Cover Buku Puisi Sajak-Sajak Sunyi |
Kepada Saudara Budhy Setyawan alias
Buset yang baik, saya ucapkan selamat atas telah
terbitnya buku kumpulan puisi Sajak-Sajak
Sunyi (Forum
Sastra Bekasi dan Pustaka Senja Yogyakarta,
2017).
Busyet banget! Itulah kesan pertama saya saat
membaca puisi-puisi Saudara.
Puisi-puisi Saudara telah memaksa saya untuk mencoba
mengulik kreatifitas macam apa yang merasuki
Saudara hingga Saudara mampu
menciptakan begitu banyak puisi yang
menyiratkan hasrat begitu menggebu-gebu pada laku pencarian
rohaniah.
Satu puisi dari Saudara
ini menurut
saya cukup merefleksikan
posisi kepenyairan Saudara,
Rakaat
Kerinduan Padamu
seperti musafir lama
aku menempuh petualangan
usiaku tanpa peta
dalam lumuran kabut dan
temaram cuaca
hanya berbekal bara
keyakinan di rimbun sekam pencarian
adalah serbuan wajah kerlap
kekinian
menaburkan warna yang
menyeret kesunyianku
lindap digerus kegaduhan
pukau
kerap terlupa pada kata
kata
menyebut atau memanggil
namamu
dan kuasa racau dari
kemabukanku pada kebanalan derap
menjelma jelaga pada
putaran jam resah
maka saat matahari makin
condong ke barat
kutunaikan rakaat rakaat
rindu ke dalam semesta
tirakat
meniti jembatan dari rerambut
mimpi
pesan yang ditanam oleh
musim cahaya
sebelum kelahiranku
napasku pun kini sarat
olehmu
mengisi segala kisi dan
ceruk pembuluh dengan getar
kegaiban semakin memijar
rinduku padamu mencipta
gunung nyala
ke langit, ke ubun
keheningan begitu wingit.
Membaca puisi
di atas, jelas sekali Saudara menulisnya dari
titik tolak seorang penyair yang memosisikan diri seperti seorang
hamba
yang meyakini bawah
di dunia ini ada sesuatu
yang misterius,”himpunan
rahasia” (puisi
Di
Atas Kata), yang
kudus, yang ilahi, "maha cahaya" (puisi Risalah
Sujud); yang terus diburu dan dirindukan di mana pun Saudara berada.
Bait pertama dan kedua Rakaat Kerinduan Padamu secara
blak-blakan mengungkap pokok-pokok tersebut.
“Aku” memaknai
kodratnya sebagai yang selalu “rindu pada semesta tirakat” bahkan ketika “aku” belum dilahirkan, pesan kerinduan itu, secara
primordial, sudah tertanam di sukmanya.
Pertanyaannya,
jika secara hakiki ia an sich adalah
kerinduan mengapa harus repot-repot melakukan pengembaraan? Jawabnya karena
“aku” telah “digerus kegaduhan pukau” dan “kerap terlupa pada kata-kata”.
Kerinduan tak tertanggungkan itu membawa “aku” “ke ubun keheningan begitu
wingit”.
Kerinduan dan perburuan Saudara sebagai “aku” pada sesuatu yang bersifat misterius juga tercermin dari
puisi Rindu
Ini // rindu
ini adalah tumpukan waktu/ yang terus tumbuh dan menubuh/ seluruh ingatan
tentangmu// rindu ini adalah tarikan darimu// yang berangsur mengambil
keberadaanku hingga lenyaplah aku//
Pada puisi Rindu Ini Saudara tampak mencoba menegaskan bahwa pencarian
tak melulu bertolak dari dalam diri, tapi bergerak karena adanya "tarikan darimu" yang
sungguh tak bisa “aku” hindari. Begitu berambisi “aku” pada
laku pencarian, “aku” bahkan terkesan mengulang tema yang sama di
dua puisi berbeda Nubuat
Pencarian dan Pengembaraanku.
Di Nubuat Pencarian tertulis //sejauh
jalan pencarianku// adalah kembali pada pelukmu// dan di Pengembaraanku tertulis// sejauh jauhnya
pengembaraanku// kepulangan rindu hanyalah padamu//
Semula
saya curiga dua puisi di atas (Nubuat Pencarian dan Pengembaraanku ) adalah pengulangan.
Tapi, setelah dibaca lebih teliti ada
perbedaan mendasar; Saudara menyisipkan kata "kepulangan"
yang tentu saja berbeda dengan "pencarian." Penyisipan ini menarik
karena selain memperlihatkan upaya Saudara
tetap konsistensi dengan
sikap bahwa pencarian tak semata didorong oleh sesuatu yang menghentak-hentak
dari dalam diri, melainkan juga ditarik oleh sesuatu yang datang dari luar.
Saudara
tampaknya memilih jalur melingkar dalam pengembaraan
Saudara; mencapai suatu titik tujuan yang nota bene adalah titik pemberangkatan Saudara sendiri,
hingga akhirnya “aku” sebagai penyair lesap, melebur dengan
titik awal di mana “aku” berangkat.
Pada sebuah lingkaran, titik awal dan akhir menjadi sulit
ditentukan.
Apa sebetulnya yang Saudara
cari melalui puisi? Saudara menyebutnya
"Iman" yang //serupa laut yang
pasang dan surut// dengan deburnya membersitkan haru// perasaan pun membukit
dan melembah// di antara gemuruh tafsir cuaca// (puisi Iman). Dan, iman seperti kebanyakan orang pahami, adalah istilah khas orang
beragama.
Sekadar informasi 1978 silam S. Takdir Alisjahbana (STA) menerangkan tentang adanya dua jenis “puisi yang menjelmakan perasaan keagamaan.”
Pertama, perasaan seseorang yang berhubungan dengan
agama yang dipeluknya dan kedua
perasaan yang terdapat dalam kalbu tiap-tiap manusia, meskipun ia tiada memeluk
sesuatu agama yang tertentu sekalipun yaitu yang berhubungan dengan das Heilige, Kekudusan, yang suci dan
sakti, het gansch andere, yang lain
sekali.”
Puisi agama jenis pertama seorang penyair berangkat dari keyakinan teguh pada agama yang dipeluknya. Puisi-puisi
yang terucap adalah bentuk lain dari “puja-puji”
kepada Tuhan. Larik-larik puisi mengekspresikan kefasihan mengucapkan kata-kata
yang khas dari sistem keagamaan tertentu
contoh-contohnya untuk menyebut beberapa ialah
puisi-puisi dari M.Faizi, D.Zawawi
Imran, Acep Zamzam Noor, Gus Mus, Hamid Jabbar, Subagio Sastrowardojo, J.E Tatengkeng,
dan Amir Hamzah. Saudara sendiri dapat kiranya digolongkan dalam puisi agama jenis ini.
Sebaliknya, puisi agama jenis kedua,penyair bertolak dari sebuah laku
penghayatan nilai-nilai keagamaan tertentu tanpa mengumbar istilah-istilah keagamaan dalam
puisi-puisinya seperti tampak pada puisi-puisi
di antaranya Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri (SCB), Rendra, Joko
Pinurbo, Binhad Nurrohmat, Dedy Tri Riyadi, dan Malkan Junaidi. Dengan kata
lain, puisi agama jenis pertama, penyair
menyuratkan istilah-istilah agama
sementara puisi agama jenis kedua, penyair membiarkan istilah-istilah agama itu
tersirat.
Pembedaan dari STA ini meski problematis sangat membantu untuk melakukan kategorisasi
model-model ekspresi kepenyairan. Sisi problematisnya terlihat dari pendapat STA sendiri yang mengatakan
bahwa “puisi ialah seni perkataan yang
mesra. Pujangga yang mendapat inspirasi mengumpulkan kata2 untuk menjelmakan
yang bergelora dalam kalbunya.”
Kalbu termasuk bagian paling fundamental
dari manusia sebagai mahluk dalam hubungannya dengan sang
khalik (pencipta). Artinya, apapun yang terpancar dari kalbu sejatinya
pantulan dari nilai-nilai keilahian. Puisi, apapaun nama dan bentuknya, dengan
demikian selalu berkaitan dengan yang
absolut. Sisi problematis lainnya, para
penyair kadang ogah digolongkan ke dalam jenis puisi
agama tertentu. Karena bagi mereka, puisi berada setingkat lebih tinggi dari
agama atau setidaknya sejajar.
Puisi-puisi Saudara terbilang puisi-puisi yang tertib, tidak berisik,
dan terkesan enggan menyelami detail aktualitas
seraya mencibirnya sebagai “wajah kerlap kekinian.” Mungkin karena takut “kualat,” Saudara tak
banyak bermain kata-kata, melompati
pagar tradisi puisi-puisi serupa. Saudara tak mau merapal mantra, tak tertarik menghayati pengalaman-pengalaman spiritual di kafe, bioskop atau bar dangdut. Saudara
kelihatannya lebih krasan dengan jalan kesendirian dan
kesunyian.
Sebelum saya akhiri tulisan ini, ingin saya
mengacu pada pendapat kritikus Harold
Bloom (1973) tentang apa yang disebutnya sebagai intra-poetic relationships yaitu narasi keterpengaruhan penyair dengan para penyair
terdahulu, yang dalam konteks Saudara
langsung ataupun tak langsung, berkehendak
menghidupkan kembali dimensi keberimanan
puitis yang bersahaja seperti antara
lain pernah diucapkan oleh Amir Hamzah
dan J.E Tatengkeng.
Aduh kekasihku
Padaku semua
tiada berguna
Hanya satu
kutunggu hasrat
Merasa dikau
dekat rapat
Serupa musa di
puncak tursina.
(Amir Hamzah,
Puisi Aku Satu)
O, Tuhanku,
Biarlah aku jadi
embunmu,
Memancarkan
terangmu,
Sampai aku hilang
lenyap olehnya.
Soli Deo Gloria!
(J.E Tatengkeng,
puisi Rindu Dendam)
Komentar
Posting Komentar