Langsung ke konten utama

Gila Agama dalam Cerpen-cerpen Alexander Aur

”Saya juga tidak mau menjual Tuhan. Cukup jadi orang biasa saja dan mengimani Tuhan dengan cara yang biasa-biasa saja.”

Alexander Aur (FB)

Mukadimah
Kutipan di atas merupakan penggalan dari cerpen Alexander Aur   Para Penjual Tuhan (PPT). Cerpen ini  mengisahkan Maria Goreti, Paulus, dan seorang suster Katolik yang larut dalam  kebiasaan  saling kirim SMS berisi nasihat keagamaan dari pengirim pertama yang misterius.  Pesan singkat itu biasanya disertai  ancaman, kadang  juga iming-iming hadiah, bila si penerima meneruskan (forward) atau tak meneruskan isi pesan  ke sejumlah orang seperti perintah isi pesan.
PPT tak hanya menceritakan  kebiasaan saling berkirim pesan pendek ”suci” yang pernah populer di 2012-an, sebelum berganti menjadi model SMS penipuan ”mama minta pulsa,” tapi juga menyoroti penggunaan lagu-lagu rohani dari penyanyi dari label rekaman tertentu sebagai nada sambung, seperti kebiasaan dua tokoh cerpen Yohanes dan  seorang pastor, yang gemar  menggunakan lagu rohani sebagai nada sambung pribadi di HP mereka. 
Alex  curiga kebiasaan   mengirim dan menerima SMS  relijius serta menjadikan lagu-lagu rohani sebagai nada sambung tak lebih dari  bentuk perburuan laba gila-gilaan dengan cara mengeskploitasi unsur-unsur sakral  agama. Di PPT  lewat mulut Matheus, Alex  menulis ”Kalau dulu menjelang sengsara dan kematianNya, Yesus dijual oleh Yudah Iskariot kepada imam-imam dan para ahli Taurat, orang-orang yang merancang ide sms rohani, sms isi Alkitab, nada sambung pribadi lagu-lagu rohani adalah para penjual Tuhan zaman ini untuk mendapat keuntungan ekonomi.”
KESADARAN PALSU DALAM AGAMA
Cover Kumcer PSK
Cerpen PPT  berupaya menjadikan suatu peristiwa di keseharian  yang diamati dengan menggunakan lensa filsafat. Kecurigaan Alex seperti tergambar dalam PPT merupakan kecurigaan yang khas pemikiran filsafat. Dalam sejarah filsafat Barat modern terkenal adanya tiga filosof besar yang ditahbiskan sebagai ”guru-guru kecurigaan” (masters of suspicion) yaitu  Karl Marx, Friedrich Nietzsche, dan Sigmund Freud (Paul Ricoeur, 1970). Ciri utama gaya berpikir trio guru kecurigaan ini ialah selalu mengedepankan kecurigaan radikal terhadap agama.  Marx, Nietzsche, dan Freud  seturut penalaran Ricoeur, berusaha menemukan apa yang lantent (tersembunyi) di balik apa yang patent (nyata) dari pengalaman dan kesadaran beragama.
Seperti filosof Rene Descartes yang meragukan kesadaran  Marx, Freud dan Nietzshce  juga menyangsikan kesadaran.  Bedanya, sementara Descartes meragukan kesadaran demi mencapai kesadaran yang kokoh dan tak mungkin lagi diragukan, guru-guru kecurigaan beranggapan kesadaran yang terekspresikan pada laku keseharian termasuk dalam apa yang disebut ”kesadaran palsu” (’false’ consciousness).
Bagi Marx, Nietzsche, dan Freud kategori mendasar dari keadaran terletak pada keterkaitan antara sekaligus memerlihatkan dan menyembunyikan sesuatu. Apa yang  tampak menjadi  sejenis sandi yang jika diamati secara seksama bakal  mengungkap realitas yang sesungguhnya. Freud menyebut realitas di balik kesadaran beragama adalah gejala-gejala neurotik (neurotic symptoms) dan mimpi-mimpi; Marx menunjuk pada keterasingan ekonomi atau dengan kata lain masalah ekonomi politik sedangkan Nietszche menggaris-bawahi kesadaran beragama sebagai penyebab utama ”kehendak untuk berkuasa” (will to power) menjadi jinak, lemah, dan tak berdaya.
