Langsung ke konten utama

ZIKIR CARA PENGANTIN SURGA


Sampul Buku "Pengantin Surga"


Khazanah sastra dunia pernah mengenal beberapa cerita cinta klasik yang, dengan dukungan teknik penceritaan maupun isi cerita, dianggap mampu menyingkap romantika dalam diri anak manusia. Meski berlatar cerita berbeda dengan tokoh-tokoh yang berbeda-beda pula keseluruhan cerita cinta memikat nan menggetarkan kalbu itu memiliki keserupaan mendasar yakni berbicara tentang apa yang disebut Cinta.
Topik-topik kunci dalam cerita cinta klasik itu misalnya rasa cinta yang meletup-letup, kesetiaan, pengkhianatan, intrik, perselisihan, kedengkian, gairah, kerinduan mendalam, hasrat, cinta tak berbalas, tragedi, kemalangan, dendam, bahkan sampai pada kesadaran pada yang ilahi.
Beberapa cerita cinta paling terkenal sejagat yang pernah tercatat ialah Romeo dan Juliet, Kleopatra dan Mark Anthony, Lancelot dan Guinevere, Tristan dan Isolde, Paris dan Helen, Odysseus dan Penelope, Elizabeth Bennet dan Darcy, serta Marie dan Pierre Curie.
Artikulasi literer tentang cinta dari kawasan Timur tak kalah anggun dan agung. Dari kawasan ini lahir cerita-cerita seperti Salim dan Anarkail, Shah Jahan dan Mumtaz Mahal, serta Layla dan Majnun yang lebih menyerupai puisi panjang daripada novel biasa. Keanggunan dan keagungan kisah-kisah percintaan dari kawasan Timur ini terbaca dari puja-puji dua pujangga besar Jerman Goethe dan Rainer Marie Rilke.
Goethe menyebutkan bahwa “prinsip pemandu tertinggi puisi Persia adalah Geist, spirit.” Sementara itu Rilke berkata “taman-taman Isfahan dan Shiraz seakan-akan terbungkus dalam kaca” (dikutip Annemarie Schimmel, 1992:2). Pernyataan kedua pujangga itu menegaskan bahwa puisi-puisi Persia tak berdasarkan pada kesertamertaan atau spontanitas sebagaimana berlaku pada olah kreatif para pujangga Eropa modern tapi sebaliknya bertumpu pada desain sadar, bertolak dari suatu perhitungan seksama dan mendalam  para penyairnya.
Menurut Schimmel puisi-puisi Persia, terkhusus Nizami dan Hafiz, serupa sebuah kristal di mana setiap syair mampu memantulkan kilatan cahaya dalam warna-warna yang berbeda. Menunjukkan saling memengaruhi secara konstan antara yang real dengan yang sureal, antara yang dapat diindra dengan yang supra-idrawi. Di pusat puisi-puisi Persia, demikian Schimmel, tampil seseorang yang tidak pernah dan tidak akan pernah bisa bisa meraih sesuatu; katakan, yang ilahi atau Yang Terkasih Absolut.
Dalam konteks pemaparan di muka saya menempatkan kitab “Pengantin Surga” suntingan Salahuddien, Gz dan terjemahan Ali Nur Zaman (Penerbit Dolphin, Jakarta, 2012) ini, yang tak lain merupakan versi Indonesia untuk kisah klasik “Layla dan Majnun.”
Mabuk Cinta dan Metafora
Diserahkannya hatinya kepada Layla sebelum ia paham apa yang telah diserahkannya. Dan Layla? Tak jauh beda! Seletik api telah menyala di relung hati keduanya, dan masing-masing hati mencerminkan wajah yang dicintainya.” (Pengantin Surga, hal., 14) 
Layla dan Majnun adalah satu dari quintet berpengaruh Nizami Ganzavi (wafat 1203, versi Schimmel), salah seorang penyair paling terkemuka dari Persia.  Nizami oleh Schimmel dianggap sebagai “master epik romantik tanpa tanding.” Karya-karya Nizami yang bagian dari quintetnya itu ialah Makhzan Al-asrar (Gudang Rahasia), Haft Peykar (Tujuh Bidadari), Eskandarnameh (Kitab Iskandar), Khosrow o Sirrin (Khosrow dan Sirrin).
Menarik dari “Layla dan Majnun” ialah, Nizami sebagai penggubah menuangkan aneka perlambang yang diyakini menjadi aspek paling mendasar dalam spiritualisme Persia, ke dalam cerita cinta legendaris itu.
“Pengantin Surga” sarat aneka perlambang dan peribahasa. Inilah kekhasan dari kitab ini sehingga ia menjadi sebuah kitab yang sangat colourful berhiaskan kata-kata “anggur,” “mawar,” “debu,” “taman,” “apel,” “beri,” “rusa,” “serigala,” “burung,” “domba,” “gagak,” “lautan,” “sungai,” “api,” “cahaya,” “hujan,” “matahari,” “Venus,” “Jupiter,” dll.
Keseluruhan kata-kata yang menunjuk pada benda-benda konkret dalam “Pengantin Surga” menyiratkan kenyataan bahwa pada benda-benda konkret  dan empirik tersebut—yang dapat diraba, disentuh, dicium, dirasa, dan dilihat—ada sesuatu yang mengatasi kekonkretan dan keempirikkan, sesuatu yang abadi meski tetap diliputi misteri.
Atas kreasi puitik seperti dilakukan Nizami, dapat disimpulkan bahwa pengalaman spiritual paling puncak ternyata dapat dipicu oleh benda-benda material; misalnya sekuntum bunga, wewangian, awan yang berarak, dan seseorang.” (Bdk., Annemarie Schimmel, 1994: xii).
Pengoperasian perlambang, metafora, kiasan dan sejenisnya bisa jadi karena yang hakiki, yang misterius, akan selalu tetap misterius, tak akan pernah bisa diketahui atau didefinisikan. Dan, metafora berkehendak sekaligus menyingkapkan dan menyembunyikan sesuatu.
Dalam "Pengantin Surga" “anggur” dapat dimaknai sebagai buah-buahan, minuman, kemabukan, kegilaan, gejolak batin, gairah dan cinta itu sendiri. Pun halnya “mawar” yang dapat berarti bunga, bara asmara, gairah, cinta, hasrat, dan seterusnya. Sementara itu metafor taman, dalam tradisi sufi, dianggap sebagai replika bagi surga.
Sekadar tanggapan
Pada wajah Qays setiap orang melihat bayangan api yang membakar hatinya. Setiap orang menyaksikan darah yang mengalir dari luka-lukanya. Ia menderita karena kekasihnya. Semakin kerinduan tertahan, semakin gila ia jadinya. Seperti lilin yang terbakar oleh nyalanya sendiri, ia tak dapat tidur di malam hari. Dan ketika ia mencari obat penawar untuk menyembuhkan jiwa dan tubuhnya, jiwa dan tubuh itu telah digerogoti rasa sakit yang sangat mematikan. ("Pengantin Surga," hal., 21)
“Pengantin Surga” meski hasil terjemahan dari Inggris, tidak langsung dari Persia, cukup mampu menghadirkan pesona dari sebuah kisah cinta klasik kelas dunia dan telah menjadi standar bagi semua bentuk penulisan cerita-cerita serupa dalam berbagai genre sastra. Kitab ini layak dimiliki dan dibaca baik oleh orang yang berkehendak mencari makna cinta yang hakiki maupun oleh orang-orang yang gemar dengan cerita-cerita berbau "Love melulu."
Pekatnya nuansa spiritualisme dalam “Pengantin Surga,” sebagaimana secara meyakinkan dapat terbaca pada perlambang dan peribahasa yang secara konstan ada di dalamnya, menjadikan kitab ini layak dibaca  sebagai sebua novel sufistik yang ciamik.
Kekhasan dari novel sufistik menurut saya pengarangnya sedang berbagi pengalaman paling personal yang pernah dimiliki, pengembaraan spiritualnya, atau sekurang-kurangnya gambaran ideal pengarang tentang sebuah hubungan antara mahluk dengan khalik; Hubungan yang biasanya diperantarai oleh laku pengingatan (dzikir). Dengan kata lain proses penulisa kitab bagi seorang sufi setara dengan  zikir kepada Yang Ilahi.
Sayangnya, kitab ini menyisakan sebuah masalah. Tak dijadikannya judul asli “Layla dan Majnun” sebagai judul kitab membuat kitab ini seakan-akan mau menyangkal spirit utamanya sebagai novel sufistik berbalut salah satu ajaran paling fundamendal dalam tradisi tasawuf yakni Cinta.
Diubahnya judul "Layla Majnun" menjadi "Pengantin Surga" sedikit banyak menggeser makna cinta sufistik menjadi cinta yang semata altruistik. Atas nama cinta dan atau loyalitas pada sesuatu, seseorang rela bertindak apa saja bahkan mau melakukan-tindakan tindakan di luar batas-batas kewajaran, misalnya menyiksa diri. Sebaliknya cinta sufistik setahu saya bukan sejenis cinta altruistik tapi cinta yang identik dengan apa yang pernah dipekikkan Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi “Satu” //Daging kita satu arwah kita satu/Walau masing jauh/Yang tertusuk padamu berdarah padaku// [oleh Khudori Husnan, draft tulisan ini telah didisusikan di Sastra Reboan Wapres Bulungan]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya