Langsung ke konten utama

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA


Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air, Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam, Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena, Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat!
Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat.
Begini ceritanya.
Tambo Kuno Mencatat Barbarisme
Sampul Buku Kitab Hikayat

Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adalah cerpen berlatar daerah Lampung. Tambo berkisah tentang sepasang suami istri bangsawan; Pemuka Marga Bendera dan Ratu Marga Bendera. Pemuka Marga Bendera dicitrakan sebagai sosok arif, bijak, hangat, dan senantiasa menjaga tradisi yang disimbolkan dalam  tambo, buku kuna berisi silsilah keturunan dalam masyarakat Lampung Sai Batin.
Silsilah yang tercatat dalam tambo mewartakan sebuah kenyataan historis bahwa leluhur Pemuka Marga Bendera dan leluhur Ratu Marga Bendera pernah terlibat pertikaian besar melibatkan laku penaklukan, pengejaran, dan pembasmian. Perselisihan itu bermula ketika sekelompok orang yang mendaku diri sebagai para penyeru ajaran “Jalan Yang Lurus” harus beradu dahi dengan tata pemerintahan yang telah mapan saat itu. Diceritakan salah satu pucuk pimpinan yang paling legendaris bergelar “Perempuan Penunggang Harimau,” yang tak lain merupakan leluhur dari Ratu Marga Bendera.
Tambo yang mencatat silsilah orang per orang itu secara tak langsung juga  mencatat barbarisme yang pernah terjadi di masa silam. Kisah-kisah yang menyiratkan barbarisme itupun terus membayangi generasi di masa kini. Adat atau tradisi lama terlipat oleh tradisi baru melalui suatu teknik pelipatan  yang kerapkali penuh pertumpahan darah. Tradisi baru menebar teror serta penghinaan total pada pemeluk teguh tradisi lama.
Tradisi baru, dari sudut pandang tradisi lama, tak lebih daripada  penyakit spiritual akut yang menyebar bak wabah, menerjang setiap pelosok desa dan kota, membinasakan kebudayaan tradisional di manapun yang tersasar sang wabah. Inilah awal tersiarnya adat khususnya atau tradisi pada umumnya seperti terrekam dalam cerpen Tambo. Keseluruhan cerpen dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air umumnya berbicara tentang peralihan dari adat yang lama ke adat yang baru tersebut.
Kode dari Langit Berujung Petaka
Sampul Buku Maaf ...

Kode dari Langit (disingkat Kode) adalah salah satu cerpen yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen berjudul Maaf ... Kupinjam Suamimu Semalam karya Dian Balqis. Sebagian besar cerpen dalam buku ini bercerita tentang kehidupa sosial di kota besar, lahir dan batinnya; perselingkuhan, perceraian, intrik, brutalisme, dendam, kesepian mendalam, dambaan pada kehidupan spiritual, impersonalitas, dan lain sebagainya.  
Membaca kumpulan cerpen ini dan percakapan singkat dengan penulisnya saya teringat buku  kesohor Illness as Metaphor and AIDS and Its Metaphor (Picador USA, 1990) di mana penulisnya, Susan Sontag, salah seorang teoritikus perempuan paling penting saat ini, berikhtiar melakukan demistifikasi terhadap jenis-jenis penyakit yang dikenal paling mematikan di dunia kanker, TBC, serta AIDS.
Siasat Sontag membubarkan mitos-mitos yang melingkupi penyakit-penyakit itu ialah dengan menelaah dan memreteli secara seksama kiasan-kiasan tentang pelbagai penyakit terkait dengan melacak akar-akarnya pada karya-karya para pemikir  dan sastrawan terkemuka dunia dari Aristoteles sampai Franz Kafka. Sontag kemudian berusaha mendudukan aneka penyakit tersebut pada “maqom”nya yakni semata sebagai penyakit, yang steril dari kiasan-kiasan horor.  
Sementara Sontag bertekad melakukan demistifikasi atas kanker, TBC, dan AIDS, Balqis melalui cerpen-cerpennya berkehendak meruntuhkan mitos di balik skizofrenia yang sering dikesankan sebagai jenis penyakit mental yang kontraproduktif. Untuk proyeknya itu Balqis memadukan kekayaan imajinasinya yang terkadang ganjil dengan kemampuan sastrawi. Maaf ... Kupinjam Suamimu Semalam membuktikan pada pembaca bahwa seseorang yang sedang atau setidaknya pernah mengidap skizofrenia pun dapat melahirkan suatu karya yang menarik.
Kembali ke “Kode.” Cerpen ini berkisah tentang pasangan muda dan mapan bernama Billy dan Tere. Pasangan ini diikat sebuah tali perkawinan berlandaskan adat Batak Toba. Seturut adat ini perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan perceraian dinilai sebagai aib. Kehidupan adat seperti ini di mata Billy yang tipikal pria rasional serupa pengekang sempurna bagi jiwa mudanya. Sepanjang kehidupan rumah tangga mereka pertengkaran adalah kewajaran.
Kehidupan rumah tangga Billy dan Tere serupa pepatah “ada dalam ketiadaan.”  Secara formal perkawinan mereka ada dan sah sayangnya perkawinan yang sah di mata hukum dan adat itu telah kehilangan sukmanya sejak jauh-jauh hari.
Diceritakan dalam “Kode”, sebelum akhirnya memutuskan menikah dengan Tere, Billy sempat berpacaran dengan seorang dara jelita bernama Shinta. Kedekatan dengan Shinta, yang keturunan Jawa itu,  berbuah kehamilan. Bukannya menikahi Shinta yang sudah bunting, Billy, karena desakkan adat, malah menikahi Tere. Shinta sendiri setelah terempas dari Billy menikah dengan seorang junkies.
Puncak dramatik cerpen ini terjadi di penghujung cerita. Pertemuan kembali Billy dengan Shinta yang diceritakan masih terlihat memesona mata setiap pria itu berujung pada hubungan intim antara Billy dan Shinta. Dari hubungan intim inilah  terjadi penularan AIDS yang sebelumnya telah diidap Shinta.
Tradisi, yang dalam cerita ini tercermin dalam adat, dianggap sebagai penghalang kebebasan seseorang untuk  seenaknya sendiri menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis. Nah, dikarenakan telah melawan adat atau tabu-tabu tertentu seseorang, diwakili sosok bernama Billy, akhirnya mendapat ganjaran terkena AIDS. Inilah ironi di balik setiap penentangan terhadap adat.
Gadis Pakarena Mati Sebelum Tuntas Hidup
Sampul Buku Gadis Pakarena

Ironi di balik setiap pertentangan atas adat kian mendapat penegasan pada cerpen-cerpen Khrisna Pabichara yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen “Gadis Pakarena.” Sebagian besar cerpen Pabichara adalah ikhtiar merontokkan dominasi adat yang dianggap “abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya.” (dalam cerpen Gadis Pakarena) dan “berbuah penderitaan” (dalam cerpen Lebang dan Hatinya).
Gambaran paling ekstrim tentang ironi di balik segenap penentangan pada adat tersua pada cerpen Mengawini Ibu. Cerpen ini mirip dengan kisah-kisah dalam serangkaian drama dari Sophocles yang pernah diterjemahkan dan dipentaskan mendiang Rendra berjudul Oedipus Sang Raja, Oedipus di Colonus, dan Antigone, sampai cerita rakyat tentang gunung tangkuban parahu yang populer di daerah Jawa Barat.
Bedanya  si “aku” dalam Mengawini Ibu terkesan menikmati betul perannya sebagai orang yang gemar dan ketagihan menyetubuhi istri dari ayah kandungnya. Saya kira inilah ironi besar di balik segala pertentangan atas adat; semakin ditentang  adat semakin balik menentang dan akhirnya adat tampil sebagai pemenang.
Perhatikan kutipan ini:
Satu-satunya kekurangan Ibu, menurutku, adalah dia terlampau kukuh memegang norma adat dan hukum agama …. memang dasar Ayah yang gila, Ibu juga….begitulah, aku menjadi penyaksi keanehan Ibu dan kegilaan Ayah. Aku diceburkan ke dalam hidup yang liar dan tak masuk akal. Aku menyaksikan pengkhianatan dan kesetiaan ganti-berganti di hadapan mataku sepanjang waktu. Itu sangat memilukan hati bocahku yang masih sering terbata membaca dunia. Aku merasa inilah matiku sebelum tuntas hidupku.
Kalimat terakhir “Aku merasa ...” adalah contoh terbaik dari ironi di balik setiap usaha menentang adat.
Akhirnya, cerpen-cerpen di atas cukup cermat memotret kisruh tentang tradisi umumnya dan adat khususnya. Segenap cerpen itu berhasil menarasikan seluk-beluk tradisi dengan cukup menawan lewat aneka simbol, habit atau kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan sosial tertentu.
Cerpen-cerpen di atas yang memeragakan pertanggungjawaban prosaik atas tradisi, meski sekadar meneruskan proyek evaluasi besar-besaran atas tradisi yang dipelopori  oleh misalnya Abdoel Moeis, Arifin C. Noer, Pramoedya Ananta Toer, Romo Mangun, Ahmad Tohari, dan Putu Wijaya ternyata semakin menguatkan hipotesa perihal kepengarangn pengarang-pengarang Indonesia kontemporer bahwa semakin tinggi kesadaran atas kosmopolitanisme, seorang pengarang semakin kuat tertanam dalam akar-akar adat istiadatnya. Apakah ini kelemahan? Saya kira bukan. [khudori husnan]


Catatan: draft untuk tulisan ini pernah dipaparkan di Sastra Reboan Warung Apresiasi Bulungan Jakarta Selatan.

Komentar

  1. Rajin sekali Anda, Mas Esque :))
    sudah rajin, tulisan Anda keren lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan kata orang2 tua dulu, rajin pangkal pandai ...

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya