21 Mei 2017 Leo Kristri berpulang. Untuk mengenang almarhum berikut ini adalah tulisan Sindhunata di Harian Umum Kompas, 22 Agustus 1979. Selamat membaca.
Leo
Kristi mengenangkan masa kecilnya. Ia teringat Pak Man, tetangganya seorang
gelandangan di belakang rumahnya, yang bekerja sebagai penarik becak bila malam
tiba. Tetangga sekitar tak menyukai Pak Man karena ia dikenal juga sebagai
tukang jambret. Namun, Pak Man amat baik terhadap keluarga Leo. Seringkali Ibu
Leo memberi makan kepadanya.
Suatu hari Leo diajak Pak Man beli cengkerik di Pasar Kranggan. Leo
dibopong Pak Man untuk memilih cengkerik yang ia senang. Tiba-tiba seorang teman
Pak Man menjambret lampu sepeda. Leo tahu semuanya ini hanya alasan Pak Man.
Pak Man berusaha memalingkan perhatian para pembeli cengkerik dengan
membopong-bopong Leo supaya temannya mempunyai kesempatan untuk menjalankan
operasi kilatnya. Leo langsung minta pulang.
Pengalaman itu ternyata memberi kesan mendalam buat Leo ketika ia mulai
bisa merenungkan kehidupan. Pak Man orang jahat tetapi ia bisa baik terhadap
sesamanya yang berbuat baik kepadanya. Leo seperti merasakan kasih sayang dari
kejahatan itu. Tetapi Pak Man tetap orang jahat. Kejahatan ini yang membuat ia
takut sampai ia mengajak pulang, setelah Pak Man mencuri lampu sepeda orang.
Perlahan-lahan Leo menjadi terbiasa memandang kehidupan ini secara
menyeluruh. Kehidupan tidak dimutlakkan pada satu segi saja. Ada kejahatan di
tengah kebaikan. Ada penderitaan di tengah kebahagiaan. Ada kegembiraan di
tengah kemiskinan. Ada harapan di tengah keputusasaan. Musiknya kaya dengan
pengalaman-pengalaman ini.
“Memorial Sudirman” dari Leo menceritakan seorang gadis kecil yang
tidur berbantalkan tangannya tanpa selimut di bawah sorotan lampu. Begitu
nyenyak tidurnya sampai-sampai sedan yang lewat pun tidak mengganggunya. Satu
lukisan penuh keharuan. Namun Leo justru tidak mengawali irama lagunya dengan
nada sendu, melainkan dengan iringan harmonika yang riang gembira. Leo ternyata
mengharapkan kasih sayang dari gadis kecil ini yang tak berarti ini. Gadis ini
mampu menjadi besar dari penderitaan dan kemiskinannya. “keroncong kecil di
tanganmu, hati besar di senyummu. Senyum pahit dikelilingmu.”
Leo menceritakan kesepian dalam lagunya. “Di deretan rel-rel. Pagi
masih sunyi seperti hatinya. Tiada seorang pun menemaninya. Majalah dan Koran
pun tak banyak menolongnya. Namun kesedihan. Namun kesepian ini tak menjadikan
kesedihan. Sebaliknya kesepian itu mengajak untuk melahirkan kegembiraan. Maka
hatinya pun mulai bernyanyi Olele ole olehio, olala ola olahie!”Irama musiknya
melonjak-lonjak, ikut bertepuk tangan. Pagi bertambah dingin karena becek hujan
yang turun semalam. Uang hanya seratus rupiah hanya mendapat rokok kretek, kopi
panas dan goreng pisang di kedai Pak Guru tua. Namun, semuanya ini tak
menghalanginya untuk bernyanyi bersama harmonikanya yang iramanya makin
menjadi-jadi: Olele ole olehio, olala ola olahio. Kereta berangkat penuh dengan
tumpukan keranjang dan kayu. Perempuan ribut, bayi-bayi menangis. Kereta tua
itu mengeluh lucu. Jezs, Jezs, Jezs (Hadirin di TIM bersorak-sorak, seperti
lupa bahwa sesunggungnya Leo sedang bernyanyi tentang kesepian).
Memang bagi Leo penderitaan dan kemiskinan atau kesusahan dan kesepian
juga bisa tertawa...
Leo seorang pendiam, susah berbicara apalagi untuk mengungkapkan isi
hati. Ia tidak bisa menerangkan banyak tentang latar belakang dan maksud
ungkapan-ungkapan musiknya. Ia khas seorang seniman yang bisa amat kreatif
hanya pada waktu ia terbuai untuk mencipta. Maka begitu terperanjat saya ketika
mendengar jawaban terhadap pertanyaan saya: Apakah arti kehidupan ini buat
Anda? Jawabannya singkat, tanpa keterangan dan tanpa alasan apa-apa: Hidup
adalah cinta kasih!
Ia tak membenci kekayaan walaupun ia mencintai kemiskinan. Ia hanya mengharapkan “tepo seliro” dari si kaya
terhadap si miskin. Sementara ia pun yakin kemiskinan pun mempunyai kebesaran
yang tak perlu mengharapkan tetesan dari kekayaan. kebesaran si miskin ini
dirasakannya pada suatu pagi ketika ia melihat seorang gelandangan sedang
berak, anehnya gelandangan itu sempat menyanyikan lagu Sorak-sorak Bergembira!
Pengalaman ini memberinya inspirasi untuk menciptakan lagu “HItam
Putih.”Kata Leo, pagi itu di empat lima kami semua menyanyi “bebasnya
negeri”dan “padamu negeri”. Namun di tanah merdeka ini, putih tetap putih,
hitam tetap hitam. Walau demikian pagi ini di sudut jalanan, seorang
gelandangan menyanyikan “bagimu negeri”.
Orang bisa saja menangkap ciptaan Leo sebagai suatu protes terhadapa
keadaan.. namun, Leo sendiri tidak mau dikatakan bahwa ia sedang protes. Memang
kalau dinikmati benar, musik Leo tidak mengandung nada protes. Ia hanya
menceritakan kenyataan, ia hanya melukiskan dalam kenyataan ada kemiskinan dan
kekayaan.
Lagunya “Lewat Kiara Condong” tak memancing sentimentalitas yang
membakar. Ada bocah keriangan bermain gundu. Dari kereta tampak seorang gadis
telanjang dada. Basah rambutnya berkeramas. Sempat terlihat tisik kainnya. Di
balik dinding bambu reyot dan tak beratap. Matahari tidur di balik gunung.
Ketika lewat Kiara Condong tuan-tuan tidur sejuk di gunung.
Musik Leo menampilkan tema ini dengan amat seimbang. Tanpa membesar-besarkan.
Terasa di dalamnya cintanya yang besar terhadap kemiskinan tetapi tanpa
mempermasalahkan kekayaan. Iramanya menggugah untuk terharu terhadap bocah
bermain gundu dan gadis di gubuk reyot itu.
Namun keharuan itu iklas tanpa paksaan dan tak diiringi kebencian pada
siapa pun.
Haydin pernah bersedih. Musim gugur sudah menanggalkan dedaunan tetapi
pangeran Esterhazy belum juga memberinya cuti Haydin sudah rindu kampung
halaman. Maka diciptakan Simfoni Perpisahan yang terkenal itu. Allegro assad:
alangkah muramnya tema musiknya kali ini. Biasanya musik Haydin selalu riang.
Penuh optimisme dan pandai menuturkan keindahan hidup. Namun, kali ini
modulasi-modulasinya berkeluh-kesah. Presto berpindah ke adagio yang
berputusasa.
Ketika dimainkan hadirin meninggalkan ruangan karena tak kasa menahan
keharuan.para pemain pun satu per satu pergi sebulm simfoni berakhir. Tinggal
Haydin sendiri. Dengan penuh haru Pangeran Esterhazy mendekatinya. “Haydin, kau
boleh pulang.” Kata pangeran.
Musik memang mudah memancing rasa haru justru bila ia menuturkan
keadaan yang sebenarnya tanpa sentimen atau kebencian terhadap apap pun.
Leo sangat mengagumi kebesaran alam. Nyanyian Malamnya sebenarnya
adalah lagu cinta. Namun, ia tak memandang cinta sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri, melainkan selalu berkait dengan kebesaran alam. Cinta lalu bukan
sekadar romantis, tetapi mempunyai hakikat yang lebih mendalam. Seruling yang
bersuara sendu membuka Nyanyian Malam-nya.
Ia mencium lembut merah pipi di balik ranggas cemara di ujung musim
panas. Rontokan daun-daun cemara membuat gesekan dahan dan ranting-ranting,
semuanya membisikkan lagu duka. Pagi itu jalanan berselimut kabut, muka
(kekasihnya) penuh kapas embun putih tubuhnya menggigil kedinginan. Leo pun
berseru: Ohoi! Cantiknya seruling berbunyi lagi. Dan Leo menjadi riang, jangan
kau bersedih hati, hapus air matamu sayang. Alam memang pandai membesarkan hati
cinta yang lagi dirundung keraguan dan kedukaan.
Kata Leo, alam bukan sekadar sesuatu yang indah tetapi juga pengasuh
hati nurani serta sumber moralitas. Karenanya
alam selalu bertalian dengan harkat kehidupan manusia dan bahwa jalinan
alam, kesengsaraan, cinta dan ketabahan itulah perangkat kebahagiaan yang
sebenarnya.
Barangkali karena kekagumannya pada kebesaran alam ini yang membuat
musik Leo kaya. Ia menyerap pelbagai aspirasi. Dan sebagai konsekuensinya, ia
juga tak mau memaksakan sesuatu aspirasi secara mutlak. Bahasa lagunya bukan
bahasa musik iklan, yang bermakna konsumen latah. Sebaliknya, bahasa musiknya kaya
dengan segala kemungkinan yang bisa merayapi kesadaran hingga membuat orang
kritis memandang kehidupan. Leo merasa bahwa kehidupan ini penuh dengan
kontradiksi, musiknya lalu tidak berusaha untuk mengklaim kebenaran dari salah
satu unsur kontradiksi itu.
Meminjam pemikiran Adoro, salah seorang filsuf pecinta musik dari
Mazhab Frankfurt, maka dalam arti inilah Leo menjadi penentang dari arus
kebudayaan musik yang represif. Adorno melihat betapa brutalnya arus represif
itu merasuki zaman ini. Lihat saja kalau
kita menikmati reklame lagu-lagu yang diiklankan televisi. Arus represi itu
memaksakan satu bahasa masyarakat industri yang pada dasarnya adalah bahasa
kaum penguasa lebih-lebih dalam arti harta. Maka para konsumen pun membebek,
kehilangan daya kritis lalu latah dan dengan mudah memimpikan dunia ini seperti
dunia Ira Maya Sopha dan Cinderel. Mewah
dan berlimpah.
Entah sengaja entah tidak. Leo selalu menyinggung penderitaan dalam
musiknya. Penderitaan bagai benang halus yang selalu tersulam dalam lahu-lagunya.
Dalam “Anna Rebana”ia masih sempat berbicara tentang pedesaan yang gersang dan
sore yang lengang. Dalam “Layar Asmara” ia berbicara tentang awan hitam yang
mengucap selamat malam, cinta suci yang hilang. Kenangannya tentang souvenir
pojok Sombu Opa menyapa kepada warga dan mengingatkannya bahwa saat ini kita
berdiri di sisi pagar jalan di mana para gelandangan lalu lalang.
Kalau penderitaan ini selalu tampil barangkali karena Leo selalu
memandang kehidupan ini sebagai cinta kasih.. Cinta memang paling mudah
tergerak oleh penderitaan. Ingat saya pada ajaran Gandhi tentang Satyagraha.
Satyagraha yang disebut Gandhi sebagai kekuatan jiwa atau kekuatan cinta
mengajarkan orang agar tabah menderita. Satyagraha tidak mengajarkan orang
bertobat lewat kekerasan tetapi dengan membuat diri sendiri menderita. Gandhi
yakin penderitaan yang ditanggung dengan diam atas dasar cinta kasih oleh satu
orang yang berjiwa murni sudah cukup untuk mencairkan hati jutaan orang.
Akrabnya dengan penderitaan barangkali yang membuat Leo menjadi
kreatif. Dalam menderita orang merasa ditinggalkan segalanya. Ini sebabnya
orang merasa harus kreatif karena biar bagaimanapun penderitaan itu harus
ditinggalkan dengan segala cara. Leo mencoba mencari jalan keluar dari
penderitaan hingga musiknya seakan kaya dengan pelbagai kemungkinan. Harmonika
yang menjerit-jerit justru di tengah syairnya yang sedang menuturkan kesedihan
seakan merupakan daya upayanya untuk keluar dari penderitaan itu. Dan tanpa
dimaui Leo akhirnya harus mengakui bahwa penderitaan itu suatu misteri. Lalu
Leo tunduk pada misteri itu. Ia berusaha untuk mendalami misteri penderitaan
itu dengan segala keunikannya, kebesarannya dan beban-bebannya.
Leo akhirnya hanya bisa menyanyi bukan berkhotbah tentang penderitaan.
Ia hanya menyanyi. Seperti ketika ia menceritakan kesepian dalam lagunya “Di
deretan tel-rel”. Di sana ia hanya menyanyi: menyanyi dengan penuh keriangan
hati. Olele ole olehio. Olala ola olahie, olele ole olehio. Olala ola olahie.
(Sumber tulisan: Sindhunata, Segelas
Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal.173-179)
Komentar
Posting Komentar