Meski terkesan bengis dalam menilai kesadaran beragama, apa yang didedahkan ”guru-guru kecurigaan”, seperti diyakini Recoeur, tak lain merupakan ikhtiar untuk menemukan fondasi baru bagi kesadaran beragama yang lebih baik dan bermartabat.
Kembali ke cerpen PPT. Cerpen ini  berupaya menemukan  dorongan utama yang tersembunyi di balik kebiasaan orang mengirim SMS rohani dan menjadikan lagu-lagu relijius sebagai nada dering.  Si penulis cerpen menyebut dorongan utama tersebut tak lain adalah motif-motif ekonomi. 
Cerpen PPT tak sekadar mengungkap motif ekonomi di balik kebiasaan ”aneh” tersebut tapi juga berusaha mengungkap model penghayatan beragama secara baru yakni ”mengimani Tuhan dengan cara yang biasa-biasa saja.” Bagaimana Alex  sampai berkesimpulan demikian? Untuk menjawabnya kita perlu tahu posisi Alex dalam khazanah cerpen  Indonesia.
ALEX,  SENO GUMIRA AJIDARMA, DAN KETERKAITAN FAKTA DAN FIKSI
“Menulis cerpen ibarat merefleksikan kehidupan dan kematian. Selain itu, ada harapan lain yang berkelindan saat menulis cerpen yakni mewartakan pembebasan dan pencerahan.” Pandangan Alex tentang cerpen ini serupa dengan gagasan dari cerpenis Seno Gumira Ajidarma (2010) saat ia menulis ”ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran.”
Kendati sekilas terbaca adanya perbedaan, baik Alex maupun Seno tampaknya bersepakat  memaknai karya sastra (cerpen) sebagai medium  untuk menyisipkan sesuatu;  Alex menyelinapkan  tema ”kebebasan dan pencerahan” ke dalam cerpen-cerpennya sedangkan  Seno menyusupkan  ”kebenaran.”
 Seno sendiri belakangan mengoreksi  pandangannya tentang ”sastra bicara tentang kebenaran”  karena bagi Seno  gagasannya itu   ”mengandung kepercayaan yang berlebihan bahwa keusastraan mampu menggenggam kebenaran” padahal  pengertian tentang kebenaran yang memuaskan, seperti diyakini Seno sendiri,  tak pernah benar-benar bisa dicapai. Walhasil, Seno tak lagi mempersoalkan bagaimana caranya kesusastraan mampu menggenggam kebenaran, tetapi lebih pada pokok soal bagaimana cara  kesastraan itu berada dan dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya.
Kemiripan lain posisi Alex dan Seno  kian nyata  tatkala Alex menulis ”ada satu hal yang mendorong saya untuk membebani cerpen dengan tugas membebaskan dan mencerahkan itu karena daya estetik cerpen juga bergerak antara fakta dan fiksi.”
Sayangnya, berbeda dengan Seno yang secara terperinci menerangkan keberkaitan antara fakta dan fiksi Alex tak menjelaskan lebih jauh tentang daya estetik cerpen yang disebutnya bergerak antara fakta dan fiksi. Bagi Seno ”fakta maupun fiksi hanyalah cara manusia memberi makna kepada dunia dan kehidupannya.” Pergerakan dari fakta ke fiksi  dengan demikian tak lebih dari sebuah perubahan bingkai dari  seorang kreator (seniman)  dalam melakukan penghayatan atas lingkungan dan dunia di sekitarnya. Perubahan dari fakta ke fiksi  merupakan ”suatu proses perubahan format” dalam rangka menghadirkan atau menyajikan kembali realitas.
Titik temu Alex dan Seno juga terlihat dari pemahaman keduanya ihwal imajinasi. Alex memadukan apa yang disebutnya sebagai ”daya imajinasi dan daya refleksi atas fakta-fakta” sebagai bagian penting dari proses penciptaan cerpen-cerpennya. Sementara itu, Seno melalui cerpen-cerpennya yang kerap menghadirkan tarik ulur fakta-fiksi  bermaksud “mengembangkan imajinasi di sekitar fakta-fakta, menarik garis-garis perspektif fiksi yang dimungkinkan oleh fakta-fakta tersebut.”   
