Mas Marco |
Inilah
catatan yang saya janjikan, Melipat Kota dalam Kata-kata Perlawanan.
Agar lebih mendekati apa yang saya maksudkan, pada judul yang terdengar
ambisius dan bombastis ini kata “kata-kata” saya ubah menjadi “sajak-sajak.”
Kata sajak, dan bukan puisi, saya pilih karena alasan sederhana sajak terkesan
lebih bersahaja, klasik, dan menyiratkan sebuah ajakan bila dibandingkan dengan
puisi yang sekarang kedengarannya koq lebih manja dan ganjen. Jangan
tersinggung ya, Puisi.
Catatan
ini menjadi episode keempat dari catatan-catatan saya sebelumnya. Sengaja saya
pakai istilah episode dengan harapan jumlah episode catatan-catatan saya mampu
bersaing dengan jumlah episode Uttaran drama seri asal India yang bisa bikin
ibu-ibu kesurupan secara terstruktur, sistematis dan massif jika sedang
menyaksikan itu drama seri.
”Melipat
Kota dalam Sajak-sajak Perlawanan” artinya menjadikan segala hal yang ada di
kota sebagai pokok perkara sajak. Sajak perlawanan sendiri di mata saya berarti
sajak-sajak yang secara “tak langsung,” melalui suatu cara baca sedemikian
rupa, mampu membangkitkan perasaan gelisah, galau, dan merana bagi para
pembacanya. Walhasil, sajak dapat menjadi medium bagi bangkitnya kesadaran,
sebuah tindakan, sebuah praksis sosial.
Istilah
sosial jangan dipahami sebagai sejenis tindakan mengisi kotak amal atau memberi
sedekah pada pengemis di lampu merah agar dibilang berjiwa sosial tinggi.
Istilah sosial dalam catatan ini lebih berkaitan dengan hubungan timbal balik
antara satu orang dengan orang lainnya bahkan ketika hubungan timbal balik
tersebut terjadi hanya dengan saling mengerlingkan mata saja.
Praksis
juga bukan praktis yang lebih menonjolkan unsur efisiensi dan efektivitas kerja
atau praktik yang mirip dengan praktek kerja lapangan anak-anak sekolahan.
Praksis adalah sebuah tindakan sadar, bertolak dari gugus perencanaan yang
ciamik, demi sebuah perubahan sosial (dalam arti yang sudah saya jelaskan) yang
kompak, serentak, dan menghentak. Praksis lebih condong ke ranah aksi dari pada
refleksi.
Jalur
secara “tak langsung” ditempuh karena sajak adalah catatan paling personal yang
ditulis seseorang. Bahkan, ketika tertera sebuah nama seseorang setelah judul
sajak yang berarti pada siapa sajak itu dipersembahkan, kerapkali seseorang
yang dimaksud mendadak “pusing pala barbie” karena tak mampu memahami keseluruhan
pesan di dalam sajak, persis seperti kasus pelukis mahsyur Affandi yang konon
tak mengerti sajak Chairil Anwar yang didedikasikan pada dirinya. Dalam arti
ini saya menilai sajak adalah sejenis solilokui.
Catatan-catatan
saya bicara tentang puisi/sajak yang mau melukiskan kodrat dan pernak-pernik
kehidupan kota termasuk gaya hidup dan gerak-gerik orang-orangnya,
bangunan-bangunannya, moda transportasinya dan lain-lain. Di sini, sajak-sajak
perlawanan pun saya perlakukan demikian; sajak-sajak yang berkehendak memotret
dan menyuarakan pertentangan-pertentangan serta keganjilan-keganjilan dalam
pergaulan orang-orang kota.
Hal
paling lumrah terjadi di kota adalah adanya orang yang berperan sebagai majikan
dan ada yang menjadi babu. Tak ada yang salah dengan hal ini. Keganjilan
mencuat ketika di kota kita menemukan ada seorang majikan karena merasa sudah
mengupah si babu, lantas bebas memperlakukan babu seperti ternak peliharaannya;
ada orang
yang kaya raya tapi di saat bersamaan tak memiliki waktu luang untuk sekadar
kumpul-kumpul bersama keluarga; ada orang yang kerjaanya koq mau mengatur dan
mengurusi nyaris seluruh kehidupan orang lain tak peduli apakah orang yang
diaturnya senang atau tidak; ada orang yang bertahun-tahun tinggal di sebuah
pemukiman tapi tak mengetahui satupun nama tetangganya; ada orang yang kerjanya
selalu tergopoh-gopoh, marah-marah, uring-uringan tanpa alasan yang masuk akal,
dan masih banyak lagi lah contohnya.
Sajak-sajak
perlawanan termasuk memiliki riwayat cukup panjang dalam khazanah sajak kita
yang berumur melebihi usia republik ini. Diawal-awal kemunculannya sajak-sajak
perlawanan menjaga jarak, bahkan cenderung berlawanan, dengan sajak-sajak yang
dikembangkan misalnya oleh Muhammad Yamin, tokoh yang dianggap sebagai yang
paling awal merumuskan dasar-dasar sajak Indonesia modern.
Pada
Sajak Yamin Bahasa, Bangsa (1921) nyaris tak ditemukan suara-suara yang
menyerukan penyangkalan terhadap sesuatu kecuali histeria dan gairah pada diri
sendiri karena berhasil menemukan dan menegaskan sebuah sajak dengan bahasa
sendiri, bahasa Indonesia; kegembiraan Yamin dalam sajak Bahasa, Bangsa
mirip sebuah keceriaan seorang bocah yang baru mendapat mainan yang telah lama
diidam-idamkannya.
Kegembiraan
Muhammad Yamin sangat beralasan. Sajak-sajaknya pelan tapi pasti mulai terbebas
dari bayang-bayang pantun Melayu maupun soneta yang sebelumnya amat berpengaruh
dalam tradisi sajak nusantara. Tak cuma itu pada sajak Yamin di atas mulai
tercium adanya ikhtiar memikirkan secara serius seluk-beluk bahasa.
Janganlah
kau sok-sokan bersajak jika kalian belum memahami sepenuhnya peran dan
kedudukan dari bahasa yang kau gunakan dalam bersajak, begitu mungkin pikir
Muhammad Yamin kala itu. Selain itu, petuah Yamin yang tersirat dari
sajak-sajaknya ialah beranilah bersajak dengan bahasa Indonesia. Jika kau masih
bersajak menggunakan bahasa Melayu itu artinya kau termasuk orang-orang yang
gagal “move on.”
Cermati
olehmu bagian ini //Terlahir dibangsa, berbahasa sendiri// Diapit keluarga
kanan dan kiri// Besar budiman ditanah Melaju// Berduka suka, sertakan raju//
Perasaan serikat mendjadi padu// Dalam bahasanja, permai merdu// Selain itu
periksa juga olehmu bagian akhir sajak yang berbunyi //Ingat pemuda, Sumatera
malang// Tiada bahasa, bangsapun hilang//
Sajak Yamin
belum sepenuhnya steril dari aroma. Pantun akhiran “u” yang konstan menandakan
Yamin masih gelisah antara lanjut atau udahan menjalin hubungan dengan
bahasa Melayu. Tapi, kesadaran untuk mulai memikirkan bahasa sebagai alat
pemersatu menjadikan sajak Muhammad Yamin terasa istimewa. Pantun sendiri tak
sepenuhnya hilang bahkan hingga saat ini. Pantun masih ada dan berlipat ganda
tak percaya? Lihat saja gaya lawakan Bang Safri yang suka berpantun “masak aer
biar mateng” di setiap aksi panggungnya itu.
Mas Marco
Kartodikromo. Dialah salah seorang dedengkot sajak perlawanan. Lewat kumpulan Sair-Sair
Rempah (1918) Mas Marco yang pernah mengalami hidup sebagai orang buangan
bersuara lantang menyuarakan pengalaman pahitnya // Sair inilah dari pendjara//
Waktoe kami baroe dihukumja// di-Weltevreden tampat tinggalnja// Dua belas
bulan punya lama// (Sajak Sama Rata Sama Rasa).
Di bagian
lain sajak Sama Rata Sama Rasa yang panjang itu pujangga jalanan Mas
Marco menulis lebih keras lagi//Kami bersair boekan krontjongan// Seperti si
orang pelantjongan// Mondar mandir kebingoengan// Jaitoe pemoeda Semarangan//
Gaya
bersajak Mas Marco yang blak-blakan, sarkas, dan provokatif menempatkan Mas
Marco berdiri di pihak yang berseberangan dengan gaya sajak yang dikembangkan
Muhammad Yamin yang baru muncul belakangan. Tak hanya Mas Marco yang pengucapan
sajak-sajak yang berbeda dari Muhammad Yami. Periode 1920-an Rustam Effendi
berada dalam satu barisang dengan Mas Marco.
Rustam
Effendi melakukan perlawanan yang sama seperti tersua dari Pertjikan
Permenungan-nya pada 1925 di mana ia menulis sajak Bukan Beta Bidjak
Berperi yang berbunyi;// Bukan beta bidjak berperi// Pandai menggubah
madahan sjair// Bukan beta budak negeri// Mesti menurut undangan mair// Sarat
saraf saja mungkiri// Untai rangkaian seloka lama// Beta buang beta mungkiri//
Sebab laguku menurut sukma//
Berbeda
dengan sajak perlawanan ala Mas Marco yang tampak lebih menekankan unsur sosial
di sajak-sajaknya Rustam Effendi head to head dengan Muhammad Yamin yang
terkesan masih memosisikan dirinya sebagai si “Pandai menggubah madahan sjair”
yang masih terpesona dengan “Untai rangkaian seloka lama” belum sampai pada
maqom memungkiri “sarat saraf” apalagi mencipta syair “menurut sukma.’’
Kendati
terdapat titik tengkar antara Muhammad Yamin di satu sisi dan Mas Marco serta
Rustan Effendi di sisi lainnya, ketiga tokoh ini masih dipertemukan oleh titik
temu di sana-sini dan yang paling menyolok terutama adalah sajak-sajak mereka
masih terkontaminasi pantun.
Demikianlah
sketsa sederhana ihwal silsilah sajak-sajak perlawanan. Kemungkinan masih
banyak yang luput dari catatan ini. Tapi, sampai saat ini dengan berpijak pada
“tokoh dan pokok” yang telah dikemukakan di atas, peta untuk mengetahui posisi
dan jejak-jejak sajak perlawanan di masa lalu sedikit banyak sudah mulai
terlihat.
Bahasa
menjadi target pertama dan yang utama dari sajak-sajak perlawanan Mas Marco dan
Rustam Effendi. Duo Marco dan Effendi ini tampaknya bersepakat bahasa, apapun
nama dan bentuknya, jika dioperasikan sebagai pengingkaran pada dorongan yang
keluar dari “sukma” tak lebih dari sebuah basa-basi yang patut dicurigai
sebagai upaya merancang jalan ke arah dominasi, penaklukan, dan lebih parah
lagi, sebuah penindasan.
Komentar
Posting Komentar