”Saya juga tidak mau menjual Tuhan. Cukup jadi orang
biasa saja dan mengimani Tuhan dengan cara yang biasa-biasa saja.”
Alexander Aur (FB) |
Mukadimah
Kutipan di atas merupakan penggalan dari cerpen Alexander
Aur Para
Penjual Tuhan (PPT). Cerpen
ini mengisahkan Maria Goreti, Paulus,
dan seorang suster Katolik yang larut dalam
kebiasaan saling kirim SMS berisi
nasihat keagamaan dari pengirim pertama yang misterius. Pesan singkat itu biasanya disertai ancaman, kadang juga iming-iming hadiah, bila si penerima
meneruskan (forward) atau tak
meneruskan isi pesan ke sejumlah orang
seperti perintah isi pesan.
PPT tak hanya menceritakan
kebiasaan saling berkirim pesan pendek ”suci” yang pernah populer di
2012-an, sebelum berganti menjadi model SMS penipuan ”mama minta pulsa,” tapi
juga menyoroti penggunaan lagu-lagu rohani dari penyanyi dari label rekaman
tertentu sebagai nada sambung, seperti kebiasaan dua tokoh cerpen Yohanes
dan seorang pastor, yang gemar menggunakan lagu rohani sebagai nada sambung
pribadi di HP mereka.
Alex curiga
kebiasaan mengirim dan menerima
SMS relijius serta menjadikan lagu-lagu
rohani sebagai nada sambung tak lebih dari
bentuk perburuan laba gila-gilaan dengan cara mengeskploitasi
unsur-unsur sakral agama. Di PPT
lewat mulut Matheus, Alex menulis
”Kalau dulu menjelang sengsara dan
kematianNya, Yesus dijual oleh Yudah Iskariot kepada imam-imam dan para ahli
Taurat, orang-orang yang merancang ide sms rohani, sms isi Alkitab, nada
sambung pribadi lagu-lagu rohani adalah para penjual Tuhan zaman ini untuk
mendapat keuntungan ekonomi.”
KESADARAN PALSU
DALAM AGAMA
Cover Kumcer PSK |
Seperti filosof Rene Descartes yang meragukan
kesadaran Marx, Freud dan Nietzshce juga menyangsikan kesadaran. Bedanya, sementara Descartes meragukan
kesadaran demi mencapai kesadaran yang kokoh dan tak mungkin lagi diragukan,
guru-guru kecurigaan beranggapan kesadaran yang terekspresikan pada laku
keseharian termasuk dalam apa yang disebut ”kesadaran palsu” (’false’ consciousness).
Bagi Marx, Nietzsche, dan Freud kategori mendasar dari
keadaran terletak pada keterkaitan antara sekaligus memerlihatkan dan
menyembunyikan sesuatu. Apa yang tampak
menjadi sejenis sandi yang jika diamati
secara seksama bakal mengungkap realitas
yang sesungguhnya. Freud menyebut realitas di balik kesadaran beragama adalah
gejala-gejala neurotik (neurotic symptoms)
dan mimpi-mimpi; Marx menunjuk pada keterasingan ekonomi atau dengan kata lain
masalah ekonomi politik sedangkan Nietszche menggaris-bawahi kesadaran beragama
sebagai penyebab utama ”kehendak untuk berkuasa” (will to power) menjadi jinak, lemah, dan tak berdaya.
Meski terkesan bengis dalam menilai kesadaran beragama,
apa yang didedahkan ”guru-guru kecurigaan”, seperti diyakini Recoeur, tak lain
merupakan ikhtiar untuk menemukan fondasi baru bagi kesadaran beragama yang
lebih baik dan bermartabat.
Kembali ke cerpen PPT.
Cerpen ini berupaya menemukan dorongan utama yang tersembunyi di balik
kebiasaan orang mengirim SMS rohani dan menjadikan lagu-lagu relijius sebagai
nada dering. Si penulis cerpen menyebut
dorongan utama tersebut tak lain adalah motif-motif ekonomi.
