Nurcholis Madjid alias Cak Nur, salah seorang intelektual muslim
paling terkemuka Indonesia yang wafat pada
29 Agustus 2005 karen penyakit sirosis
atau kanker hati itu, biasa memanggil Omi pada istri tercintanya Omi Komaria
Madjid. Cholish adalah panggilan untuk Cak Nur saat ia masih remaja.
Membaca buku Hidupku
Bersama Cak Nur, Catatan Omi Komaria Madjid (Nurcholish Madjid Society; 2015) adalah
membaca kisah cinta dan kesetiaan dalam artiannya yang sangat menyeluruh mencakup cinta seorang
pria pada wanita, cinta dan bakti anak pada kedua orang tua, cinta pada sesama
manusia, cinta pada agama, hingga cinta pada tanah air.
Tapi, buku ini tak melulu bertutur tentang cinta. Buku ini juga menghadirkan percikan pemikiran Cak Nur yang lekat dengan
gagasan-gagasan besar seputar keislaman, kemodernan, dan terutama adalah
keindonesiaa.
Di halaman 59 – 60 misalnya, Omi terkenang sepucuk surat cinta dari Cak Nur untuk dirinya
dan meninggalkan kesan mendalam hingga surat
itu sempat dibuatkan salinannya yang sayangnya
kini, seperti diakui Omi, surat yang asli telah habis
digerogoti tikus dan salinannya raib.
Cak Nur di surat itu menulis, “Perasaanku sekarang telah
berubah. Separuh jiwa saya adalah milikku separuhnya milik Dik Kom. Demikian pula Dik Kom, separuh
milik Dik Kom dan separuhnya saya. Itulah mengapa ada istilah ‘Garwa’ dalam bahasa Jawa. Suami bagi
istri adalah ‘garwa’, demikian sebaliknya, yang berarti ‘sigaraning nyawa’ atau
belahan jiwa.”
Contoh lain terdapat di
halaman 64 – 65 tepatnya ketika Cak Nur bermaksud memberikan panggilan sayang
pada kekasihnya itu dengan cara mengubah ejaannya. Semula nama asli Komariah adalah “Qomarijah”Cak Nur mengubahnya menjadi
Komaria dengan alasan “supaya tak
bernuansa Arab dan lebih Indonesia.”
Niatan Cak Nur memberi
nama baru pada sang istri ternyata dilandasi alasan historis, ia ingin “Seperti Bung Karno juga memberikan nama-nama
pada istrinya sebagai tanda cinta.” Alasan itu ternyata
cukup jitu membuat hati Omi meleleh
dan makin jatuh hati pada Cak Nur.
Demikianlah, intelektual
muslim yang pernah memantik kontroversi karena gagasannya “Islam Yes Partai
Islam No” di tahun 70-an itu, sedari awal sudah menunjukkan kecintaan yang luar
biasa pada Indonesia.
Cinta dan petaka
Kisah cinta Omi dan Cak
Nur serupa kisah cinta di negeri
dongeng. Cak Nur, anak seorang kyai kampung yang cukup disegani di daerah
Mojoanyar jatuh cinta pada Omi Komariah seorang putri dari seorang pemuka agama, pengusaha sukses, anggota
Partai Syarikat Islam Indonesia,
dan salah satu donatur tetap Pesantren
Gontor.
Cinta Cak Nur pada Omi
bersemi di era 60-an, berdekatan dengan meletusnya malapetaka 30
September 1965. Ayahanda Omi termasuk salah
satu tokoh yang disebut-sebut diburu dalam geger 65 tersebut.
Demi menghindari
terjadinya hal buruk bagi sang ayah, sejumlah rekan ayahanda Omi dari Pesantren
Gontor menyembunyikan ayah Omi dalam waktu cukup lama. Dampak geger 65 tak
hanya dialami ayahanda, Omi sendiri harus merasakan langsung tepatnya ketika kelulusan
Omi dari jenjang sekolah menengah
diundur.
Cinta Cak Nur pada Omi termasuk
penuh liku. Diawali sebuah skenario perjodohan yang gagal total lantaran Omi tak
menyukai Cak Nur pada saat pendangan pertama, kisah cinta mereka pun tertunda
selama empat tahun. Penolakan Omi pada Cak Nur waktu itu tak lain karena alasa
klasik. Kata Omi, “Wajahnya saat itu
tidak menarik.”
Sepanjang empat tahun
setelah kegagalan Cak Nur memikat
Omi, Cak Nur berusaha move on dengan memilih lebih banyak menghabiskan waktu dengan aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI). Pada saat bersamaan Omi semakin
tekun belajar di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Indonesia Solo dan menjadi anggota HMI meski tak terlalu aktif.
HMI adalah sarana bagi terjadinya
momen CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) antara Omi dan Cak Nur. Cerita tempo dulu kunjungan Cak Nur ke rumah Omi dengan maksud
melakukan pendekatan rupanya sampai ke telinga para anggota HMI. Walhasil, di
lingkungan organisasi kemahasiswaan itu berkembang desas-desus Cak Nur memang telah “jadian” dengan Omi. Gossip
ini ternyata cukup membuat Omi galau.
Sebagi muslimah taat
sejumlah ikhtiar pun dilakukan Omi termasuk dengan menunaikan sholat
istikharah, sholat sunah yang dilakukan saat menghadapi situasi rumit,
menghadapi pilihan yang sangat membingungkan.
Semakin sering Omi
sholat istikharan, semakin rajin Cak Nur
menyapa Omi lewat mimpi. Pada
mulanya Omi tak
menganggap isyarat tersebut sebagai sesuatu yang serius hingga suatu waktu, setelah mimpi
paling terakhir dialami Omi, ibunda Omi datang, memberikan sepucuk surat
dari Cak Nur yang ditujukkan kepada seseorang yang berperan sebagai perantara
antara Cak Nur dengan keluarga Omi yang
mana isi surat tentang keseriusan Cak Nur melamar Omi.
Surat tersebut konon
ditulis Cak Nur di Makkah saat ia menunaikan ibadah haji. Kepada Omi sang bunda
dengan suara lirih berbisik “Dia mantap memilih kamu sebagai istrinya setelah
berdoa di multazam...”
Mendengar kata-kata sang
bunda mata Omi pun basah. Ia menangis dan
bersimpuh di pangkuan sang bunda, memohon ampun, dan meminta restu untuk menerima
Cak Nur.
Kritik
Banyak fakta-fakta
menarik seputar kehidupan Cak Nur saat sakit hingga menjelang wafat yang jarang
diketahui publik, terungkap di buku ini;
Menurut kesaksian Omi, Cak Nur sempat mengalami berbagai momen penglihatan ajaib dari
mulai memprediksi datangnya bencana tsunami, mengoreksi bacaan
al Qur’an seseorang yang secara tajwid
dianggap Cak Nur keliru, menyaksikan taman yang indah, hingga kedatangan orang-orang besar yang telah
lebih dulu meninggal, dan seakan-akan
hendak menyambut Cak Nur. Cak Nur seperti merasakan betul dirinya sudah
semakin dekat dengan ajal.
Kelemahan buku ini terletak
pada pertama tak adanya informasi terkait
profil lengkap baik untuk Omi Komaria Madjid sendiri maupun orang-orang yang secara intensif berhubungan
dengan Cak Nur semasa hidup dan tertulis di buku ini, membuat pembaca awam tak mendapat
gambaran utuh tentang sosok Cak Nur yang nota
bene intelektual dengan pengakuan nasional dan bahkan internasional.
Kedua terdapat pada alur, terutama di peralihan bab tiga ke bab
empat yang terkesan mengalami lompatan. Bab tiga yang mengisahkan tentang
kehidupan Omi dan Cak Nur menjelang dan sesudah pernikahan, mendadak langsung beralih
ke kisah tentang perjuangan Cak Nur melawan sakit parah yang dideritanya.
Kisah kehidupan Omi saat
menemani Cak Nur di Chicago tak banyak disinggung kecuali secara sekilas ketika
Omi bercerita ia sempat bekerja sebagai
petugas cleaning service dan baby sitting. Padahal, momen peralihan dari bab tiga ke bab empat idealnya
diisi secara lebih terperinci dengan kisah Omi saat menemani Cak Nur ketika Cak
Nur menimba ilmu di Chicago.
Lepas dari berbagai
kelemahan di muka, buku yang berkehendak memotret sosok Cak Nur (dari sudut
pandang istri yang setia menemani Cak Nur selama kurang lebih 36 tahun) sebagai
seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya ini adalah salah satu buku yang paling menggetarkan yang pernah saya
baca.
Luar biasa....
BalasHapus