat undangan
untuk mengikuti seminar sastra di Amerika Serikat sebelum resmi mendapatkan
beasiswa untuk belajar di American Academy of Dramatic
Arts hingga tahun 1967.
Periode 1960 dan awal
1970-an, Amerika Serikat dan Inggris riuh oleh aneka eksperimen di bidang
kesenian, seperti musik, sinematografi, puisi, seni rupa, teater, dan masih
banyak lagi. Kawula muda generasi 1960-an meyakini, seni adalah sarana efektif
untuk menyuarakan pendidikan politik kepada khalayak ramai.
Di Amerika, filosof
Herbert Marcuse (1977), yang namanya dielu-elukan oleh generasi 1960-an,
menyebut ”seni mencerminkan tujuan utama dari keseluruhan revolusi; kebebasan
dan kebahagiaan individual.” Di Inggris, Paul McCartney (1997), personel grup
musik legendaris The Beatles, menyebut filsuf
Bertrand Russell sebagai tokoh yang berperan penting di balik komitmen grup ini
menyuarakan semangat antiperang Vietnam.
Pada masa itu,
pemikir dan seniman bahu-membahu mengampanyekan keadilan global, gerakan
antiperang, keberpihakan dan pembelaan kepada negara-negara terjajah,
perjuangan untuk kembali pada alam, serta komitmen mendalam pada nilai-nilai
spiritual dari Timur.
Generasi 1960-an
tidak lahir dari ruang kosong sejarah. Awal tahun 1940-an hingga 1950-an,
sejarah mencatat adanya gerakan sastra dan kultural baru yang dikenal dengan
sebutan beat yang dipelopori penyair Irwin Allen Ginsberg, Jack
Kerouac, dan William S Burroughs.
Generasi beat mengampanyekan
apa yang disebut ”visi baru” yang berkehendak mengamati dunia melalui cara
pandang baru, makna-makna baru, dan tata nilai baru. Demi visi tersebut,
Ginsberg bahkan menggali wawasan dengan mendalami Zen Buddhisme. Ciri pokok
generasi beat adalah menentang dominasi rasio, dan sebaliknya memuja
intuisi.
Kiprah
generasi beat pada perkembangannya merosot menjadi model kesenian
baru yang sangat superfisial dalam bentuk kultur beatnik. Dimensi-dimensi
estetik generasi beat tergerus paham yang justru hendak dilawannya,
yaitu materialisme dan konsumerisme akut; semangat antikemapanan yang
disuarakan terpelanting menjadi bentuk-bentuk kemapanan baru.
Rendra
dan Remco
Pengaruh
generasi beat pada puisi-puisi Rendra terbaca pada salah satu
puisinya, Sajak Pulau Bali (Lembaga Studi Pembangunan,
1980) //Hidup dikuasai kehendak manusia/tanpa menyimak jalannya
alam//Kekuasaan kemauan manusia/yang dilembagakan dengan kuat/tidak mengacuhkan
naluri ginjal/ hati/empedu/ sungai/ dan hutan//.
Pengaruh beat juga
terbaca pada puisi He, Remco … (Bentang, 2013); //He/
Remco//Tempo dulu//Di sajakmu yang itu//Kamu bilang mati itu,… apa katamu?//O
ya ini terjadi/Aku lihat sendiri/ Bayi haram dibuang ke kali//Yang hitam penuh
polusi//Di dekat pelabuhan//Tentu saja mati//.
Puisi itu menunjukkan
sikap Rendra dalam konfrontasi dengan Remco Campert, penyair Belanda (baca
Barat), negara yang pernah secara agresif melakukan penjajahan terhadap
Indonesia. Puisi ini menyiratkan ketidakpuasan Rendra terhadap puisi Remco,
yang menurut dia, tak secara terus terang mengartikan kematian.
Secara intuitif,
Rendra melihat kematian sebagai fenomena konkret, dapat diraba, diamati, dan
jelas dengan sendirinya. Bagi Rendra tidak perlu larik-larik puitika canggih
untuk menerangkan kematian.
Namun, di sini tidak
ada yang istimewa dengan puisi itu mengingat ada banyak penyair Indonesia
sezaman dengan Rendra yang berpemahaman serupa ihwal kematian. Yang paling
mengesankan di bagian akhir puisi tersebut adalah Rendra menulis, //He,
Remco!//Rokokku habis//Boleh aku minta sebatang dari kamu?// (Puisi ’He,
Remco …’).
Rendra menyadari,
perbedaan sudut pandang yang terjadi di kalangan penyair nyaris sukar
disatukan. Alih-alih melakukan negosiasi panjang ihwal kematian, Rendra lantas
membelokkan topik ke arah meminta sebatang rokok, topik yang diyakini Rendra
lebih berfaedah ketika berhadapan dengan penyair dengan garis pemikiran berbeda
dan berasal dari Belanda pula.
Puisi He,
Remco… yang ditulis pada tahun 1998 paralel dengan puisi Sajak Pulau
Bali yang ditulis Rendra pada tahun 1977 ketika Rendra mencatat sepak
terjang wisatawan asing terhadap keindahan Bali //”My God”/alangkah
murninya mereka//Ia tidak menutupi teteknya//Lihat yang ini!//O
sempurna!//Mereka bebas dan spontan//Aku ingin seperti mereka …// Eh, maksudku
…//Okey! Okey! … //Ini hanya pengandaian saja//.
Melalui He Remco
… dan Sajak Pulau Bali, Rendra bermaksud menegaskan bagaimana sikap
yang harus diambil seorang penyair saat berkonfrontasi dengan penyair lain dan
kebudayaan dari bangsa-bangsa lain. Sebuah sikap kritis, merdeka, dan penuh
percaya diri. Dengan kritisismenya, Rendra menempatkan diri sebagai penyair
berhaluan modern dan karenanya menjadi penyair paling progresif yang pernah
dimiliki Indonesia.
Komentar
Posting Komentar