Tersirat dari pemahaman-pemahaman  di atas ialah imajinasi memaikan peran sangat penting  bagi tumbuhnya kreativitas yang mampu mereka-ulang  sebuah dunia,  kondisi sosio-historis  tertentu, menjadi sesuai dengan  gambaran  ideal dari si penulisnya.  Imajinasilah unsur mendasar bagi fiksionalitas sebuah karya sastra sehingga  bahasa-bahasa dalam  sastra (cerpen) kerapkali  menjadi  ambigu bila diperbandingkan dengan  karya-karya di luar  sastra (Bdk. Terry Eagleton, 2013)
Kendati demikian, karya-karya fiksi bukannya tak memuat informasi faktual sama sekali; karya fiksi dapat saja memuat beragam informasi faktual. Bedanya, hanya pada karya-karya yang diklaim sebagai fiksi, fakta dibolehkan  untuk dibengkokkan sedemikian rupa  sesuai dengan kepentingan dan tujuan-tujuan tertentu dari sastrawan atau cerpenisnya sendiri.
Posisi kepengarangan Alex semakin dekat  Seno  Gumira Ajidarma yang di salah satu tulisan  buat  perayaan 70 tahun Putu Wijaya (2014) menulis ”Susastra dilakukan bukan karena suatu tugas seperti dalam jurnalistik, melainkan seperti panggilan.”
Karena panggilan dari jiwa kepengarangannya  lah Alex akhirnya tergerak menuliskan keprihatinan pada ekspresi keberagamaan yang dalam pengamatannya belakangan ini berlangsung sangat mengkhawatirkan.
OBESITAS DALAM BERAGAMA
Cerpen-cerpen Alex mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam laku keagamaan para pemeluk agama;  orang-orang  mengaku  saleh tapi pada saat bersamaan  gerak -geriknya  berlawanan dengan  nilai-nilai  mulia yang terdapat dalam doktrin keagamaan khususnya Katolik yang begitu menekankan cinta kasih pada sesama.
Laku keagamaan  jauh panggang dari api  seperti  disinyalir Alex lewat cerpen-cerpennya  termasuk cerpen PPT barangkali merupakan  representasi  dari gejala, sebut saja, “obesitas dalam beragama” yang terjadi ketika para pemeluk agama  tak berdaya menolak ledakan  informasi keagamaan  yang riuh, datang  seiring  kemajuan-kemajuan di bidang terknologi informasi.
Banyaknya informasi keagamaan yang diterima mengakibatkan orang beragama kesulitan membedakan antara informasi keagamaan dengan pengetahuan keagamaan walhasil mereka pun berpotensi jatuh pada situasi pelik di satu pihak merasa sangat memiliki agamanya dengan cara larut dan begitu terobsesi dengan ritual  peribadatan,  berambisi mengajak orang untuk mengikuti keimanan yang dipeluknya tapi di lain pihak abai pada nilai  dasar yang menjadi alas bagi keberimanannya.
Gejala “obesitas dalam beragama” juga tampak dari cerpen Ben Shohib (2015)  Haji Syiah yang bercerita tentang kiprah  Haji Rohili di Kampung Melayu Pulo Jakarta dalam menginsyafkan  dua pemuda, Ketel dan Faruk, yang  keranjingan nenggak minuman keras. Sebutan Haji Syiah untuk Haji Rohili bukan lantaran si haji merupakan  pemeluk teguh mazhab  Syiah tapi  karena di ruang tamu rumahnya tergantung poster Ayatullah Khomeini.  Bayangkan! Hanya karena memajang sehelai poster tokoh besar syiah, seseorang langsung digolongkan sebagai penganut Syiah.
Karena kesyiahan yang tak disengaja inilah di akhir cerpen Haji Syiah, Faruk dan Ketel setelah menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Pandeglang  membenci dan mencampakkan sosok yang telah menganggap mereka sebagai murid kesayangan.