Cerpen PPT tak
sekadar mengungkap motif ekonomi di balik kebiasaan ”aneh” tersebut tapi juga
berusaha mengungkap model penghayatan beragama secara baru yakni ”mengimani Tuhan
dengan cara yang biasa-biasa saja.” Bagaimana Alex sampai
berkesimpulan demikian? Untuk menjawabnya kita perlu tahu posisi Alex dalam
khazanah cerpen Indonesia.
ALEX, SENO GUMIRA AJIDARMA, DAN KETERKAITAN FAKTA
DAN FIKSI
“Menulis cerpen ibarat merefleksikan kehidupan dan
kematian. Selain itu, ada harapan lain yang berkelindan saat menulis cerpen yakni mewartakan
pembebasan dan pencerahan.” Pandangan Alex tentang cerpen ini serupa dengan
gagasan dari cerpenis Seno Gumira Ajidarma (2010) saat ia menulis ”ketika
jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan
fakta, sastra bicara dengan kebenaran.”
Kendati sekilas terbaca adanya perbedaan, baik Alex
maupun Seno tampaknya bersepakat memaknai
karya sastra (cerpen) sebagai medium untuk
menyisipkan sesuatu; Alex
menyelinapkan tema ”kebebasan dan
pencerahan” ke dalam cerpen-cerpennya sedangkan
Seno menyusupkan ”kebenaran.”
Seno sendiri belakangan mengoreksi pandangannya tentang ”sastra bicara tentang
kebenaran” karena bagi Seno gagasannya itu ”mengandung
kepercayaan yang berlebihan bahwa keusastraan mampu menggenggam kebenaran”
padahal pengertian tentang kebenaran yang
memuaskan, seperti diyakini Seno sendiri,
tak pernah benar-benar bisa dicapai. Walhasil, Seno tak lagi
mempersoalkan bagaimana caranya kesusastraan mampu menggenggam kebenaran,
tetapi lebih pada pokok soal bagaimana cara kesastraan itu berada dan dapat
dipertanggungjawabkan keberadaannya.
Kemiripan lain posisi Alex dan Seno kian nyata
tatkala Alex menulis ”ada satu hal yang mendorong saya untuk membebani
cerpen dengan tugas membebaskan dan mencerahkan itu karena daya estetik cerpen
juga bergerak antara fakta dan fiksi.”
Sayangnya, berbeda
dengan Seno yang secara terperinci menerangkan keberkaitan antara fakta dan
fiksi Alex tak menjelaskan lebih jauh tentang daya estetik cerpen yang
disebutnya bergerak antara fakta dan fiksi. Bagi Seno ”fakta
maupun fiksi hanyalah cara manusia memberi makna kepada dunia dan kehidupannya.”
Pergerakan dari fakta ke fiksi dengan demikian tak lebih dari sebuah
perubahan bingkai dari seorang kreator
(seniman) dalam melakukan penghayatan
atas lingkungan dan dunia di sekitarnya. Perubahan dari fakta ke fiksi merupakan ”suatu proses
perubahan format” dalam rangka menghadirkan atau menyajikan kembali realitas.
Titik temu Alex dan Seno
juga terlihat dari pemahaman keduanya ihwal imajinasi. Alex memadukan apa yang
disebutnya sebagai ”daya imajinasi dan daya refleksi atas fakta-fakta” sebagai
bagian penting dari proses penciptaan cerpen-cerpennya. Sementara itu, Seno melalui
cerpen-cerpennya yang kerap menghadirkan tarik ulur fakta-fiksi bermaksud “mengembangkan
imajinasi di sekitar fakta-fakta, menarik garis-garis perspektif fiksi yang
dimungkinkan oleh fakta-fakta tersebut.”
Tersirat dari pemahaman-pemahaman di atas ialah imajinasi
memaikan peran sangat penting bagi tumbuhnya kreativitas yang mampu mereka-ulang sebuah dunia, kondisi sosio-historis tertentu, menjadi sesuai dengan gambaran ideal dari si
penulisnya. Imajinasilah
unsur mendasar bagi fiksionalitas sebuah karya sastra sehingga bahasa-bahasa dalam sastra (cerpen) kerapkali
menjadi ambigu
bila diperbandingkan dengan karya-karya di luar sastra (Bdk. Terry Eagleton, 2013)
Kendati demikian, karya-karya fiksi bukannya tak memuat informasi
faktual sama sekali; karya fiksi dapat saja memuat beragam informasi faktual. Bedanya,
hanya pada karya-karya yang diklaim sebagai fiksi, fakta dibolehkan untuk dibengkokkan sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan dan tujuan-tujuan
tertentu dari sastrawan atau cerpenisnya sendiri.
Posisi kepengarangan Alex semakin dekat Seno
Gumira Ajidarma yang di salah satu tulisan buat
perayaan 70 tahun Putu Wijaya (2014) menulis ”Susastra dilakukan bukan
karena suatu tugas seperti dalam jurnalistik, melainkan seperti panggilan.”
Karena panggilan dari jiwa kepengarangannya lah Alex akhirnya tergerak menuliskan
keprihatinan pada ekspresi keberagamaan yang dalam pengamatannya belakangan ini
berlangsung sangat mengkhawatirkan.
OBESITAS DALAM
BERAGAMA
Cerpen-cerpen Alex mengisyaratkan adanya ketidakberesan
dalam laku keagamaan para pemeluk agama;
orang-orang mengaku saleh tapi pada saat bersamaan gerak -geriknya berlawanan dengan nilai-nilai
mulia yang terdapat dalam doktrin keagamaan khususnya Katolik yang
begitu menekankan cinta kasih pada sesama.
Laku keagamaan jauh panggang dari api seperti
disinyalir Alex lewat cerpen-cerpennya
termasuk cerpen PPT barangkali
merupakan representasi dari gejala, sebut saja, “obesitas dalam
beragama” yang terjadi ketika para pemeluk agama tak berdaya menolak ledakan informasi keagamaan yang riuh, datang seiring
kemajuan-kemajuan di bidang terknologi informasi.
Banyaknya informasi keagamaan yang diterima
mengakibatkan orang beragama kesulitan membedakan antara informasi keagamaan
dengan pengetahuan keagamaan walhasil mereka pun berpotensi jatuh pada situasi
pelik di satu pihak merasa sangat memiliki agamanya dengan cara larut dan
begitu terobsesi dengan ritual peribadatan, berambisi mengajak orang untuk mengikuti
keimanan yang dipeluknya tapi di lain pihak abai pada nilai dasar yang menjadi alas bagi keberimanannya.
Gejala “obesitas dalam beragama” juga tampak
dari cerpen Ben Shohib (2015) Haji Syiah yang bercerita tentang kiprah
Haji Rohili di Kampung Melayu Pulo Jakarta dalam menginsyafkan dua pemuda, Ketel dan Faruk, yang keranjingan nenggak minuman keras. Sebutan Haji Syiah untuk Haji Rohili bukan
lantaran si haji merupakan pemeluk teguh
mazhab Syiah tapi karena di ruang tamu rumahnya tergantung
poster Ayatullah Khomeini. Bayangkan!
Hanya karena memajang sehelai poster tokoh besar syiah, seseorang langsung
digolongkan sebagai penganut Syiah.
Karena kesyiahan yang tak disengaja inilah di
akhir cerpen Haji Syiah, Faruk dan
Ketel setelah menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Pandeglang membenci dan mencampakkan sosok yang telah
menganggap mereka sebagai murid kesayangan.
Ketaksesuaian
antara rasa memiliki agama di satu sisi dengan pengabaian pada nilai luhur
penopang keberimanan di sisi lain, seperti diungkap Alex lewat
cerpen-cerpennya, dapat berdampak serius
pada lahirnya persoalan penjungkir-balikkan nilai-nilai hingga masalah kejiwaan
nyaris mendekati kegilaan seperti tercermin dari cerpen Alex Perempuan dan Secaraik Kertas (PSK).
Cerpen PSK bertutur
tentang seorang perempuan misterius yang biasa berdiri di pinggir jalan tak
jauh dari sebuah gereja. Perempuan yang digambarkan selalu memegang secarik
kertas itu dicap sinting karena setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya
lebih menyerupai celotehan sinis dari pada perkataan manis.
Jawaban-jawaban dari perempuan gila
selalu tak nyambung dengan pertanyaan dari orang-orang yang berbasa-basi
menanyakan kabar si perempuan, sepulang atau ketika berduyun-duyun hendak mengikuti ibadah rutin di gereja.
Di akhir cerpen dikisahkan perempuan penuh teka-teki ini
tewas mengenaskan di dalam got dengan tubuh terbungkus pakaian Paskah. Tangannya
menggenggam sehelai kertas bertuliskan kalimat
yang biasa ia ucapkan saat ditanya oleh orang-orang yang menyapanya; ”Nyanyian sedihmu adalah kebohongan
bagi-Ku/Sumpah tobatmu adalah sembilu bagi-Ku/Sumbangan sosialmu adalah luka
bagi-Ku/Nyanyian alleluiamu adalah dusta bagi-Ku/Dan saat Aku terkapar di jalan
ini, kau tetap jalan untuk menunaikan Misa Paskahmu.”
Perempuan gila yang mati dalam balutan busana
paskah rupanya menjadi perlambang bagi
terkuburnya nilai-nilai luhur dari agama (Katolik) berbarengan dengan semakin
tingginya antusiasme jemaat menjalankan praktik-praktik peribadatan seperti
dinarasikan cerpen PSK. Cerpen PSK sekaligus berusaha mempertanyakan
kewarasan orang-orang beragama yang
cenderung menutup diri pada kenyataan di sekitar, yang lebih mendesak untuk
diperhatikan, misalnya menyayangi dan mengasihi
sesama tanpa memerhatikan latar
belakang kelas sosial, tapi ironisnya justru sering diabaikan.
Siapa yang sesungguhnya yang gila di cerpen ini, perempuan yang mati
berbusana paskah kah? Atau justru
orang-orang yang rajin beribadah dan tak menghiraukan perempuan dengan secarik
kertas? Alex sepertinya sengaja membiarkan pembaca memberikan penilaian
sendiri.
Ketaksesuaian antara rasa memiliki agama
dengan nilai dasar keyakinan pemeluk agama
pernah menjadi pokok pembahasan Charles Taylor dalam bukunya A Secular Age (2007) saat Taylor mengritik gagasan “memercayai tanpa memiliki” (believing without belonging) yang dikemukakan sosiolog agama
kontemporer Gracie Davie.
Menurut Charles Taylor gagasan believing without belonging didorong
oleh adanya anggapan bahwa hubungan normatif yang ketat antara identitas
keagamaan dan kepercayaan pada proposisi-proposisi teologis tertentu dengan
praktik ritual yang telah menjadi standar
di kalangan umat beragama, kini tak berlaku lagi bagi kebanyakan orang
beragama. Pasalnya, demikian menurut Charles Taylor, pengalaman dan kesadaran
beragama di jaman sekarang lebih mempertimbang pandangan-pandangan personal
orang beragama sendiri melalui apa yang disebut Charle Taylor sebagai “bricolage;” kreasi atau inovasi yang mengandalkan pada
materi dan atau pemahaman yang ada dan tersedia di sekeliling.
Bentuk pengalaman dan kesadaran beragama yang
mencerminkan karakteristik “bricolage” paralel dengan apa yang dibayangkan Alex
saat ia di cerpen PPT menulis “Cukup jadi orang
biasa saja dan mengimani Tuhan dengan cara yang biasa-biasa saja.”
Satu tarikan nafas dengan cerpen PSK adalah cerpen Refan dan Pieta (R&P)
yang menceritakan protes Refan pada Tuhan karena terlahir sebagai orang yang mengidap kelainan
genetik. Refan meyakini ia berjenis kelamin laki-laki tapi orang-orang
terdekatnya termasuk orang tua dan rohaniwan pada siapa Refan biasa mencurahkan
kerisauan hatinya, menganggap Refan sebagai perempuan.
Protes Refan memuncak saat ia disela-sela
peribadatan di gereja kalap menggugat Tuhan, di hadapan patung legendaris Pieta
yang memerlihatkan Bunda Maria memangku
Yesus yang terkulai. Kegaduhan yang ditimbulkan oleh amarah Refan membuat
jemaat lain memburu dan nyaris membunuh Refan. Jemaat pun mencap
Refan sebagai gila dan dianggap telah melecehkan
agama hingga dia pantas dibui.
Masalah kegilaan juga tercermin dalam cerpen Ilahi Menangis di Dua Perbatasan (IMDP) yang berlatar amuk massa yang
dipicu oleh pro dan kontra pendirian rumah ibadah. Ilahi di sini tak mengacu pada Ilahi dalam
arti Tuhan, Allah SWT. Sebaliknya, Ilahi dimaksudkan sebagai orang yang
dicitrakan ingin mengambil alih kekuasaan Tuhan karena rasionalitas dan
kebebasan yang dimilikinya. Namun
ironis, kebebasan yang diagung-agungkan Ilahi begitu rapuh dan memiliki banyak
perwajahan di mana pada satu kesempatan kebebasan dapat berwajah santun dan
dewasa tapi di saat yang lain kebebasan
bisa kekanak-kanakan, buas, dan
sadis.
Ilahi sendiri mengetahui sepenuhnya fenomena
banyak wajah kebebasan tapi celakanya ia tak bisa menjelaskan bagaimana
kebebasan dapat tampil dengan aneka perwajahannya yang mengejutkan tersebut. Kendati demikian, Ilahi tetap berpegang teguh
pada pandangannya, kebebasan adalah hakikat dasar dari manusia.
Alex kembali menghadirkan sosok orang gila lewat
cerpen IMDP. Orang gila muncul tiba-tiba di dekat Ilahi saat ia tengah
mengalami kegamangan memahami sepak terjang manusia dengan kebebasannya. Orang
gila itu berucap ”Ingatlah Ilahi. Manusia
yang sudah kau titahkan hakikatnya itu ibarat tanah lempung. Hakikat tanah
lempung adalah bisa berubah atau diubah dalam bentuk apa saja dan untuk
keperluan apa saja. Itu artinya manusia itu tidak pernah tetap pada pendirian
dan sikapnya. Hakikatnya terletak pada ketidaktetapannya karena itu maka manusia
menjadi bebas.”
Menanggapi petuah yang terucap dari orang gila (tapi bijak)
Ilahi berreaksi keras; ”Kamu memang
sugguh-sungguh gila seperti yang mereka anggap selama ini. Akulah yang
mentitahkan hakikat mereka. Karena itu aku yakin bahwa mereka sudah sadar. Lihatlah, mereka
saling menyapa satu sama lain. Mereka saling tolong-menolong. Meskipun agama
mereka berbeda tetapi karena sama-sama mengimani Tuhan maka antara mereka tidak
ada batas. Enyahlah kamu dari hadapanku!”
Cerpen-cerpen Refan
dan Pieta, Perempuan dan Secarik
Kertas dan Ilahi Menangis di Dua
Perbatasan secara eksplisit mengangkat tema kegilaan sebagai imbas dari
model-model pengalaman dan kesadaran beragama yang kaku, tertutup, dan seolah-olah hanya golongannya saja yang memiliki
hak istimewa untuk masuk surga.
KRITIK
Cerpenis Peter Taylor (Daniel Halpern, 1987)
pernah berucap “cerita pendek adalah
suatu bentuk dramatika, lebih dekat ke drama dari pada novel.” Cerpen yang menarik seturut pendapat Taylor
ialah cerpen yang bahkan di setiap kata, kalimat, dan penempatan tanda bacanya membentuk dramatika sendiri. Kekhasan pada seni drama terdapat pada kemampuan para pemainnya bersimpati (merasakan menjadi orang lain) dan berempati
(merasakan sebagai mereka). Berpatokan pada dua hal ini seorang
aktor, Rendra dan Putu Wijaya misalnya, mampu menjelma apa saja sesuai peran yang dimainkan dengan
penghayatan nyaris tanpa cela.
Dari pada
menampilkan diri sebagai cerpenis yang taat pada kaidah-kaidah dasar pembentuk
kekuatan cerpen (seperti narasi, plot, dan penokohan) hingga cerpen tak ubahnya sebuah pertunjukkan
drama seperti dibayangkan Peter Taylot, Alex lebih asyik bermain-main dengan visi besar dan
filosofis yang secara sadar ia suntikkan
ke dalam cerpen-cerpennya. Visi tersebut bahkan menjadi lebih dominan dari
pada unsur-unsur pembentuk kekuatan
cerita seperti lazim ditemukan dalam cerpen-cerpen dari para cerpenis misalnya Yanusa Nugroho, Hamsad Rangkuti, A.A
Navis, Gus Tf Sakai, Danarto, dan
lainnya.
Visi besar yang dipikul cerpen-cerpen Alex
membuat Alex menjauh dari tradisi cerpen-cerpen yang juga mengedepankan tema-tema keagamaan. Berbeda
dengan para cerpenis yang kebanyakan memilih jalur satir dalam memberikan
evaluasi kritis pada agama, seperti beberapa di antara para cerpenis itu ialah Ki Pandjikusmin dengan
cerpennya yang dianggap kontroversial di jamannya Langit Makin Mendung, AA
Navis (Robohnya Surau Kami) , Danarto
( Lailatul Qodar ), dan Seno Gumira Ajidarma (Gerobak).
Sastra baik prosa maupun puisi, selalu berkaitan
dengan pengalaman berbahasa dan bukan
semata penggunaan praktis-instrumentalis atas bahasa demi menyuarakan visi misi tertentu. Keprihatinan dan gagasan (keagamaan)
besar yang dibebankan Alex pada cerpen-cerpennya cenderung mengesampingkan peran
bahasa sebagai sesuatu yang pada dirinya bersifat “estetik.” Walhasil,
kenikmatan menikmati cerpen-cerpen Alex
berbeda dengan kenikmatan yang timbul saat membaca cerpen-cerpen dara para
cerpenis tersebut di atas.
Lepas dari penilaian-penilaian di atas, Alexander Aur adalah seorang cerpenis
pemberani. Cerpen-cerpennya sangat provokatif dan dapat dipastikan membuat para
pemeluk agama yang ortodok alias “kurang
piknik,” meminjam istilah anak muda jaman sekarang, risih, gelisah, dan
menganggap cerpen-cerpen Alex sebagai serangan serius pada agama.
Akhirul
kalam, cerpen-cerpen Alex adalah sebuah seruan, dakwah dalam istilah agama saya, untuk dapat beragama secara wajar, tidak lebay,
dan mengutamakan kesalehan sosial.
Selamat membaca!
Jakarta
Timur, sepekan setelah Paskah 2016
Daftar
bacaan
Ajidarma,
Seno Gumira, Trilogi Insiden, Penerbit Bentang: Yogyakarta, 2010.
______,
Menyerap Putu Wijaya dalam Bondowoso,
Gandung & Sri Hastuti, Rita, Bertolak dari Yang Ada, Kumpulan Esai untuk
PW 70, Teater Mandiri; Jakarta, 2014.
Eagleton, Terry, How to
Read Literature, Yale University Press, New Haven, 2013.
Sohib, Ben., Haji Syiah
& Other Stories, The Lontar Foundation, Jakarta, 2015.
Taylor, Charles, A
Secular Age, The Belknap Pressof Harvard University Press,
Cambridge, 2007.
Ricoeur, Paul, Freud and
Philosophy, An Essay on
Interpretation, Yale University Press, New Haven, 1970.
Halpern, Daniel., The Art
of the Tale, An International Anthology of Short Stories, Penguin
Books, New York, 1987.
Mamtap..
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWow.. awesome...
BalasHapuslrisar.wordpress.com