Langsung ke konten utama

Flâneur Melayu Part III

//Cari ilham di kafe dan mengembara ke Eropa/menulisnya bertahun-tahun di rumah mertua/dan belum tentu ada orang sudi membelinya//
(Binhad Nurrohmat, Proses Kreatif)

Rendra
Rendra, sahabat. Untuk dirimu sebaris nama itu mungkin tak bermakna apa-apa kecuali enak dibaca dan didengar. Terkesan “macho,” toh?
Bagi dirimu nama Rendra mungkin lebih mengingatkan pada nama anak dari pasangan selebriti papah dan mamah muda Dude Harlino dan Alyssa Soebandono yang juga memiliki nama panggilan Rendra. Sungguh sesuatu.
Tapi, bagi yang terbiasa serius, atau pura-pura serius, dengan dunia kesenian khusunya teater dan puisi, Rendra lebih dari sekadar nama. Ia nyaris telah menjadi sebuah peristiwa budaya dalam artian namanya selalu dikutip dan disebut dalam setiap perbincangan tentang kesenian dalam arti seluas-luasnya.
Sensasi nyaris sama akan mudah kita sua saat mendengar atau membaca sebaris nama ini; Pram.
Mereka yang terbiasa mendengar dan membaca dua nama “keramat” Rendra dan Pramoedya Ananta Toer jumlahnya tak sebanding dengan jumlah dirimu jadi kalem saja. Tak usah gelisah.
Tanpa bermaksud mengerdilkan peran figur-figur hebat lain di grup musik Kantata Takwa, sentuhan Rendra saya kira sedikit banyak memberi warna tersendiri pada lagu-lagu Kantata Takwa hingga lagu-lagunya memiliki kekhasan yang konstan; anggun, megah, terperinci, tapi urakan.
Introduksi cukup sampai di sini.
Sebelum ini saya telah menulis catatan “Para Penyair Kece” yang diawali sebuah catatan cukup panjang tentang Chairil Anwar yang berpuisi dengan gaya dalam memuisikan kehidupan metropolis.
Gaya dalam menulis puisi adalah kesesuaian antara ide yang diyakini dan dirasakan seorang penyair dengan artikulasi dari puisi-puisinya. Gaya jelas bukan sejenis kegenitan yang kebanyakan bertitiktolak dari kelabilan jiwa khas kaum “ababil.”
Catatan “Para Penyair Kece” saya tutup dengan sejumlah nama penyair yang menurut saya puisi-puisinya mendekati gaya yang telah dibangun Chairil dari mulai Afrizal Malna, Joko Pinurbo, Widji Thukul, Acep Zamzam Noor, Binhad Nurrohmat, dan termasuk almarhum Rendra. Yang lain tentu masih banyak dan akan saya tuliskan juga pada saatnya nanti.
Nah, tentang pergaualan hidup metropolis seperti pernah dibayangkan Chairil itu terbaca juga misalnya dari puisi Rendra Blues untuk Bonnie, Acep Zamzam Noor dalam puisi Pada Sebuah Kafe 1 s.d 6, dan puisi Proses Kreatif Penyair milik Binhad Nurrohmat yang sudah saya tuliskan di awal catatan ini.
Jika sempat membaca puisi-puisi Rendra, Acep, dan Binhad dengan judul-judul di atas, dirimu akan disuguhkan puisi-puisi yang secara jelas membicarakan dua isu sekaligus yakni gaya pengucapan puitis dan sebuah perenungan dalam terang kulur urban. Kultur yang kini pelan tapi pasti membentuk dan memengaruhi dirimu sampai ke tulang sumsum. Dirimu yang kini lebih kerasan bergumul dengan “jejaring sosial” dari pada bergaul dalam sebuah komunitas konkret dan nyata.
Rendra, Acep, dan Binhad, meskipun dengan cara pengucapan berbeda, ketiganya sama-sama memperkarakan hubungan kafe dengan segenap persoalan yang menjadi inti keprihatinan sang penyair.
Simak penggalan puisi Blues untuk Bonnie Rendra berikut;
Di dalam kafé itu
seorang Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap.
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.
Di kafe, Rendra menjadi penonton setia penampilan Negro tua yang bernyanyi “sembari jari-jari galak digitarnya mencakar dan mencakar menggaruki rasa gatal di sukmanya.”
“Rasa gatal di sukma” menandakan ada sesuatu yang tak beres dalam diri Negro tua di kesehariannya; sebuah perlakuan dari tatanan sosial yang menganggap wajar pembedaan pergaulan sosial yang timpang berdasarkan warna kulit; jika si kulit putih berhak untuk menjadi majikan pemilik kafe, si kulit hitam cukuplah hanya sampai menjadi penyanyi kafe, seperti itu kira-kira ilustrasinya.
Rendra, seperti juga Chairil, menyitir puisi Binhad Nurrohmat, “cari ilham di kafe” ikut larut dalam keriuhan suasana kota dan menyelami segala persoalan sosial yang ada di dalamnya. Rendra, seperti Widji Thukul, termasuk para penyair yang mampu melipat kota dalam kata-kata yang membara, menyuarakan protes dari orang-orang yang tersingkirkan dari pergaulan modis kehidupan metropolis.
Berbeda dengan Rendra yang memotret persoalan diskriminasi sosial yang terjadi di kafe, Acep Zamzam Noor dalam Pada Sebuah Kafe 1 s.d 6 melukiskan hubungan penyair dan kafe dalam sebuah tema yang sungguh menarik; kesunyian.
Dalam keriuhan suasana kafe, Acep menemukan kesunyian. Keren. Kelak Binhad Nurrohmat akan menemukan keindahan dalam hingar bingar bar dangdut. Gokil.
Puisi Pada Sebuah Kafe (6) Acep menggambarkan niat kebanyakan orang pergi ke kafe sebagai berikut “Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia/Yang sudah lama kujauhkan dari telinga”.
Puisi Pada Sebuah Kafe (6) mengungkap tujuan orang berkunjung ke kafe yakni mau mengatasi kesedihan dan mengharap keriangan. Tapi, dari sudut seorang penyair pergi ke kafe tak sekadar gaya-gayaan sambil ketawa-ketiwi tanpa arti melainkan selalu berupaya untuk menunjukkan eksistensi kepenyairan (“mengada-menggaya” istilah Chairil) dan hasilnya adalah puisi Pada Sebuah Kafe (2) “Sungguh aku hanya ingin menikmati/Setiap keindahan yang teronggok di pojok-pojok sunyi.”
Acep tetap diburu kesedihan bahkan ketika ia berupaya menghindarinya dengan mencari kebahagiaan sambil “ngafe.” Tapi tunggu, kafe di mata Acep ternyata bukan masalah sedih dan bahagia belaka lebih dari itu kafe adalah tempat ideal menemukan keindahan.
Keterkaitan keindahan dengan kebahagiaan seperti disuarakan Acep, tak menutup kemungkinan juga bagi para penyair lain yang asyik mencari keindahan di keramaian, mengingatkan saya pada doktrin keindahan dari pujangga Prancis abad ke-19 Stendhal saat ia berucap “the beautiful is neither more nor less than the promise of happiness.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...