Sampai di TKP bakda Isya saya tak langsung masuk tapi duduk-duduk dulu
di beranda sambil menghisap sebatang rokok setelah dapat korek dari Fachrurozi Majid. Kawasan Ampera sudah gelap sekali.
Selang beberapa menit kemudian berurutan datang Kang Yudi Latif naik
F**ner, ibu Shinta Abdurrahman Wahid naik sedan hitam didampingi beberapa
Paspampres, dan para pengunjung lain. Saya pun masuk.
Oiya sebelum masuk saya lihat Ulil meninggalkan acara dipapah istrinya,
katanya beliau sedang sakit. Semoga cepat sembuh.
Saya ketemu beberapa kawan orang batak yang besar dalam buaian
Jogjakarta, H. Simarmata, Filosof Betawi Sunaryo, aktivis HMI Slank dan Deni
Agusta, ada juga “The Prophet of Workers” Ismail Fahmi, dan masih banyak lagi
teman saya ha ha hi hi malam itu.
Di ruangan utama, tokoh-tokoh penting sedang memberi kesaksian tentang
almarhum Cak Nur; pak Try, ibu Musdah yang bicara tentang cara Cak Nur ngajar
dan selalu menekankan pentingnya Iqra,
pak Martin, tokoh yang pernah mengajari saya tentang Agama2 Asli
Indonesia, bang Akbar, oom Bikhu yang bicara tentang beda antara hadirin dan
hadirot, kalo hadirin "hadir in" hadir di dalam, sebaliknya hadirot
"hadir out", hadir tapi di luar, ada juga pak Andi Faisal, prof
Mochtar, sebelum kemudian ditutup doa oleh Gus Nuril (hmm pantesan ada beberapa
anggota Banser dan PGN malam itu).
Dari haul semalam saya teringat dua pernyataan (bukan berarti yang
lainnya tak saya ingat ya... Saya ingat koq sayup2) pertama dari kang Yudi
terkait warisan terbesar Cak Nur yang mampu mengoplos tradisi dengan inovasi;
kedua dari bung Ismail Fahmi yang omong tentang mulai adanya gelagat
pengkeramatan Cak Nur (hmm oke juga nih).
Cak Nur saya kira tak sekadar mampu menggabungkan tradisi dengan
inovasi melainkan ia sekaligus mampu memberi basis keislaman tentang
persenyawaan itu. Cak Nur beberapa langkah lebih maju dari pokok-pokok
perdebatan di masa pra-kemerdekaan yang mahsyur dikenal dengan Polemik
Kebudayaan.
Akibat terjauh dari penggabungan tradisi dan inovasi adalah setiap
orang, terkhusus muslim, didorong untuk tak hanya peka pada gerak-gerik jaman
berikut fenomena2 yang mengikutinya, tapi sekaligus mampu memahami logika yang
berlaku di dalamnya tanpa harus diribetkan oleh pertimbangan2 apakah ini sesuai
dengan tradisi atau tidak. Bergeraklah!
Jika anggapan saya akurat maka ini paralel dengan apa yang pernah
diucapkan oleh Cak Nur era 70-an akhir kalo tidak salah dalam sebuah wawancara
dengan majalah Prisma di mana ia yakin bahwa Indonesia ke depan ibarat santri
yang canggih.
Pengeramatan Cak Nur, seperti dikatakan Ismail Fahmi, adalah sesuatu
yang tak bisa dihindari. Resiko tokoh besar ya seperti itu. Namanya akan lebih
sering disebut daripada pemikirannya. Pengeramatan adalah cara cepat menghidupkan
warisan dengan cara mematikan.
Padahal Cak Nur bukan lah sejenis foto “selfie” yang setelah puas diamati lalu dilupakan
begitu saja. Cak Nur, seperti Gus Dur, serupa buku yang terbuka. Tiap lembarnya
adalah seruan untuk terus selalu membaca karya-karyanya secara kritis dari
berbagai sudut keilmuan.
Di mata saya sendiri, Cak Nur adalah tokoh kedua yang lewat salah satu
buku reflektifnya Pintu-Pintu Menuju Tuhan dengan kata pengantar sangat
menyentuh dari Goenawan Muhammad itu berhasil membuat saya makin kepincut Islam.
Tokoh kedua?
Quraish Shihab lewat karyanya Membumikan Al Qur'an. Ituh.
Komentar
Posting Komentar