Langsung ke konten utama

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama



Cover Novel Mada
Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya.
Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis (genetic criticism). Penelaahan genetis berkehendak merekonstruksi atau mengubah-laraskan secara kritis, dengan melibatkan sebuah analisa detail dan mendalam, ihwal proses penulisan sebuah karya. Tokoh-tokoh penting di balik model penelaahan ini adalah Mikhail Bakhtin, Walter Benjamin, dan Roland Barthes.  
Penelaahan genetis biasanya memusatkan perhatiannya pada penghimpunan berbagai catatan dari si penulis, sketsa, draft, manuskrip, tulisan tangan, hingga surat-menyurat penulis. Penghimpunan tersebut diperuntukan bagi keperluan melacak jejak-jejak dokumenter si pengarang.
Penelaahan genetis secara umum berciri pertama gugatan atas pemahaman representasionalistis dalam bahasa; dan kedua berkehendak menyediakan semacam siasat pembacaan dan penulisan teks. Kritik atas pemahaman bahasa bukan asli dari ketiga pemikir yang telah disebut di muka melainkan bersumber dari seseorang yang bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913). 
Menurut Saussure representasi atau pemaparan kembali, didasarkan pada pengandaian dasar keliru. Pasalnya representasionalisme menyebutkan ide-ide hadir sebagai satuan-satuan bermakna yang tak berkaitan sama sekali dengan bahasa. Dalam representasi, bahasa (sistem tanda-tanda) sepenuhnya bersifat derivatif dan parasitis atau bergantung pada ide-ide belaka. Arti utama makna terletak pada ide-ide (bahasa pikiran) sedangkan bahasa verbal sekedar imitasi atas sistem makna ide-ide. Di sini yang mau dikemukakan ialah representasionalisme dalam bahasa berpegang pada gagasan bahwa rasio adalah ujung dan pangkal segala penamaan dan atau pembahasaan.
Kata “merah,” dalam bahasa sebagai representasi, bersumber dari cara kerja rasio setelah merujuk pada benda berwarna merah yang ada di hadapan subyek. Dalam cara berpikir ini subyek seakan-akan mampu  memberi makna atas keseluruhan aspek yang terdapat dalam diri obyek. Kesulitannya, bagaimana jika “merah” dihadapkan dengan aneka obyek berwarna merah dengan kadar kemerahan yang berbeda-beda? "merah" kemudian semata dihubungkan dengan karakter-karakter umum dari merah seperti merah muda, merah tua, dan seterusnya. Akibatnya tak ada hakikat atau orisinalitas merah selain bahwa merah berbeda dari hitam, putih, dan unggu. Dalam arti ini definisi dan obyektivitas ditempuh melalui diferensiasi atau proses pembedaan.
Kendati demikian, menghapus total segala bentuk perujukan adalah tindakan ngawur karena di samping segala sesuatu selalu memiliki kaitan dengan yang lain usaha tersebut akan mempersulit garis batas yang dapat menjelaskan hubungan antara teks dengan yang dianggap sebagai tepian atau pinggiran-pinggiran dari teks. Alhasil, yang diperlukan barangkali ialah ikhtiar memikirkan  ulang, melalui suatu cara yang berbeda, proses perujukuan tersebut.
Aneka konsep didedahkan untuk memikirkan ulang proses referensi gaya baru itu. Bakhtin menggulirkan istilah “konstruksi hibrida,” pengucapan tunggal dari satu pembicara adalah gabungan dari dua bentuk pengucapan, dua cara pengucapan, dua gaya, dua bahasa, serta dua sistem kepercayaan semantik; Benjamin mengemukakan “montase literer,” membaca dan menulis sebagai semata kegiatan menyejajarkan topik-topik yang bertentangan satu sama lain dan membiarkannya tetap terbuka tanpa kehadiran penyimpulan; dan Barthes ihwal tulisan.
Kekhasan dari Barthes ialah seputar pemahamannya tentang bahasa. Menurutnya susunan bahasa (baca tulisan) hanya mengenal subyek tidak mengakui person.
Di kalangan kita nama Barthes biasanya dikaitkan dengan topik matinya pengarang. Topik yang biasanya lebih bayak disalah-artikan dari pada dipahami secara akurat. Dari penjelasan alakadarnya di muka matinya pengarang jelas berbeda dengan matinya seseorang. Kematian seseorang biasanya disiarkan di masjid lewat pengeras suara atau ditampilkan di koran dengan mencantumkan identitas almarhum/almarhumah secara lengkap.
Peristiwa dan kabar kematian pengarang sebaliknya berlangsung secara rahasia dan hening lantaran momen kematian tersebut termasuk sakaratul mautnya merupakan peristiwa amat personal yang melibatkan intensitas membaca dan menulis.
Person atau pengarang menghilang alias menjadi almarhum atau almarhumah setelah buku yang dibingkai kaidah-kaidah lingusitik berisi rangkaian kalimat, tanda baca, dan seterusnya rampung dikerjakan. Dalam kaidah kebahasaan kita, sebuah kalimat yang disepakati benar biasanya hanya memuat subyek, predikat dan obyek jadi bukan person (pribadi, orang, individu), predikat, dan obyek. 
Lantas, apa itu teks atau tulisan? Bagi Barthes teks merupakan “jaringan kutipan-kutipan yang disarikan dari pusat-pusat kultural yang tak terhitung.” Implikasinya, semua bentuk ekspresi kultural yang menggejala di sekitar kita meliputi musik, iklan, puisi, film, arsitektur, potret dan lain sebagainya adalah tanda, adalah ayat dalam kosa kata khas fakultas ushuluddin. Wawasan seputar tanda dalam novel Mada misalnya terbaca di bagian ini “Makna itu selalau ada pada semua yang Dia ciptakan di alam semesta (hal. 60)
Apa yang membedakan penelaahan genetis dengan model kritisisme lain? Secara sekilas pembedaannya ialah jika kritisisme tradisional menemukan keabsahannya dalam menilai sebuah karya pada keberjarakan yang lebar antara kritikus dengan yang dikritik  sebaliknya penelaahan genetik meraih keabsahannya justru dengan memangkas sependek mungkin jarak antara kritikus dengan apa yang dikritiknya. Semakin dalam kritikus terlibat dengan apa yang dikritiknya ‘obyektivitas’ semakin dimungkinkan.
Demikianlah sekilas ihwal penelaahan genetis. Selanjutannya kita akan coba model penelaahan tersebut untuk membedah novel Mada.
KEGALAUAN NAMA PADA MADA
dia macam kucing bukan kucing tapi kucing’ –Sutardji Calzoum Bachri
Saya termasuk sepakat dengan pandangan bahwa setiap gagasan selalu merupakan gambaran dunia si pemilik gagasan. Novel Mada merupakan gambaran atau potret dari dunia pengarangnya yaitu Abdullah Wong. Dunia dari penulis Mada tak semata habit atau kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang digelutinya, makan, minum, bercengkrama, bermain musik, dan seterusnya. Dunia dari penulis Mada meliputi juga historisitas penulisnya; masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang sebagaimana terpantul dalam harapan dan cita-cita personalnya.
Dalam istilah teknis yang dilakukan Abdullah Wong lewat Mada adalah sejenis “pemaknaan restoratif” (istilah dari Frederic Jameson); Yaitu pemaknaan yang bertumpu pada “metapemaknaan.” Apalagi ini? Pemaknaan yang memprasyaratkan adanya laku pemaknaan atas eksistensi historis si pemberi makna sendiri; pemaknaan yang memusatkan perhatian pada antusiasme, pada detil, serta pada ide-ide kreatif si pemberi makna belaka. 
Pertanyaannya yang saya kira relevan dikemukakan di sini ialah lantas siapa itu Abdullah Wong? Sepanjang pergaulan saya dengan penulis novel ini, seingat saya sejak awal tahun 2000, satu yang pasti ialah tak ada kepastian ihwal nama sebenarnya dari dirinya; apakah dia Abdullah Imam, Abdullah Bachwar, Abdullah Wong, atau Wong Dzolim. Tapi, dari sekian nama itu satu-satunya kepastian ialah penulis novel itu kini hadir di sini. Keruwetan masalah nama itu jika menyitir syair Sutardji Calzoum Bachri di muka yaitu ‘dia macam kucing bukan kucing tapi kucing’ maka ‘identitas’ penulis novel ini ialah ‘dia macam Abdullah bukan Abdullah tapi Abdullah.’

Menarik bahwa masalah nama itu juga berulangkali mengemuka dalam nyaris setiap bagian pembuka bab dan sesekali terselip di tengah-tengah novel Mada;
Ia dipanggil Mada
Ahmad Musthofa nama lengkapnya
Mada adalah nama istimewa untuknya
Meski bagi yang lain terdengar biasa
Karena meskipun sebuah nama diyakini istimewa,
Tetap saja ia sebuah nama
Betapa hebatnya sebuah nama
Ia tak akan pernah menjelaskan hakikat dari yang diberi nama.

Problematika yang diangkat Mada disadari atau tidak oleh penulisnya ternyata paralel dengan persoalan eksistensial yang saban hari digeluti Abdullah Wong ihwal namanya sendiri. Kegelisahan Mada adalah kegelisahan Abdullah Wong, petualangan Mada adalah pengembaraan Abdullah Wong, kisah persahabatan Mada dengan “Ihsan Burhani, Diwan Maulana, Affwah Aulida, Bima Arya Dewa, Angelica Zaffah, dan Aghnia Cahaya Nia” adalah narasi panjang tentang bagaimana sebuah persahabatan seharusnya tercipta dan terpelihara.

Imajinasi Mada tentang hubungan guru murid Mbah Linglung yang sakti dan penuh misteri dengan Gunadarma  adalah bayangan Abdullah Wong sendiri ihwal ideal dari sebuah hubungan antara guru dan murid. Pendeknya, persoalan eksistensial yang diungkap Mada terrangkum dalam sebuah judul buku yang dibaca Mada dan kawan-kawannya yaitu “Siapa Aku?” (hal. 51)

Siasat Metaforis dalam Mada

Ya. Mada adalah novel yang hilir-mudik di antara tataran yang sangat ideal, pada tataran Apa Yang Seharusnya bukan pada Apa Yang Ada. Pemilahan nama yang terkesan mana suka tapi memuat dimensi mistik mendalam seperti “Hutan Duka Lara”; “Pegunungan Suka Bangga”; “Sungai Mawas Diri”’ “Sungai Sewu Kenangan” (saya tidak tahu apakah ini nama lain dari judul lagu jawa yang popular itu, Sewu Kuto); Pegunungan Angkuh Diri; Gunung Suwung; Desa Purna Indra” dan lainnya menegaskan persoalan Apa Yang Seharusnya yang sedang dikonstruksi oleh penulis Mada.

Selain masalah penamaan-penamaan tersebut isyarat adanya intensi ke arah tataran yang ideal juga terermin dari aneka cerita yang termaktub dalam Mada. Dalam catatan saya cerita-cerita tersebut ialah cerita tentang Gunadarma dan Mbah Linglung, Sangkuriang, Dewa Matahari, Cincin Perak, Kebahagiaan, Kesedihan, Pengetahuan dan Cinta, Waktu, lalu ada cerita Asal Usul Sepatu, kisah Nabi Musa, dan lainnya. Keseluruhan cerita menyiratkan adanya unsur didaktis atau pembelajaran dalam Mada.

Pada proses pembelajaran biasanya yang diajarkan adalah masalah keutamaan-keutamaan yang ideal. Sebuah keutamaan yang dalam Mada dinarasikan dalam sebuah laku sederhana seperti kata Mbah Linglung “yang aku maksud dengan kesederhanaan di sini adalah mampu memandang segal sesuatu secara langsung tanpa rasa takut (hal. 215). Kunci untuk memahami aneka cerita dalam Mada ialah dangan menempatkanya dalam khazanah metafor.

Metafor sederhananya ialah teknik penulisan yang berkehendak membuka tapi sekaligus menutup realitas sesungguhnya. Maksudnya, kata-kata metafor biasanya menyuratkan sesuatu sekaligus menyiratkannya, mengungkap sesuatu tapi sekaligus menyembunyikannya, mengatakan “a” padahal yang dimaksud adalah “b” “c” “d” dan seterusnya.

Matafor termasuk salah satu kekhasah cara berpikir puitis. Ia paralel dengan apa yang dimaksud dengan simbol, citra, alegori atau perumpamaan, dan perbandingan. Mada sangat pekat dengan nuasa metaforis dalam arti demikian. Mengapa Mada memilih metafora tentu saja karena “betapa hebatnya sebuah nama Ia tak akan pernah menjelaskan hakikat dari yang diberi nama” artinya betapa hebatnya bahasa ia tak akan pernah menerangkan esensi dari yang diberi nama.

Bagian paling mendasar dari Mada ialah ia berkehendak memproblematisir hubungan antar bahasa dan antar bahasa dengan manusia.
  
Mada bukan sebuah novel yang taat pada alur yang lazim ditemuai dalam prosa di mana selalu memuat awal, pertengahan, dan akhir. Mada, sebaliknya, berkisah tentang awal, tentang pertengahan, dan tentang akhir itu sendiri yang masing-masing memiliki keberkaitan yang unik. Alhasil, bagian penghujung novel Mada, baik ujung bab maupun ujung keseluruhan novel  memuat sebuah akhir yang terkesan memuat dua kemungkinan yakni pertama bagian akhir yang mencerminkan sebuah bagian penghabisan (tamat) seperti kebanyakan novel lain dan kedua bagian akhir tersebut sesungguhnya adalah sebuah kuda-kuda atau ancang-ancang bagi rangkaian cerita-cerita berikutnya yang entah kapan berakhir. Di halaman 127 ada pertanyaan yang nyaris tak ada jawabannya “Mada, tahukah kamu kenapa kita harus jatuh?” ada juga tanya tak berbalas jawab “Siapa penemu candi Borobudur?” (hal. 235)

Mada, benar-benar sebuah novel yang terbalik
Betapa tidak. Penulis Mada tampak berketetapan hati menulis sebuah novel dengan gaya yang tak lazim.  Ketaklaziman tersebut tampak pada dua lapisan yaitu lapis penulisan dan lapis muatan pesan yang hendak disampaikan.  Secara gaya penulisan tercermin dari terjaganya rima dalam rangkaian kalimat yang  membentuk cerita dalam Mada. Terjaganya rima menyiratkan adanya kecenderungan dari si penulis untuk menciptakan sebuah karya puitis tapi pada saat bersamaan bersifat prosais. Lugasnya, penulis Mada mau menjadi menjadi penyair dan sekaligus menjadi novelis. Misalnya pada bagian yang sering muncul dalam Mada;
(a)   
Ia dipanggil Mada
Ahmad Musthofa nama lengkapnya
Mada adalah nama istimewa untuknya
Meski bagi yang lain terdengar biasa
Karena meskipun sebuah nama diyakini istimewa,
Tetap saja ia sebuah nama
Betapa hebatnya sebuah nama
Ia tak akan pernah menjelaskan hakikat dari yang diberi nama.

Lalu; (b)

Ibu Mada sangat cantik
Apalagi ketika sedang berdoa
Ia sering mengingatkan Mada untuk selalu tersenyum bahagia
Kata ibunya semua yang ada adalah perwujudan dari Tuhan Yang Maha Esa

 (c )
Ayah dan ibuku, tadi bertengkar di rumahku
Arya takut kalau mereka akan meninggalkanku
Arya takut kalau mereka tak lagi satu
Arya takut kalau ….
Mereka semua diam dan bibir terasa kelu
Mereka tak tahu harus bagaimana
Meski hati ingin sekali membantu (hal 58)

Dan ini; (d)
Ayahnya yang santun dan penuh canda
Juga ibunya yang senantiasa lezat masakannya
Tidak berhasil menghibur Mada (hal. 225)


Tiga bait yang saya kutipkan di atas menunjukan rima yang cukup terjaga. Setiap kalimat selalu memuat nada “a” dan “u” yang sangat puitis untuk ukuran prosa.

Tetapi, ikhtiar meleburkan yang puitis dengan yang prosais bukan tanpa konsekuensi.  Konsekuensi mendalam dari model persenyawaan tersebut tampak dari mengemukanya keganjilan-keganjilan dalam alur mada. Misalnya bagaimana bisa di sebuah desa (Purna Indra) yang diklukiskan amat berahaja ada bunyi iklan “Klinik kesehatan alami apapun penyakit Anda pasti ada obatnya. Jika di tempat lain tidak ada mungkin di sini salah satunya”. (hal. 171) Ada juga persiapan “keren” yang dibawa teman Mada saat hendak berpetualang mencari Buku Gunadarma yaitu “Vitamin C antioksidan menangkal radikal bebas dan meningkatkan kesadaran”.
Demi terjaganya rima, karena memang harus diakui kepiawaian penulis Mada yang pandai memainkan rima,  tak jarang penulis Mada harus mengorbankan alur linear menjadi tak linear, menjadi diskontinyu, menjelma disharmoni, seperti pada bait butir (d) di muka.
Ayahnya yang santun dan penuh canda
Juga ibunya yang senantiasa lezat masakannya
Tidak berhasil menghibur Mada (hal. 225)
Sekilas tampak tak ada urut-urutan logis antara baris pertama dengan baris kedua (ayah yang santun dan penuh canda  dengan ibunya yang senantiasa lezat masakannya) tapi kendati secara koherensi kalimat “bermasalah” secara rima sungguh “oke” punya.
Apakah ini kelemahan besar dari Mada?  Saya kira dengan menempatkan Mada sebagai sebuah novel parable maka apa yang dianggap disharmoni dan diskontinyu di dalamnya adalah justru kekuatan terselubung dari Mada.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya