Langsung ke konten utama

Emerson

Setidaknya ada dua pendapat terkait hubungan antara penyair dan tradisi. Pertama, penyair membenci tradisi; penyair adalah sosok yang memiliki kemampuan spesial memahami segala hal berdasarkan perasaan dan intuisinya. Berbekal perasaan dan intuisinya, seorang penyair selalu tak puas dengan realitas kini dan di sini dan oleh sebab itu selalu mengupayakan pembebasan diri dari—dan melampaui—tradisi yang melingkupi dan dianggap mencemarinya.
Kedua, penyair dan tradisi saling merawat dan memuliakan; setiap penyair secara otomatis mengambil tempat dalam tradisi yang terus merus berbenah dan berubah. Penyair berkemampuan mengubah tradisi tapi ia tetap merupakan bagian dari tradisi.
Kedua pendapat di atas dapat dilacak muasalnya dari dua tokoh besar dalam sejarah kesenian (sastra) Barat; butir pertama bertolak dari gagasan Ralph Waldo Emerson (1803-1882) seperti tercermin dari karangannya, sebuah naskah pidato, “The American Scholar” pada 1837. Sementara itu, butir kedua berangkat dari pemikiran Thomas Stearns Eliot alias T.S Eliot (1888-1965) seperti terefleksikan dalam tulisannya “Tradition and the Individual Talent” (1919).
Bila dibandingkan dengan Eliot, nama Emerson kurang begitu populer dalam sejarah dan pergaulan sastra Indonesia. Pandangan-pandangan Rendra pada 1970-an, Budi Darma (1980-an), dan Iwan Simatupang (1950-an) terutama tentang kaitan antara tradisi dan karya cipta akan terasa tak mengejutkan jika kita lebih dulu akrab dengan tulisan-tulisan T.S Eliot. Selain itu, sebutan “Paus Sastra” dan “Diktator Sastra” yang pernah identik dengan almarhum H.B Jassin adalah juga gelar untuk T.S Eliot. (Lih., Vincent B. Leitch, 2001:1088).
Pemikiran Emerson yang terkesan “melangit” barangkali menjadi salah satu penyebab Emerson tak sepopuler Eliot. Emerson sendiri kelak menginspirasi ekspresi kesenian Henry David Thoreau, Emily Dickinson, dan Walt Whitman. Sebagai penyair dan akademisi Emerson terbilang gaul. Ia rajin berdiskusi dengan tokoh-tokoh yang di kemudian hari berpengaruh dalam peta estetika Barat seperti William Wordsworth, Samuel Tayor Coleridge, dan sejarahwan asal Skotlandia penganut paham Idealisme Jerman, Thomas Carlyle.
Ralph Waldo Emerson yang lahir di Boston, 25 Mei 1803 ini dalah pelopor paham dan gerakan penting dalam kesusastraan Amerika Serikat yaitu “New England Transcendentalism” (NET), yang inti pandangannya berbunyi, seluruh penciptaan adalah satu, pria dan wanita dikaruniai kebaikan, intuisi adalah sumber kebenaran, persepsi individual menerangi dan menstrukturkan dunia.
NET merupakan gabungan dari beberapa tradisi besar dalam sejarah filsafat Barat dari mulai pengetahuan transendental dari Immanuel Kant, Idealisme Jerman, Plato, Neoplatonisme, dan alam pikiran filsafat Timur. (Lih. M.H Abrams, 2008: 375-376). Emerson, seperti tertulis dalam karangannya “The Transcendentalist” (1950:87), berkeyakinan bahwa apa yang secara populer disebut Transendentalisme tak lain adalah Idealisme.
Sebagai seorang idealis Emerson percaya sepenuhnya pada kekuatan pikiran, kehendak, inspirasi, keajaiban, dan kebudayaan individual. Pokok-pokok tersebut dianggap sebagai perwujudan sentrifugal dari kepercayaan pada Tuhan (lih., Brooks Atkinson, 1950: xx).
Di balik paham gado-gado yang mendasari NET, terdapat suatu pandangan tentang hakikat manusia yang amat luhur. Manusia makhluk yang tak hanya sempurna ia bahkan maha sempurna, superior, dan berkuasa penuh. Emerson di karangannya yang lain berjudul “Nature” (Emerson, 1950:7) bertafakur “Aku menjadi bola mata yang transparan; Aku bukan siapa-siapa; Aku melihat semuanya; arus-arus dari Ada Universal yang menyebar melalui diriku; Aku bagian atau ambil bagian dalam Tuhan.”
Ada kesan sangat kuat bahwa penyair di mata Emerson menyerupai mistikus sejati yang telah mengalami proses penyatuan atau peleburan ke dalam-NYA. Walhasil, puisi-puisi yang dihasilkan sepenuhnya memuat unsur-unsur keilahiahan. Kritikus Harold Bloom dalam sebuah wawancara pada 1993 dengan terang-terangan menyatakan “Emerson adalah Tuhan.”
Awalnya saya menduga ungkapan tersebut serupa dengan grafiti bertuliskan “Eric Clapton is God” di salah satu tembok kota London, yang mau menegaskan kepiawaian bergitar Eric Clapton yang tanpa tanding dan setingkat dewa, tapi saya keliru. Di balik ungkapan terkesan “lebay” Bloom sebenarnya bermaksud meringkas gagasan Emerson yang memosisikan penyair pada tempat amat luhur, sebagai Tuhan, bukan sejenis nabi atau rasul apalagi pewaris para nabi.
 “Setiap era, harus menuliskan buku-bukunya sendiri; atau tepatnya, setiap generasi bagi generasi mendatang. Buku-buku dari periode yang lebih tua tak akan cocok dengan era sekarang.” (Ralph Waldo Emerson)
Pernyataan di atas menyiratkan kenyataan bahwa bagi Emerson praksis dan variasi tradisi yang terdokumentasikan dalam puisi-puisi, buku-buku, berbagai catatan penting warisan para penulis terdahulu, verbal atau non-verbal, tak terlalu berarti bagi kreatifitas seseorang.
Para penulis buku, yang disebut Emerson sebagai “thinker” adalah mereka yang dikaruniai bakat istimewa, dan di satu fase perkembangan pemikirannya bekerja dengan mengoptimalkan rasio demi menghasilkan sebuah karya yang cemerlang, sempurna, dan sukses merebut perhatian dan memengaruhi pembaca.
Semakin dalam seorang pembaca terpengaruh oleh isi buku yang dibacanya, semakin besar peluang ia menjadi pengikut fanatik yang kehilangan kedaulatan dan kemerdekaannya. Orang yang rajin membaca buku, berdiskusi, dan bersekolah dicibir Emerson sebagai orang-orang yang selalu menatap ke masa lalu tak berani menatap ke masa depan.
Hanya orang-orang jenius yang mampu menantap masa depan, kata Emerson. “Orang berharap, para jenius mencipta.” Emerson menyebut si jenius ini sebagai “Man of Thinking” dan membedakannya dari “thinker.”
Alih-alih sebagai sumber ide, buku-buku dari para penulis di masa lalu, termasuk institusi pendidikan, dan mazhab kesenian, justru berpotensi menyesatkan dan menjerumuskan. “Aku,” kata Emerson, lebih baik tak pernah memahami sebuah buku daripada menjadi sinting oleh pikatnya yang dapat membersihkanku dari orbitku sendiri, dan oleh karena itu sekadar menjadi satelit dari sebuah sistem.”
Emerson terlihat sebagai orang yang anti tradisi dan anti intelektual. Emerson menganggap tradisi sebagai penghalang kebebasan, perintang realisasi diri. Buku-buku serupa racun yang membuat pembaca kehilangan kritisisme, krisis kepercayaan diri, dan menumpulkan perasaan dan intuisi seorang penyair. Emerson seolah sedang memberi angin segar bagi para pemalas. Benarkah demikian? Ternyata tidak ‘gaes’.
Emerson, seperti akan diuraikan lebih terperinci nanti, menawarkan suatu siasat pembacaan secara baru yang lebih memusatkan perhatian pada pembaca dan bukan bacaan; sebuah ide yang kelak dimunculkan lagi pada 1970-an dan 1980-an, meski tak mengacu pada Emerson, dalam rupa “reader-response criticism.”
Sampai di sini, sebelum kita melanjutkan pada bagian berikutnya, izinkan saya menutup bagian ini dengan menghadirkan puisi dari Sutardji Calzoum Bachri berikut ini,

HUSSPUSS
husspuss
diamlah
kasihani mereka
mereka sekedar penyair
husspuss
maafkan aku
aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata
memanggilMu
pot pot pot
pot pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semua pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar menteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazuku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zegezea.eze aahh ...!
nama nama kalian bebas carilah tuhan semaumu


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya