Langsung ke konten utama

Flâneur Melayu

Chairil Anwar
Dirimu pernah ke Pasar Baru, Jakarta Pusat? Aneka barang dijual di sana loh, dari mulai alat musik, sepatu merk China yang legendaris, permadani, rupa-rupa busana, lensa kamera, alat kecantikan, batu akik dan lain sebagainya. Para pedangangnya juga macam-macam ada orang Betawi, Padang, keturunan Tionghoa, Arab, dan entah dari mana lagi.
Bagi yang pernah ke Pasar Baru pasti paham dengan model bangunannya yang sangat menarik. Bangunan Pasar Baru jauh berbeda dengan pasar-pasar lain yang juga ada di Jakarta misalnya saja Pasar Rumput, Pasar Senen, Pasar Minggu, Pasar Kramatjati, Pasar Rebo, Pasar Mencos, apalagi Pasar Ciplak Pedurenan Masjid yang terancam tinggal nama.
Bangunan Pasar Baru dari mulai pintu masuk utama sampai ujung pasar, dibuat melengkung hingga menghubungkan sisi kanan dan sisi kiri pasar yang di bawahnya dipakai para pedagang untuk memajang rupa-rupa dagangan.
Dengan model bangunan melengkung, para pengunjung seolah sedang berada di dalam lorong besar sembari mata dikondisikan—dan dimanjakan—untuk selalu menoleh ke kiri dan kanan jika ingin melihat-lihat berbagai perabotan yang dijajakan para pedagang.
Pasar Baru yang mengambil model lorong sudah pasti menjadi tempat ideal terutama bagi mereka yang mau sekadar luntang-lantung cuci mata melihat-lihat aneka produk yang diperjualbelikan di sana tanpa harus membelinya.
Sebagai orang yang pernah mencicipi esai-esai Walter Benjamin, tokoh yang secuil pemikirannya disinggung walikota gaul dari tanah sunda Ridwan Kamil di kolomnya di Kompas.com itu, saya selalu membayangkan Pasar Baru serupa pasar-pasar di Paris di abad ke-19 yang menjadi pusat refleksi Walter Benjamin di fase pemikirannya yang dikenal dengan “siklus produksi Paris, untuk membedakan dari “siklus produksi Jerman.”
Sampul buku The Arcades Project karya Walter Benjamin yang menampilkan suasana di salah satu sudut pasar di Paris sangat mirip dengan gaya bangunan Pasar Baru. Arcades sendiri dalam pemahaman saya adalah sebuah bangunan lengkung seperti bagian atas sebuah lorong.
Oiya, mumpung ingat dari kitab The Arcades Project saya sedikit mendapat info jika khazanah arsitektur Timur Tengah juga mengenal model arcade, disebut dengan istilah arabes; bagi yang rajin ke masjid pasti akrab dengan model melengkung menyerupai gunung yang menjadi penghubung satu pilar dengan pilar lainnya ketika sebuah masjid diamati dari luar.
Flâneur bukanlah orang dalam arti yang mudah ditemui di keseharian misalnya Faizi, Ijal, Andi, Agus, atau Saipul Jamil. Flâneur adalah sejenis “sosok konseptual” yang biasanya dihadirkan seorang pemikir untuk menegaskan posisi teoritisnya. Tinimbang diidentikkan dengan sosok tertentu flâneur dipahami sebagai agen melalui mana seorang pemikir menyelipkan pemikiran-pemikirannya.
Flâneur adalah subyek alegoris. Wow!
Pada Walter Benjamin flâneur hadir dengan menunjuk pada sederet kebiasaan yang lekat dengan keseharian masyarkaat urban; bisa seorang kolektor, anggota komunitas motor, perenung, pelacur, penjudi, pemulung, dan bahkan gelandangan yang telaten memilah dan memilih rongsokan.
Pernah di salah satu buku, sayangnya saya lupa judulnya, flâneur mirip dengan karakter yang kerap dimainkan Charlie Chaplin dalam film-filmnya seperti Modern Times atau The Great Dictator.
Chaplin dicitrakan sebagai orang yang identitasnya gelap, sama sekaligus berbeda dengan orang kebanyakan, pengelana berbaju rapi dengan topi, kumis, dan tongkat. Kerjanya cuma iseng dan wara-wiri ke sana ke mari tanpa tujuan pasti. Di sini menjadi jelas flâneur sangat jarang luntang-lantung naik sepeda berstiker “bike to work” atau ditemani ajudan.
Di balik kebiasaan seperti Chaplin itu, flâneur ternyata memiliki kemampuan terpendam dalam hal menjinakkan godaan untuk membeli komoditas tertentu yang ditawarkan para pedagang.
Flâneur yang konon dikaruniai empati pada benda-benda itu sangat terkagum-kagum dengan berbagai produk yang dipajang di pasar dan mudah takjub pada model-model bangunan baru yang megah dan spektakuler. Karena kekagumannya itu, flâneur mampu dengan sangat piawai menerangkan secara terperinci berbagai keistimewaan dari produk-produk.
Tapi, pada saat yang sama flâneur, lantaran pengamatannya yang canggih, mampu memerlihatkan detail keburukan bahkan kebusukan dari produk-produk.
Flâneur adalah “figur” penuh ambiguitas. Ambiguitas flâneur jelas terlihat saat flâneur disejajarkan dengan pelacur. Pelacur, tentu menurut Walter Benjamin, adalah “produk” dan sekaligus “pedagang” itu sendiri.
Sampai di sini saya ingin mengutip puisi Chairil Anwar yang sangat memikat dan jitu melukiskan fenomena baru kultur urban berikut sepak terjang sang flâneur yang sarat ambiguitas. Puisi tertanggal 9 Juni 1943 itu berjudul Cerita, Kepada Darmawidjaja begini bunyinya;

Di pasar baru mereka
Lalu mengada-menggaya.
Mengikat sudah kesal
Tak tahu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...