Chairil Anwar |
Para
sahabat dahsyat yang saya hormati. Catatan berikut ini adalah kelanjutan dari
catatan saya sebelumnya yang berjudul “Flâneur Melayu.” Jika Anda merasa ada
yang menggantung di tulisan tersebut artinya perasaan Anda sama dengan perasaan
saya. Untuk menghindari “baper” berkelanjutan saya memutuskan untuk menulis
catatan lanjutan dari tulisan saya terdahulu yang ditutup dengan mengutip puisi
Chairil Anwar tahun 1943 Cerita, Kepada Darmawidjaja itu.
Sepengetahuan
saya Chairil Anwar termasuk salah seorang penyair yang puisi-puisinya membuka
jalan bagi puisi-puisi yang menaruh hormat pada segala hal yang dianggap
“kekinian.” Chairil Anwar adalah penyair yang tak hanya mahir memilih kata yang
tepat untuk diucapkan di puisi-puisinya tapi lebih dari itu Chairil menulis
puisi-puisinya dengan penuh gaya. Chairil adalah penyair kece.
“Kekecean”
puisi-puisi Chairil saya curiga bermuasal dari keyakinan dan kepercayaan
dirinya pada gagasan-gagasan besar yang merasuki pikirannya yang kemudian dia
pantulkan ke tiap-tiap puisinya.
Sahabat
mungkin ingat. Chairil adalah satu dari segelintir penyair yang menjadi saksi
bagi semangat jaman yang penuh gejolak seperti digambarkan Chairil sendiri
dalam dua puisinya Bercerai //Dua benua bakal bentur-membentur// Merah
kesumba jadi putih kapur// dan puisi Selamat Tinggal //Segala menebal,
segala mengental// Segala tak kukenal/ Selamat tinggal!//
Tak butuh
interpretasi canggih untuk sampai pada kesimpulan bahwa puisi Selamat
Tinggal adalah sebuah puisi perpisahan. Puisi Selamat Tinggal yang
diawali dengan bait //Ini muka penuh luka// Siapa punya?// seolah menjadi
penegasan Chairil menerima segala yang serba kekinian, meninggalkan yang serba
‘jadul’ demi menjadi “Aku” dengan segala keterpesonaanya pada individualisme
meski untuk itu ia harus menjadi “binatang jalang.”
Kembali
ke soal gaya.
Chairil
sepertinya memahami benar teknik menulis memikat dari Friedrich Nietzsche,
pemikir Jerman yang berfilsafat lewat aforsima dan terkenal dengan gaya
menulisnya yang meski provokatif tapi sungguh mendebarkan. Dia sekali waktu
pernah menulis surat untuk Lou Andreas Salome, wanita berparas cantik dan
cerdas yang menolak cinta Nietzsche hingga membuat Nietzsche gagal “move on”
teramat parah.
Lewat
surat ini Nietzsche berusaha menebar pesona mencoba memikat Salome dengan
mengguratkan daftar kiat-kiat menulis ciamik yang salah satunya berbunyi “style
ought to prove that one believes in an idea; not only that one thinks it but
also feels it.”
Terjemahan
bebasnya kira-kira “gaya seharusnya menjadi bukti bahwa seseorang percaya pada
sebuah gagasan; tak sekadar memikirkan gagasan yang dipercayainya tapi juga
merasakannya.”
Chairil
tak semata memikirkan gagasan tentang “keakuan” tapi juga merasakan “keakuan”
lalu mengalirkannya menjadi arus besar bernama puisi yang berisi keterpesonaan
si aku pada segala hal yang menurutnya baru dan menarik perhatian termasuk
tentang fenomena kehidupan urban berikut pasar-pasanya seperti Pasar Baru yang
ia guratkan di puisi Cerita.
Penggalan
puisi Cerita sebagaimana telah saya paparkan di bagian pertama tulisan
“Ridwan, Flâneur, dan Chairil” yang berbunyi /Di pasar baru...
mengada-menggaya// Chairil sukses memotret suasana pasar di kota besar dan
mengungkap watak mendua atau ambigu dari pergaulan khas kehidupan metropolis.
Chairil
yakin lingkungan metropolis menjadikan individu masuk ke dalam jejaring
kemenduaan; tehisap ke dalam kerumunan tapi di saat bersamaan individu dituntut
untuk dapat tetap menegaskan personalitas atau kepribadiannya jika tak mau
disebut layaknya sekawanan ternak. Untuk mengada, suatu penegasan
personalitas, orang harus sekaligus menggaya, pernyataan
ketidakotentikan.
Chairil
Anwar memerantarai mengada di satu pihak dan menggaya di lain
pihak dengan tanda hubung (-) artinya mengada dan menggaya adalah
satu kesatuan dan dengan begitu dibaca dan dipahami secara serentak. Di balik
perkara teknis itu jika jeli ada inovasi menarik dari Chairil; puisi yang biasa
melukiskan rembulan, bulir embun, dan malam syahdu mulai dianggap sebagai
ungkapan puitis dari penyair-penyair “kurang piknik.” Puisi menjadi begitu
intim dengan deru dan debu kehidupan metropolis termasuk gaya hidupa para
penghuninya.
Kini,
jauh setelah Chairil siapa sangka model-model puisi seperti diucapkan Chairil
semakin meriah. Simaklah puisi-puisi dari Afrizal Malna, Joko Pinurbo, Widji
Thukul, Binhad Nurrohmat, Acep Zamzam Noor bahkan penyair sebesar Rendra.
Komentar
Posting Komentar