Langsung ke konten utama

Bermain dengan Blues Rendra (Kompas 26/09/2010)

WS Rendra (1935-2009) adalah salah satu seniman paling sempurna dalam khazanah kesenian Indonesia. Kreativitas Rendra tampak ketika ia dengan berani melompati pagar definisi stanza dan blues.
Kesempurnaan Rendra tecermin dalam tiga buku yang diterbitkan setelah ia wafat dan didedikasikan kepadanya. Pertama, Rendra: Ia Tak Pernah Pergi (Penerbit Buku Kompas, 2009); kedua, Rendra Berpulang (Burung Merak Press, 2009); dan ketiga, Stanza dan Blues. Buku ketiga ini berisi puisi-puisi yang diambil-pilih dari dua buku puisi Rendra, Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961) dan Blues untuk Bonnie (Pustaka Jaya, 1971).
Rendra: Ia Tak Pernah Pergi adalah kumpulan tulisan tokoh-tokoh yang secara intensif mengamati kiprah Rendra dari awal hingga akhir kehidupannya, baik sebagai penyair, bintang film, dramawan, maupun sebagai kritikus sosial; Rendra Berpulang menghimpun tulisan para tokoh dan berita dari sejumlah media massa, dalam dan luar negeri, terkait kepulangan Rendra ke pangkuan ilahi; Stanza dan Blues berisi puisi-puisi yang diambil-pilih dari dua buku puisi Rendra, Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961) dan Blues untuk Bonnie (Pustaka Jaya, 1971).
Stanza dalam arti yang sederhana ialah puisi dengan susunan larik-larik yang membentuk satu kesatuan dalam skema irama dan rima berulang. Sedangkan blues jamak dipahami sebagai genre musik yang dipopulerkan komunitas-komunitas Afro-Amerika. Kekhasan genre musik ini adalah muatan kesenduan, yang kadang dibumbui dengan puja-puji kepada Tuhan, sebagai tanggapan atas ketidakadilan sosial. Blues dikemas dengan teknik bermusik dinamis dengan baris-baris lagu yang kerap menerapkan stanza. Blues bagi Rendra dalam puisi ”Blues untuk Bonnie” adalah ”Lagu beranak seratus makna” (hal 46).
Kreativitas
Dalam Stanza dan Blues, pembaca akan merasakan daya kreatif di balik puisi-puisi Rendra. Kreativitas tersebut bertumpu pada kegeniusan Rendra mengadaptasi dan mentransformasikan prosedur-prosedur teknik artistik stanza dan blues ke dalam puisi-puisinya. Perhatikan puisi berikut:
//Ada burung dua, jantan dan betina/Hinggap di dahan/Ada daun dua, tidak jantan dan tidak betina gugur dari dahan/Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua pergi ke selatan/Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu mengendap dalam nyanyiku//(Puisi Stanza, hal 11)
Puisi di atas menunjukkan ketangkasan Rendra meramu kekuatan kata. Seturut arti stanza, akhir puisi di atas sekurang-kurangnya akan berbunyi, ”Ada burung, daun, kapuk, dan angin/mengendap dalam nyanyiku.” Rendra tak puas. Ia menulis, ”Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu/mengendap dalam nyanyiku.” Penambahan ”dan mungkin juga debu” membuat puisi di muka semakin bertenaga.
Puisi-puisi dalam Stanza dan Blues sekaligus juga memperlihatkan Rendra sebagai penyair yang terus-menerus menggelorakan gairah tak semata cinta. Meski tema gairah tersebut kerap kali disuarakan Rendra dengan nada dasar minor seperti tampak pada penggalan puisi ”Nyanyian Duniawi” (hal 42) berikut:
//Ketika bulan tidur di kasur tua/ gadis itu kucumbu di kebun mangga/Hatinya liar dan brahi/Lapar dahaga ia injak dengan kakinya/Di dalam kemelaratan kami berjamahan/Di dalam remang-remang dan bayang-bayang/menderu gairah pemberontakan kami/Dan gelaknya yang angkuh/membuat hatiku gembira//
Tema gairah, yang bertukar-tangkap dengan kegerahan terhadap situasi sosial tak berkeadilan, dengan mudah ditemukan dalam puisi-puisi Rendra lain dalam buku ini, seperti ”Lagu Ibu”, ”Ibunda”, ”Setelah Pengakuan Dosa”, ”Mata Anjing”, ”Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya”, ”Kepada MG”, ”Nyanyian Angsa”, ”Blues untuk Bonnie”, ”Bumi Hangus”, ”Rick dari Corona”, dan ”Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”. Kesadaran menyuarakan gairah memperlihatkan pengaruh penyair dan dramawan ternama Spanyol, Federico Garcia Lorca (1898–1936), atas karya-kaya Rendra. Bau Lorca pada Rendra pernah dicium Subagio Sostrowardoyo dalam karangannya, ”Sosok Pribadi dalam Sajak” (1980).
Kegeniusan pragmatis
Rendra, seperti Garcia Lorca yang bergelar ”Profesor Panca indra” (Jonathan Mayhew, Apocryphal Lorca, Translation, Parody, Kitsch, 2009), memahami estetika secara perseptual. Dalam artian, berpaut dengan kemampuan menafsir dan menyadari sesuatu melalui pancaindra atau struktur-struktur perasaan. Rendra dan Garcia Lorca adalah penyair yang lebih mengutamakan kegeniusan pragmatis daripada kepandaian teoretis.
Garcia Lorca dan Rendra juga sama-sama dikaruniai kemampuan indrawi luar biasa. Mereka lebih percaya rumusan-rumusan puitis yang diajukannya sendiri daripada ikut larut dalam kaidah-kaidah rumit yang dikemukakan para penyair atau pakar seni lain. Banyak kesamaan di antara Garcia Lorca dan Rendra, baik dari segi citra-citra konkret yang ditampilkan puisi maupun dari kredo kepenyairan masing-masing. Beda Garcia Lorca dan Rendra, barangkali, hanya pada fakta bahwa Garcia Lorca seorang homoseksual.
Tentang Garcia Lorca, penyair Robert Bly (A Companion to Federico Garcia Lorca, 2007) berujar bahwa Garcia Lorca selalu ”mengatakan apa yang ia inginkan, apa yang ia hasrati, apa yang perempuan papa harapkan, apa yang gypsi inginkan, apa yang saudara dan saudarinya inginkan, apa yang air inginkan, hingga apa yang dikehendaki seekor sapi jantan sebelum mati”. Puisi-puisi dalam Stanza dan Blues memiliki keserupaan corak seperti dikemukakan Robert Bly. Pada beberapa puisi Stanza dan Blues, Rendra menjadi Negro, Pelacur, Kali, Batu, Angin, bahkan Yang Kudus.
Puisi-puisi awal Rendra, meminjam pernyataan Subagio Sastrowardoyo, tak sepenuhnya menunjukkan kebaruan dan orisinalitas, kecuali bahwa memang berbeda dengan penyair-penyair ternama Indonesia lain, seperti Sitor Situmorang dan Chairil Anwar. Meski demikian, yang wajib dicatat adalah hanya pada Rendra puisi menjelma menjadi suguhan dramatik yang menggetarkan dan memesona.
Buku ini penting dibaca oleh siapa saja yang hendak menyimak kiprah kepenyairan Rendra. Karena kebesaran namanya di jagat puisi Indonesia, Rendra telah bermetamorfosis menjadi jenis bahasa tersendiri. (Khudori Husnan)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...