Ketaksesuaian antara rasa memiliki agama di satu sisi dengan pengabaian pada nilai luhur penopang keberimanan di sisi lain, seperti diungkap Alex lewat cerpen-cerpennya,  dapat berdampak serius pada  lahirnya persoalan penjungkir-balikkan nilai-nilai hingga masalah kejiwaan nyaris mendekati kegilaan seperti tercermin dari cerpen Alex Perempuan dan Secaraik Kertas (PSK).
Cerpen PSK bertutur tentang seorang perempuan misterius yang biasa berdiri di pinggir jalan tak jauh dari sebuah gereja. Perempuan yang digambarkan selalu memegang secarik kertas itu dicap sinting karena setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya lebih menyerupai celotehan sinis dari pada perkataan  manis.  Jawaban-jawaban dari perempuan gila  selalu  tak nyambung dengan pertanyaan dari orang-orang yang berbasa-basi menanyakan kabar si perempuan, sepulang atau ketika  berduyun-duyun hendak mengikuti  ibadah rutin di gereja.
Di akhir cerpen dikisahkan perempuan penuh teka-teki ini tewas mengenaskan di dalam got dengan tubuh terbungkus pakaian Paskah. Tangannya menggenggam  sehelai kertas bertuliskan kalimat yang biasa ia ucapkan saat ditanya oleh orang-orang yang menyapanya; ”Nyanyian sedihmu adalah kebohongan bagi-Ku/Sumpah tobatmu adalah sembilu bagi-Ku/Sumbangan sosialmu adalah luka bagi-Ku/Nyanyian alleluiamu adalah dusta bagi-Ku/Dan saat Aku terkapar di jalan ini, kau tetap jalan untuk menunaikan Misa Paskahmu.
Perempuan gila yang mati dalam balutan busana paskah rupanya  menjadi perlambang bagi terkuburnya nilai-nilai luhur dari agama (Katolik) berbarengan dengan semakin tingginya antusiasme jemaat menjalankan praktik-praktik peribadatan seperti dinarasikan cerpen PSK. Cerpen PSK sekaligus berusaha mempertanyakan kewarasan  orang-orang beragama yang cenderung menutup diri pada kenyataan di sekitar, yang lebih mendesak untuk diperhatikan, misalnya menyayangi dan mengasihi  sesama  tanpa memerhatikan latar belakang kelas sosial, tapi ironisnya justru sering diabaikan.
Siapa yang sesungguhnya  yang gila di cerpen ini, perempuan yang mati berbusana paskah kah?  Atau justru orang-orang yang rajin beribadah dan tak menghiraukan perempuan dengan secarik kertas? Alex sepertinya sengaja membiarkan pembaca memberikan penilaian sendiri.
Ketaksesuaian antara rasa memiliki agama dengan nilai dasar keyakinan pemeluk agama  pernah menjadi pokok pembahasan Charles Taylor dalam bukunya A Secular Age  (2007)  saat Taylor mengritik gagasan “memercayai  tanpa memiliki” (believing without belonging) yang dikemukakan sosiolog agama kontemporer Gracie Davie.
Menurut Charles Taylor gagasan believing without belonging didorong oleh adanya anggapan bahwa hubungan normatif yang ketat antara identitas keagamaan dan kepercayaan pada proposisi-proposisi teologis tertentu dengan praktik ritual yang telah menjadi standar  di kalangan umat beragama, kini tak berlaku lagi bagi kebanyakan orang beragama. Pasalnya, demikian menurut Charles Taylor, pengalaman dan kesadaran beragama di jaman sekarang lebih mempertimbang pandangan-pandangan personal orang beragama sendiri melalui apa yang disebut Charle Taylor sebagai “bricolage;”  kreasi atau inovasi yang mengandalkan pada materi dan atau pemahaman yang ada dan tersedia di sekeliling.
Bentuk pengalaman dan kesadaran beragama yang mencerminkan karakteristik “bricolage” paralel dengan apa yang dibayangkan Alex saat ia di cerpen PPT  menulis “Cukup jadi orang biasa saja dan mengimani Tuhan dengan cara yang biasa-biasa saja.”
Satu tarikan nafas dengan cerpen PSK adalah cerpen Refan dan Pieta (R&P) yang menceritakan protes Refan pada Tuhan karena  terlahir sebagai orang yang mengidap kelainan genetik. Refan meyakini ia berjenis kelamin laki-laki tapi orang-orang terdekatnya termasuk orang tua dan rohaniwan pada siapa Refan biasa mencurahkan kerisauan hatinya, menganggap Refan sebagai perempuan.
Protes Refan memuncak saat ia disela-sela peribadatan di gereja kalap menggugat Tuhan, di hadapan patung legendaris Pieta yang memerlihatkan Bunda Maria  memangku Yesus yang terkulai. Kegaduhan yang ditimbulkan oleh amarah Refan membuat jemaat  lain memburu dan  nyaris membunuh Refan. Jemaat pun mencap Refan sebagai  gila dan dianggap telah  melecehkan  agama hingga dia pantas dibui.
Masalah kegilaan juga tercermin dalam cerpen Ilahi Menangis di Dua Perbatasan (IMDP) yang berlatar amuk massa yang dipicu oleh pro dan kontra pendirian rumah ibadah.  Ilahi di sini tak mengacu pada Ilahi dalam arti Tuhan, Allah SWT. Sebaliknya, Ilahi dimaksudkan sebagai orang yang dicitrakan ingin mengambil alih kekuasaan Tuhan karena rasionalitas dan kebebasan yang dimilikinya.  Namun ironis, kebebasan yang diagung-agungkan Ilahi begitu rapuh dan memiliki banyak perwajahan di mana pada satu kesempatan kebebasan dapat berwajah santun dan dewasa tapi di saat yang lain kebebasan  bisa kekanak-kanakan,  buas, dan sadis.
Ilahi sendiri mengetahui sepenuhnya fenomena banyak wajah kebebasan tapi celakanya ia tak bisa menjelaskan bagaimana kebebasan dapat tampil dengan aneka perwajahannya yang mengejutkan tersebut.  Kendati demikian, Ilahi tetap berpegang teguh pada pandangannya, kebebasan adalah hakikat dasar dari manusia.  
Alex kembali menghadirkan sosok orang gila lewat cerpen  IMDP. Orang gila muncul tiba-tiba di dekat Ilahi saat ia tengah mengalami kegamangan memahami sepak terjang manusia dengan kebebasannya. Orang gila itu berucap ”Ingatlah Ilahi. Manusia yang sudah kau titahkan hakikatnya itu ibarat tanah lempung. Hakikat tanah lempung adalah bisa berubah atau diubah dalam bentuk apa saja dan untuk keperluan apa saja. Itu artinya manusia itu tidak pernah tetap pada pendirian dan sikapnya. Hakikatnya terletak pada ketidaktetapannya karena itu maka manusia menjadi bebas.”
Menanggapi petuah yang terucap dari orang gila (tapi bijak) Ilahi berreaksi keras; ”Kamu memang sugguh-sungguh gila seperti yang mereka anggap selama ini. Akulah yang mentitahkan hakikat mereka. Karena itu aku yakin bahwa mereka sudah sadar. Lihatlah, mereka saling menyapa satu sama lain. Mereka saling tolong-menolong. Meskipun agama mereka berbeda tetapi karena sama-sama mengimani Tuhan maka antara mereka tidak ada batas. Enyahlah kamu dari hadapanku!”
Cerpen-cerpen Refan dan Pieta, Perempuan dan Secarik Kertas dan Ilahi Menangis di Dua Perbatasan secara eksplisit mengangkat tema kegilaan sebagai imbas dari model-model pengalaman dan kesadaran beragama yang kaku, tertutup, dan  seolah-olah hanya golongannya saja  yang memiliki   hak istimewa untuk masuk surga.
KRITIK
Cerpenis Peter Taylor (Daniel Halpern, 1987) pernah berucap  “cerita pendek adalah suatu bentuk dramatika, lebih dekat ke drama dari pada novel.”  Cerpen yang menarik seturut pendapat Taylor ialah cerpen yang bahkan di setiap kata, kalimat, dan  penempatan tanda bacanya membentuk dramatika  sendiri. Kekhasan pada seni drama  terdapat pada kemampuan  para pemainnya bersimpati  (merasakan menjadi  orang lain)  dan berempati  (merasakan sebagai mereka).   Berpatokan pada dua hal ini seorang aktor,  Rendra dan Putu Wijaya  misalnya, mampu menjelma apa saja   sesuai peran yang dimainkan  dengan  penghayatan nyaris tanpa cela.
Dari pada  menampilkan diri sebagai cerpenis yang taat pada kaidah-kaidah dasar pembentuk kekuatan cerpen (seperti narasi, plot, dan penokohan)  hingga cerpen tak ubahnya sebuah pertunjukkan drama seperti dibayangkan Peter Taylot, Alex  lebih asyik bermain-main dengan visi besar dan filosofis  yang secara sadar ia suntikkan ke dalam cerpen-cerpennya. Visi tersebut bahkan menjadi lebih dominan dari pada  unsur-unsur pembentuk kekuatan cerita seperti  lazim ditemukan  dalam cerpen-cerpen dari para cerpenis  misalnya Yanusa Nugroho, Hamsad Rangkuti, A.A Navis, Gus Tf Sakai, Danarto,  dan lainnya.
Visi besar yang dipikul cerpen-cerpen Alex membuat Alex menjauh dari tradisi cerpen-cerpen yang juga  mengedepankan tema-tema keagamaan. Berbeda dengan para cerpenis yang kebanyakan memilih jalur satir dalam memberikan evaluasi kritis pada agama,  seperti  beberapa di antara para  cerpenis itu ialah Ki Pandjikusmin dengan cerpennya yang dianggap kontroversial di jamannya Langit Makin Mendung,  AA Navis (Robohnya Surau Kami) , Danarto ( Lailatul Qodar ), dan  Seno Gumira Ajidarma (Gerobak).
Sastra baik prosa maupun puisi, selalu berkaitan dengan pengalaman berbahasa dan bukan  semata penggunaan praktis-instrumentalis atas bahasa demi menyuarakan  visi misi tertentu. Keprihatinan dan gagasan (keagamaan) besar yang dibebankan Alex pada cerpen-cerpennya cenderung mengesampingkan peran bahasa sebagai sesuatu yang pada dirinya bersifat “estetik.” Walhasil, kenikmatan  menikmati cerpen-cerpen Alex berbeda dengan kenikmatan yang timbul saat membaca cerpen-cerpen dara para cerpenis tersebut di atas.
Lepas dari penilaian-penilaian di atas,  Alexander Aur adalah seorang cerpenis pemberani. Cerpen-cerpennya sangat provokatif dan dapat dipastikan membuat para pemeluk agama yang ortodok alias  “kurang piknik,” meminjam istilah anak muda jaman sekarang, risih, gelisah, dan menganggap cerpen-cerpen Alex sebagai serangan serius pada agama.
Akhirul kalam, cerpen-cerpen Alex adalah sebuah seruan, dakwah dalam istilah agama saya,  untuk dapat beragama secara wajar,  tidak lebay,  dan mengutamakan kesalehan sosial.
Selamat membaca!

Jakarta Timur, sepekan setelah Paskah 2016

Daftar bacaan
Ajidarma, Seno Gumira, Trilogi Insiden, Penerbit Bentang: Yogyakarta, 2010.
______, Menyerap Putu Wijaya dalam Bondowoso, Gandung & Sri Hastuti, Rita, Bertolak dari Yang Ada, Kumpulan Esai untuk PW 70, Teater Mandiri; Jakarta, 2014.
Eagleton, Terry, How to Read Literature, Yale University Press, New Haven, 2013.
Sohib, Ben., Haji Syiah & Other Stories, The Lontar Foundation, Jakarta, 2015.
Taylor, Charles, A Secular Age, The Belknap Pressof Harvard University Press, Cambridge, 2007.
Ricoeur, Paul, Freud and Philosophy, An Essay on Interpretation, Yale University Press, New Haven, 1970.
Halpern, Daniel., The Art of the Tale, An International Anthology of Short Stories, Penguin Books, New York, 1987.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya