Langsung ke konten utama

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar
Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi.
Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya.

Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong
Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Januari 1976 ini pada posisi yang khas, “anti-mainstream” dengan kecenderungan merayakan erotisme total tampak dalam “Kuda Ranjang” (2004), “Bau Betina” (2007) dan “Demonstran Sexy” (2008).  
Sejak terbit pertamakali hingga pengujung 2000an, buku-buku tersebut, terkhusus dua buku  pertama, membuat pihak-pihak yang bergaris ideologi puisi konvensional senewen dan lantas meringkusnya ke dalam jenis puisi cabul, bejat, dan musuh moralitas. Sikap kepenyairan Nurrohmat sendiri terbaca pada salah satu puisi dari kumpulan puisi Demonstran Sexy,
Kau angkatan ‘66
Gue penyair 69.
Kau senang main belakang
Gue merambah atas dan bawah

Kau angkatan ‘66
Gue penyair 69

Kau rajin khotbah politik belaka
Gue menyelami gairah manusia.
(Binhad Nurrohmat, Perbedaan Penyair, 2008)

Puisi Perbedaan  Penyair menunjukan posisi Nurrohmat yang gemar “menyelami gairah manusia,” mengeksplorasi birahi dari “atas dan bawah” serta asyik dengan posisi “69”. Tapi di seberang pengucapan puitis yang terkesan asal-asalan dan permainan rima yang tangguh sebenarnya terdapat sebuah wawasan mendalam seperti tersua pada puisi Akar yang terdapat dalam buku kumpulan puisi Nurrohmat Kuda Ranjang;
Kembalikan tubuhmu jadi kau
Sebelum pohon hunjamkan akar
Merengkuh remah tanah dan gumpal batu
Ke ceruk terdalam riwayatmu.

Kau tahu aku tak mau rontokan tubuhmu
Membentangkan pesisir bagi para musafir
Mendadak iseng menulis birahi di pasir.

Di mana kini kucari kecut keringat senggama
dan hitam jembutmu dulu?

Aku tak ingin mencari kau seperti binatang di dalam sarang
Kuingin memburu kau di padang terbuka
Bersama tombak dan badik di genggaman
Siap menangkap dan menguliti tubuhmu.
Atau kuseru kau di buku alamat
Serta tumpukan surat masa remaja yang dungu
Dan menyusun pecahan ingatan.

Muakkah aku mengenang kau
Setela kau enyah dari tubuhku.

Kunci memahami puisi di muka ialah dengan memberikan perhatian pada judul puisi (Akar). Di balik kata-kata yang meliuk-liuk di atas menyelinap sebuah pesan cukup jelas bahwa Akar berbicara ihwal  nostalgia, sebuah hasrat menggebu-gebu pada asal-mula, yang asali, yang primordial (the origin).
Kendati menyiratkan sebuah kerinduan mendalam akan asal-usul puisi Akar tak lantas memilih rute wajar dalam laku pencariannya sebaliknya ia lebih  memilih jalur tak biasa, agresif, dan dengan cara membenci dan bahkan coba untuk melenyapkannya // Aku tak ingin mencari kau seperti binatang di dalam sarang// Kuingin memburu kau di padang terbuka// Bersama tombak dan badik di genggaman// Siap menangkap dan menguliti tubuhmu//  

Aku tak ingin mencari kau seperti binatang di dalam sarang
Kuingin memburu kau di padang terbuka
Bersama tombak dan badik di genggaman
Siap menangkap dan menguliti tubuhmu.

Secara populer laku pencarian yang terungkap dari puisi Akar adalah jenis pencarian yang didesak perasaan unik benci tapi rindu, yang boleh jadi dipicu adanya pengalaman-pengalaman traumatik yang serentak ingin dilupakan tapi sekaligus tak mampu disingkirkan dalam benak. Maksudnya, ingatan selalu datang tak bisa ditolak meski itu tentang  ingatan akan pengalaman yang memilukan atau bahkan memalukan dan ingin sekali dilupakan.

Atau kuseru kau di buku alamat
Serta tumpukan surat masa remaja yang dungu
Dan menyusun pecahan ingatan.

Tapi, pada saat bersamaan, dengan pertimbangan-pertimbangan rasionya  seseorang memiliki  kecenderungan untuk mengingat hal-hal baik dan mengenakan yang pernah dialami tinimbang mengenang hal-hal menggelikan dan memalukan yang pernah dialami. Situasi ini analog dengan kegemaran seseorang yang lebih memilih jalan terang dan ramai dari pada jalan sunyi dan gelap, kecuali bagi mereka yang suka berduaan dengan lawan jenis di tempat gelap. Pacaran.

Manarik bahwa intensi pada pencarian akan masa lalu yang terikat pada ruang dan waktu tertentu juga menyeruak pada salah satu puisi dalam KRC “Terkenang Durasim di Alun-Alun”;  // Masa silam tak bertandang naik kereta// Lembar babad tua tak berbisik di sirine//

Puisi Epik
Topik pengembaraan mencari asal-mula tersua dengan jelas pada beberapa puisi dalam KRC. Kesejajaran ini membuat puisi-puisi yang terkumpul dalam KRC dapat dimaknai sebagai bagian tak terpisahkan dari rangkaian puisi-puisi Nurrohmat terdahulu.
Lepas dari keserupaan tersebut pada KRC menyeruak sebuah perbedaan mendasar yang menyebabkan KRC potensial menjadi karya terbaik dari Nurrohmat. Unsur pembeda KRC dengan puisi-puisi Nurrohmat terdahulu tampak pada gaya penulisan yang biasa kita nikmati pada puisi-puisi epik.
Dalam khasanah perpuisian Indonesia kita mengenal beberapa puisi epik legedaris semisal Karawang-Bekasi, Diponegoro, Beta Patirajawane (Chairil Anwar), Kesaksian Akhir Abad, Balada Terbunuhnya Atmo Karpo dan Blues untuk Bonnie (WS Rendra),  dan masih banyak lagi. Pada prosa kita kenal Arus Balik dari Pramoedya Ananta Toer selain tertalogi Pulau Burunya tentu saja.
Menunjuk pada contoh-contoh puisi epik di muka maka puisi epik merupakan produk dari sebuah “imajinasi historis” (historical imagination),  sebuah eksperimen membaca ulang dan menuliskan kembali momen-momen sejarah secara berbeda. Secara karakteristik puisi epik cenderung menuturkan, melakukan reportase, menceritakan seorang tokoh, dan memaparkan suatu peristiwa.  Puisi epik dengan demikian berkehendak melakukan penilaian ulang atas sejarah. Acapkali puisi epik adalah sebuah kesaksian.
Dalam puisi epik penguasaan teknik penulisan menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar.  Teknik penulisan yang mumpuni menjadi prasyarat agar pembaca terpikat, hanyut dan seakan merasakan secara langsung dialektika yang digambarkan dalam puisi epik.  
Pada puisi Karawang Bekasi pembaca seakan-akan diberi mandat oleh Chairil Anwar untuk terus melanjutkan perjuangan melawan kompeni //Kami sekarang mayat// Berikan kami arti// Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian//
Pada Balada Terbunuhnya Atmo Karpo  dengan kemahirannya mengolah kekuatan kata, WS Rendra berhasil membabar sebuah  kisah memikat tentang perburuan, pengepungan, dan penumpasan Atmo Karpo oleh warga yang dipimpin oleh Joko Pandan yang tak lain anak dari Atmo Karpo sendiri.//Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka// Pesta bulan/ sorai sorai/ anggur darah// Joko Pandan menegak/menjilat darah di pedang// Ia telah membunuh bapanya//
Puisi Karawang – Bekasi dan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo adalah contoh puisi epik maksimal. Pada keduanya memuat unsur-unsur heroisme, tragedi dan ironi; unsur-unsur yang juga dapat kita sua pada prosa epik semisal Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer seperti tercermin dari kutipan mahsyur di pengujung novel tersebut “kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Ketika Syaikh Subakir bertemu Atmo Karpo
Puisi-puisi dalam KRC sepenuhnya diisi dengan puisi-puisi yang ringkas. Setiap puisi hanya berisi, jika pembacaan saya tak keliru, empat larik dan bertutur tentang situs, tokoh, serta  peristiwa bersejarah yang terjadi di daerah Jombang Jawa Timur. 
Melalui KRC Nurrohmat berkehendak mengajak pembaca menyusuri berbagai  anasir kultural pembentuk imajinasi kolektif masyarakat Jombang. Tak hanya melakukan penelusuran  Nurrohmat melakukan sebuah pembacaan dan penulisan kembali unsur-unsur kultural tersebut secara memikat, mengejutkan dan tak terduga.
Ya, Nurrohmat bertekad melanjutkan tradisi puisi (epik) yang telah diinisiasi Chairil dan Rendra seperti termaknai dari puisi Sebelum Perjalanan,
Dengan bisik isyarat alam mengucap amanat
Makna riang atau dingin  menanti arah angin
Pundak penyair memanggul bahasa berabad
Menera zalim benderang akal dan batin.
Pengembaraan rohani Nurrohmat seperti tercermin dari KRC adalah satu mata rantai dari petualangan batin yang juga pernah dilakukan Chairil dan Rendra, juga para penyair lain , yang didesak “bisik isyarat alam megucap amanat” memaknai “riang atau dingin” serta  “menanti arah angin” historis dan mengucapkanya  secara puitis demi “menera zalim benderang akal dan batin”.
Saling silang antara Rendra dan Nurrohmat amat kentara bila kita simak puisi “Perburuan Syaikh Subakir” dengan “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”.
Perburuan Syaikh Subakir

Hutan berdemit dikapak utusan Demak
Macan rimba memangsa Mojokrapak
Mantra mengurungnya di kandang besi
Hewan lepas di Gilang lari ke pori bumi

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan itu
Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Belah perutnya tapi masih setan ia
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
Joko Pandan! Di manakah ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja.
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.

Persamaan antara Perburuan Syaih Subakhir dengan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo selain sama-sama berlatar hutan tampak narasi yang coba diungkap yaitu perihal perburuan seseorang bedanya klimaks dalam puisi Rendra berakhir dengan tewasnya Atmo Karpo tapi pada Syaikh Subakhir, yang diburu lantaran kesaktian yang dimiliki, berhasil “lari ke pori bumi”. 
Perbedaan mendasar lain antara puisi Atmo Karpo dari Rendra dengan Syaihk Subakhi dari Nurrohmat tampak dari porsi larik-larik di dalamnya. Rendra butuh 32 larik untuk bertutur tentang suratan tragis Atmo Karpo yang harus meregang nyawa di tangan anaknya sendiri sedangkan Nurrohmat hanya butuh 4 larik untuk mengulas misteri di balik kisah perburuan Syaikh Subakir.  Perbedaan mendasar inilah yang mencuatkan adanya visi maksimal di balik puisi-puisi minimal dalam KRC, sebuah visi besar menghadirkan puisi epik tapi dalam bentuk amat mini.
Menjadi pertanyaan ialah apakah Nurrohmat penyair pertama yang coba hadirkan puisi epik dalam bentuk yang mini? Rasa-rasanya tidak.
Jauh sebelum Nurrohmat menuliskan mini epic, penyair Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)  Utuy Tatang Sontani ternyata sudah memulainya pada periode 1961 terutama lewat salah satu puisinya Peking,

Dua kali kulihat Peking
Dua ribu kali kutemui
Tangan perkasa merajai siang
Wajah indah dibawah kerlipan bintang.

Tetapi yang khas dari Nurrohmat, dan ini yang membedakannya dari puisi-puisi epik dari Chairil, Rendra, juga Utuy ialah Nurrohmat berani memilih dan menggelar narasi-narasi kecil dan nyaris dilupakan daripada memutuskan untuk memuisikan dalam bentuk epik narasi-narasi besar, agung dan luhur.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya