Langsung ke konten utama

Memahami Sikap Rendra Pada Barat (Kompas, 08 September 2013)

Berbeda dengan puisi-puisi para penyair Indonesia lain, sebut saja di antaranya Chairil Anwar, Sitor Situmorang, dan Subagyo Sastrowardoyo, puisi-puisi Rendra selain selalu memikat saat dibaca, juga terasa nikmat didengar. Musikalitas puisi-puisi Rendra merupakan akibat langsung dari pemahaman pragmatis Rendra ihwal kesenian yang merupakan medium bagi kesaksian pada kehidupan, termasuk unsur-unsur sosial budaya pembentuknya.
Puisi-puisi Rendra memiliki lapisan-lapisan yang menyiratkan adanya pernegosiasian puisi dengan jenis-jenis ekspresi kesenian lain, semisal teater, prosa, dan musik. Negosiasi digelar sekadar untuk mengantisipasi adanya penguasaan bidang-bidang kesenian lain atas puisi. Walhasil, puisi-puisi Rendra selain selalu tampak bertenaga dan penuh warna, juga terdengar sangat melodius.
Puisi-puisi Rendra senantiasa setia kepada irama. Dalam arti ini, puisi-puisi Rendra masih memiliki keserupaan corak dengan puisi-puisi Chairil Anwar seperti Derai-derai Cemara dan Sitor Situmorang berikut Malam Lebaran. Bedanya, pada puisi-puisi Rendra selalu menyusup pemaknaan bahwa puisi identik dengan tembang.
Terdapat dua peta sosio-kultural yang melatari posisi kepenyairan Rendra seperti disebut di muka; pertama, Rendra sedari remaja sudah akrab dengan tradisi tembang lantaran sang kakek, Raden Wedono Sosrowinoto, adalah  wedono keraton, yang menurut Rendra, gemar mencatat berbagai suluk pedalangan; kedua, adanya semangat zaman amat dinamis yang membentuk posisi kepenyairan Rendra seperti terekspresikan dalam generasi 60-an.
Visi baru
Rendra termasuk penyair yang secara intensif terlibat dengan nyaris keseluruhan gagasan yang bersemi pada era 1960-an. Pasalnya, pada tahun 1964 Rendra mendapat undangan untuk mengikuti seminar sastra di Amerika Serikat sebelum resmi mendapatkan beasiswa untuk belajar di American Academy of Dramatic Arts hingga tahun 1967.
Periode 1960 dan awal 1970-an, Amerika Serikat dan Inggris riuh oleh aneka eksperimen di bidang kesenian, seperti musik, sinematografi, puisi, seni rupa, teater, dan masih banyak lagi. Kawula muda generasi 1960-an meyakini, seni adalah sarana efektif untuk menyuarakan pendidikan politik kepada khalayak ramai.
Di Amerika, filosof Herbert Marcuse (1977), yang namanya dielu-elukan oleh generasi 1960-an, menyebut ”seni mencerminkan tujuan utama dari keseluruhan revolusi; kebebasan dan kebahagiaan individual.” Di Inggris, Paul McCartney (1997), personel grup musik legendaris The Beatles, menyebut filsuf Bertrand Russell sebagai tokoh yang berperan penting di balik komitmen grup ini menyuarakan semangat antiperang Vietnam.
Pada masa itu, pemikir dan seniman bahu-membahu mengampanyekan keadilan global, gerakan antiperang, keberpihakan dan pembelaan kepada negara-negara terjajah, perjuangan untuk kembali pada alam, serta komitmen mendalam pada nilai-nilai spiritual dari Timur.
Generasi 1960-an tidak lahir dari ruang kosong sejarah. Awal tahun 1940-an hingga 1950-an, sejarah mencatat adanya gerakan sastra dan kultural baru yang dikenal dengan sebutan beat yang dipelopori penyair Irwin Allen Ginsberg, Jack Kerouac, dan William S Burroughs.
Generasi beat mengampanyekan apa yang disebut ”visi baru” yang berkehendak mengamati dunia melalui cara pandang baru, makna-makna baru, dan tata nilai baru. Demi visi tersebut, Ginsberg bahkan menggali wawasan dengan mendalami Zen Buddhisme. Ciri pokok generasi beat adalah menentang dominasi rasio, dan sebaliknya memuja intuisi.
Kiprah generasi beat pada perkembangannya merosot menjadi model kesenian baru yang sangat superfisial dalam bentuk kultur beatnik. Dimensi-dimensi estetik generasi beat tergerus paham yang justru hendak dilawannya, yaitu materialisme dan konsumerisme akut; semangat antikemapanan yang disuarakan terpelanting menjadi bentuk-bentuk kemapanan baru.
Rendra dan Remco
Pengaruh generasi beat pada puisi-puisi Rendra terbaca pada salah satu puisinya, Sajak Pulau Bali (Lembaga Studi Pembangunan, 1980) //Hidup dikuasai kehendak manusia/tanpa menyimak jalannya alam//Kekuasaan kemauan manusia/yang dilembagakan dengan kuat/tidak mengacuhkan naluri ginjal/ hati/empedu/ sungai/ dan hutan//.
Pengaruh beat juga terbaca pada puisi He, Remco … (Bentang, 2013); //He/ Remco//Tempo dulu//Di sajakmu yang itu//Kamu bilang mati itu,… apa katamu?//O ya ini terjadi/Aku lihat sendiri/ Bayi haram dibuang ke kali//Yang hitam penuh polusi//Di dekat pelabuhan//Tentu saja mati//.
Puisi itu menunjukkan sikap Rendra dalam konfrontasi dengan Remco Campert, penyair Belanda (baca Barat), negara yang pernah secara agresif melakukan penjajahan terhadap Indonesia. Puisi ini menyiratkan ketidakpuasan Rendra terhadap puisi Remco, yang menurut dia, tak secara terus terang mengartikan kematian.
Secara intuitif, Rendra melihat kematian sebagai fenomena konkret, dapat diraba, diamati, dan jelas dengan sendirinya. Bagi Rendra tidak perlu larik-larik puitika canggih untuk menerangkan kematian.
Namun, di sini tidak ada yang istimewa dengan puisi itu mengingat ada banyak penyair Indonesia sezaman dengan Rendra yang berpemahaman serupa ihwal kematian. Yang paling mengesankan di bagian akhir puisi tersebut adalah Rendra menulis, //He, Remco!//Rokokku habis//Boleh aku minta sebatang dari kamu?// (Puisi ’He, Remco …’).
Rendra menyadari, perbedaan sudut pandang yang terjadi di kalangan penyair nyaris sukar disatukan. Alih-alih melakukan negosiasi panjang ihwal kematian, Rendra lantas membelokkan topik ke arah meminta sebatang rokok, topik yang diyakini Rendra lebih berfaedah ketika berhadapan dengan penyair dengan garis pemikiran berbeda dan berasal dari Belanda pula.
Puisi He, Remco… yang ditulis pada tahun 1998 paralel dengan puisi Sajak Pulau Bali yang ditulis Rendra pada tahun 1977 ketika Rendra mencatat sepak terjang wisatawan asing terhadap keindahan Bali //”My God”/alangkah murninya mereka//Ia tidak menutupi teteknya//Lihat yang ini!//O sempurna!//Mereka bebas dan spontan//Aku ingin seperti mereka …// Eh, maksudku …//Okey! Okey! … //Ini hanya pengandaian saja//.
Melalui He Remco … dan Sajak Pulau Bali, Rendra bermaksud menegaskan bagaimana sikap yang harus diambil seorang penyair saat berkonfrontasi dengan penyair lain dan kebudayaan dari bangsa-bangsa lain. Sebuah sikap kritis, merdeka, dan penuh percaya diri. Dengan kritisismenya, Rendra menempatkan diri sebagai penyair berhaluan modern dan karenanya menjadi penyair paling progresif yang pernah dimiliki Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...