Langsung ke konten utama

Setelah Haul Cak Nur

Semalam (30/08) ikut hadir di acara Haul Cak Nur. 
Sampai di TKP bakda Isya saya tak langsung masuk tapi duduk-duduk dulu di beranda sambil menghisap sebatang rokok setelah dapat korek dari Fachrurozi Majid. Kawasan Ampera sudah gelap sekali.
Selang beberapa menit kemudian berurutan datang Kang Yudi Latif naik F**ner,  ibu Shinta Abdurrahman Wahid naik sedan hitam didampingi beberapa Paspampres, dan para pengunjung lain. Saya pun masuk.
Oiya sebelum masuk saya lihat Ulil meninggalkan acara dipapah istrinya, katanya beliau sedang sakit. Semoga cepat sembuh.
Saya ketemu beberapa kawan orang batak yang besar dalam buaian Jogjakarta, H. Simarmata, Filosof Betawi Sunaryo, aktivis HMI Slank dan Deni Agusta, ada juga “The Prophet of Workers” Ismail Fahmi, dan masih banyak lagi teman saya ha ha hi hi malam itu. 
Di ruangan utama, tokoh-tokoh penting sedang memberi kesaksian tentang almarhum Cak Nur; pak Try, ibu Musdah yang bicara tentang cara Cak Nur ngajar dan selalu menekankan pentingnya Iqra, 
pak Martin, tokoh yang pernah mengajari saya tentang Agama2 Asli Indonesia, bang Akbar, oom Bikhu yang bicara tentang beda antara hadirin dan hadirot, kalo hadirin "hadir in" hadir di dalam, sebaliknya hadirot "hadir out", hadir tapi di luar, ada juga pak Andi Faisal, prof Mochtar, sebelum kemudian ditutup doa oleh Gus Nuril (hmm pantesan ada beberapa anggota Banser dan PGN malam itu).
Dari haul semalam saya teringat dua pernyataan (bukan berarti yang lainnya tak saya ingat ya... Saya ingat koq sayup2) pertama dari kang Yudi terkait warisan terbesar Cak Nur yang mampu mengoplos tradisi dengan inovasi; kedua dari bung Ismail Fahmi yang omong tentang mulai adanya gelagat pengkeramatan Cak Nur (hmm oke juga nih).
Cak Nur saya kira tak sekadar mampu menggabungkan tradisi dengan inovasi melainkan ia sekaligus mampu memberi basis keislaman tentang persenyawaan itu. Cak Nur beberapa langkah lebih maju dari pokok-pokok perdebatan di masa pra-kemerdekaan yang mahsyur dikenal dengan Polemik Kebudayaan.
Akibat terjauh dari penggabungan tradisi dan inovasi adalah setiap orang, terkhusus muslim, didorong untuk tak hanya peka pada gerak-gerik jaman berikut fenomena2 yang mengikutinya, tapi sekaligus mampu memahami logika yang berlaku di dalamnya tanpa harus diribetkan oleh pertimbangan2 apakah ini sesuai dengan tradisi atau tidak. Bergeraklah!
Jika anggapan saya akurat maka ini paralel dengan apa yang pernah diucapkan oleh Cak Nur era 70-an akhir kalo tidak salah dalam sebuah wawancara dengan majalah Prisma di mana ia yakin bahwa Indonesia ke depan ibarat santri yang canggih.
Pengeramatan Cak Nur, seperti dikatakan Ismail Fahmi, adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Resiko tokoh besar ya seperti itu. Namanya akan lebih sering disebut daripada pemikirannya. Pengeramatan adalah cara cepat menghidupkan warisan dengan cara mematikan.
Padahal Cak Nur bukan lah sejenis foto “selfie”  yang setelah puas diamati lalu dilupakan begitu saja. Cak Nur, seperti Gus Dur, serupa buku yang terbuka. Tiap lembarnya adalah seruan untuk terus selalu membaca karya-karyanya secara kritis dari berbagai sudut keilmuan.
Di mata saya sendiri, Cak Nur adalah tokoh kedua yang lewat salah satu buku reflektifnya Pintu-Pintu Menuju Tuhan dengan kata pengantar sangat menyentuh dari Goenawan Muhammad itu berhasil membuat saya makin kepincut Islam. 
Tokoh kedua? 
Quraish Shihab lewat karyanya Membumikan Al Qur'an. Ituh.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya