//Cari
ilham di kafe dan mengembara ke Eropa/menulisnya bertahun-tahun di rumah
mertua/dan belum tentu ada orang sudi membelinya//
(Binhad
Nurrohmat, Proses Kreatif)
Rendra |
Rendra, sahabat.
Untuk dirimu sebaris nama itu mungkin tak bermakna apa-apa kecuali enak dibaca
dan didengar. Terkesan “macho,” toh?
Bagi dirimu nama
Rendra mungkin lebih mengingatkan pada nama anak dari pasangan selebriti papah
dan mamah muda Dude Harlino dan Alyssa Soebandono yang juga memiliki nama
panggilan Rendra. Sungguh sesuatu.
Tapi, bagi yang terbiasa
serius, atau pura-pura serius, dengan dunia kesenian khusunya teater dan puisi,
Rendra lebih dari sekadar nama. Ia nyaris telah menjadi sebuah peristiwa budaya
dalam artian namanya selalu dikutip dan disebut dalam setiap perbincangan
tentang kesenian dalam arti seluas-luasnya.
Sensasi nyaris sama
akan mudah kita sua saat mendengar atau membaca sebaris nama ini; Pram.
Mereka yang terbiasa
mendengar dan membaca dua nama “keramat” Rendra dan Pramoedya Ananta Toer
jumlahnya tak sebanding dengan jumlah dirimu jadi kalem saja. Tak usah gelisah.
Tanpa bermaksud
mengerdilkan peran figur-figur hebat lain di grup musik Kantata Takwa, sentuhan
Rendra saya kira sedikit banyak memberi warna tersendiri pada lagu-lagu Kantata
Takwa hingga lagu-lagunya memiliki kekhasan yang konstan; anggun, megah,
terperinci, tapi urakan.
Introduksi cukup
sampai di sini.
Sebelum ini saya
telah menulis catatan “Para Penyair Kece” yang diawali sebuah catatan cukup
panjang tentang Chairil Anwar yang berpuisi dengan gaya dalam memuisikan
kehidupan metropolis.
Gaya dalam menulis
puisi adalah kesesuaian antara ide yang diyakini dan dirasakan seorang penyair
dengan artikulasi dari puisi-puisinya. Gaya jelas bukan sejenis kegenitan yang
kebanyakan bertitiktolak dari kelabilan jiwa khas kaum “ababil.”
Catatan “Para Penyair
Kece” saya tutup dengan sejumlah nama penyair yang menurut saya puisi-puisinya
mendekati gaya yang telah dibangun Chairil dari mulai Afrizal Malna, Joko
Pinurbo, Widji Thukul, Acep Zamzam Noor, Binhad Nurrohmat, dan termasuk
almarhum Rendra. Yang lain tentu masih banyak dan akan saya tuliskan juga pada
saatnya nanti.
Nah, tentang
pergaualan hidup metropolis seperti pernah dibayangkan Chairil itu terbaca juga
misalnya dari puisi Rendra Blues untuk Bonnie, Acep Zamzam Noor dalam puisi Pada
Sebuah Kafe 1 s.d 6, dan puisi Proses Kreatif Penyair milik Binhad Nurrohmat
yang sudah saya tuliskan di awal catatan ini.
Jika sempat membaca
puisi-puisi Rendra, Acep, dan Binhad dengan judul-judul di atas, dirimu akan
disuguhkan puisi-puisi yang secara jelas membicarakan dua isu sekaligus yakni
gaya pengucapan puitis dan sebuah perenungan dalam terang kulur urban. Kultur
yang kini pelan tapi pasti membentuk dan memengaruhi dirimu sampai ke tulang
sumsum. Dirimu yang kini lebih kerasan bergumul dengan “jejaring sosial” dari
pada bergaul dalam sebuah komunitas konkret dan nyata.
Rendra, Acep, dan
Binhad, meskipun dengan cara pengucapan berbeda, ketiganya sama-sama
memperkarakan hubungan kafe dengan segenap persoalan yang menjadi inti
keprihatinan sang penyair.
Simak penggalan puisi
Blues untuk Bonnie Rendra berikut;
Di dalam kafé itu
seorang Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap.
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.
Di kafe, Rendra
menjadi penonton setia penampilan Negro tua yang bernyanyi “sembari jari-jari
galak digitarnya mencakar dan mencakar menggaruki rasa gatal di sukmanya.”
“Rasa gatal di sukma”
menandakan ada sesuatu yang tak beres dalam diri Negro tua di kesehariannya;
sebuah perlakuan dari tatanan sosial yang menganggap wajar pembedaan pergaulan
sosial yang timpang berdasarkan warna kulit; jika si kulit putih berhak untuk
menjadi majikan pemilik kafe, si kulit hitam cukuplah hanya sampai menjadi
penyanyi kafe, seperti itu kira-kira ilustrasinya.
Rendra, seperti juga
Chairil, menyitir puisi Binhad Nurrohmat, “cari ilham di kafe” ikut larut dalam
keriuhan suasana kota dan menyelami segala persoalan sosial yang ada di
dalamnya. Rendra, seperti Widji Thukul, termasuk para penyair yang mampu
melipat kota dalam kata-kata yang membara, menyuarakan protes dari orang-orang
yang tersingkirkan dari pergaulan modis kehidupan metropolis.
Berbeda dengan Rendra
yang memotret persoalan diskriminasi sosial yang terjadi di kafe, Acep Zamzam
Noor dalam Pada Sebuah Kafe 1 s.d 6 melukiskan hubungan penyair dan kafe dalam
sebuah tema yang sungguh menarik; kesunyian.
Dalam keriuhan
suasana kafe, Acep menemukan kesunyian. Keren. Kelak Binhad Nurrohmat akan
menemukan keindahan dalam hingar bingar bar dangdut. Gokil.
Puisi Pada Sebuah
Kafe (6) Acep menggambarkan niat kebanyakan orang pergi ke kafe sebagai berikut
“Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia/Yang
sudah lama kujauhkan dari telinga”.
Puisi Pada Sebuah
Kafe (6) mengungkap tujuan orang berkunjung ke kafe yakni mau mengatasi
kesedihan dan mengharap keriangan. Tapi, dari sudut seorang penyair pergi ke
kafe tak sekadar gaya-gayaan sambil ketawa-ketiwi tanpa arti melainkan selalu
berupaya untuk menunjukkan eksistensi kepenyairan (“mengada-menggaya” istilah
Chairil) dan hasilnya adalah puisi Pada Sebuah Kafe (2) “Sungguh aku hanya
ingin menikmati/Setiap keindahan yang teronggok di pojok-pojok sunyi.”
Acep tetap diburu
kesedihan bahkan ketika ia berupaya menghindarinya dengan mencari kebahagiaan
sambil “ngafe.” Tapi tunggu, kafe di mata Acep ternyata bukan masalah sedih dan
bahagia belaka lebih dari itu kafe adalah tempat ideal menemukan keindahan.
Keterkaitan keindahan
dengan kebahagiaan seperti disuarakan Acep, tak menutup kemungkinan juga bagi
para penyair lain yang asyik mencari keindahan di keramaian, mengingatkan saya
pada doktrin keindahan dari pujangga Prancis abad ke-19 Stendhal saat ia
berucap “the beautiful is neither more nor less than the promise of happiness.”
Komentar
Posting Komentar