WS Rendra (1935-2009)
adalah salah satu seniman paling sempurna dalam khazanah kesenian Indonesia.
Kreativitas Rendra tampak ketika ia dengan berani melompati pagar definisi stanza
dan blues.
Kesempurnaan Rendra
tecermin dalam tiga buku yang diterbitkan setelah ia wafat dan didedikasikan
kepadanya. Pertama, Rendra: Ia Tak Pernah Pergi (Penerbit Buku Kompas, 2009);
kedua, Rendra Berpulang (Burung Merak Press, 2009); dan ketiga, Stanza dan
Blues. Buku ketiga ini berisi puisi-puisi yang diambil-pilih dari dua buku
puisi Rendra, Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961) dan Blues untuk Bonnie
(Pustaka Jaya, 1971).
Rendra:
Ia Tak Pernah Pergi adalah kumpulan tulisan tokoh-tokoh yang secara intensif
mengamati kiprah Rendra dari awal hingga akhir kehidupannya, baik sebagai
penyair, bintang film, dramawan, maupun sebagai kritikus sosial; Rendra
Berpulang menghimpun tulisan para tokoh dan berita dari sejumlah media massa,
dalam dan luar negeri, terkait kepulangan Rendra ke pangkuan ilahi; Stanza dan
Blues berisi puisi-puisi yang diambil-pilih dari dua buku puisi Rendra, Empat
Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961) dan Blues untuk Bonnie (Pustaka Jaya,
1971).
Stanza dalam arti
yang sederhana ialah puisi dengan susunan larik-larik yang membentuk satu
kesatuan dalam skema irama dan rima berulang. Sedangkan blues jamak dipahami
sebagai genre musik yang dipopulerkan komunitas-komunitas Afro-Amerika.
Kekhasan genre musik ini adalah muatan kesenduan, yang kadang dibumbui dengan
puja-puji kepada Tuhan, sebagai tanggapan atas ketidakadilan sosial. Blues
dikemas dengan teknik bermusik dinamis dengan baris-baris lagu yang kerap
menerapkan stanza. Blues bagi Rendra dalam puisi ”Blues untuk Bonnie” adalah
”Lagu beranak seratus makna” (hal 46).
Kreativitas
Dalam Stanza dan
Blues, pembaca akan merasakan daya kreatif di balik puisi-puisi Rendra.
Kreativitas tersebut bertumpu pada kegeniusan Rendra mengadaptasi dan
mentransformasikan prosedur-prosedur teknik artistik stanza dan blues ke dalam
puisi-puisinya. Perhatikan puisi berikut:
//Ada
burung dua, jantan dan betina/Hinggap di dahan/Ada daun dua, tidak jantan dan
tidak betina gugur dari dahan/Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah
tua pergi ke selatan/Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga
debu mengendap dalam nyanyiku//(Puisi Stanza, hal 11)
Puisi di atas
menunjukkan ketangkasan Rendra meramu kekuatan kata. Seturut arti stanza, akhir
puisi di atas sekurang-kurangnya akan berbunyi, ”Ada burung, daun, kapuk, dan
angin/mengendap dalam nyanyiku.” Rendra tak puas. Ia menulis, ”Ada burung,
daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu/mengendap dalam nyanyiku.” Penambahan
”dan mungkin juga debu” membuat puisi di muka semakin bertenaga.
Puisi-puisi dalam
Stanza dan Blues sekaligus juga memperlihatkan Rendra sebagai penyair yang
terus-menerus menggelorakan gairah tak semata cinta. Meski tema gairah tersebut
kerap kali disuarakan Rendra dengan nada dasar minor seperti tampak pada
penggalan puisi ”Nyanyian Duniawi” (hal 42) berikut:
//Ketika
bulan tidur di kasur tua/ gadis itu kucumbu di kebun mangga/Hatinya liar
dan brahi/Lapar dahaga ia injak dengan kakinya/Di dalam kemelaratan kami
berjamahan/Di dalam remang-remang dan bayang-bayang/menderu gairah
pemberontakan kami/Dan gelaknya yang angkuh/membuat hatiku gembira//
Tema gairah, yang
bertukar-tangkap dengan kegerahan terhadap situasi sosial tak berkeadilan,
dengan mudah ditemukan dalam puisi-puisi Rendra lain dalam buku ini, seperti
”Lagu Ibu”, ”Ibunda”, ”Setelah Pengakuan Dosa”, ”Mata Anjing”, ”Surat Kepada
Bunda: Tentang Calon Menantunya”, ”Kepada MG”, ”Nyanyian Angsa”, ”Blues untuk
Bonnie”, ”Bumi Hangus”, ”Rick dari Corona”, dan ”Bersatulah Pelacur-Pelacur
Kota Jakarta”. Kesadaran menyuarakan gairah memperlihatkan pengaruh penyair dan
dramawan ternama Spanyol, Federico Garcia Lorca (1898–1936), atas karya-kaya
Rendra. Bau Lorca pada Rendra pernah dicium Subagio Sostrowardoyo dalam
karangannya, ”Sosok Pribadi dalam Sajak” (1980).
Kegeniusan
pragmatis
Rendra, seperti
Garcia Lorca yang bergelar ”Profesor Panca indra” (Jonathan Mayhew, Apocryphal
Lorca, Translation, Parody, Kitsch, 2009), memahami estetika secara perseptual.
Dalam artian, berpaut dengan kemampuan menafsir dan menyadari sesuatu melalui
pancaindra atau struktur-struktur perasaan. Rendra dan Garcia Lorca adalah
penyair yang lebih mengutamakan kegeniusan pragmatis daripada kepandaian
teoretis.
Garcia Lorca dan
Rendra juga sama-sama dikaruniai kemampuan indrawi luar biasa. Mereka lebih
percaya rumusan-rumusan puitis yang diajukannya sendiri daripada ikut larut
dalam kaidah-kaidah rumit yang dikemukakan para penyair atau pakar seni lain.
Banyak kesamaan di antara Garcia Lorca dan Rendra, baik dari segi citra-citra
konkret yang ditampilkan puisi maupun dari kredo kepenyairan masing-masing.
Beda Garcia Lorca dan Rendra, barangkali, hanya pada fakta bahwa Garcia Lorca
seorang homoseksual.
Tentang Garcia Lorca,
penyair Robert Bly (A Companion to Federico Garcia Lorca, 2007) berujar bahwa
Garcia Lorca selalu ”mengatakan apa yang ia inginkan, apa yang ia hasrati, apa
yang perempuan papa harapkan, apa yang gypsi inginkan, apa yang saudara dan
saudarinya inginkan, apa yang air inginkan, hingga apa yang dikehendaki seekor
sapi jantan sebelum mati”. Puisi-puisi dalam Stanza dan Blues memiliki
keserupaan corak seperti dikemukakan Robert Bly. Pada beberapa puisi Stanza dan
Blues, Rendra menjadi Negro, Pelacur, Kali, Batu, Angin, bahkan Yang Kudus.
Puisi-puisi awal
Rendra, meminjam pernyataan Subagio Sastrowardoyo, tak sepenuhnya menunjukkan
kebaruan dan orisinalitas, kecuali bahwa memang berbeda dengan penyair-penyair
ternama Indonesia lain, seperti Sitor Situmorang dan Chairil Anwar. Meski
demikian, yang wajib dicatat adalah hanya pada Rendra puisi menjelma menjadi
suguhan dramatik yang menggetarkan dan memesona.
Buku ini penting
dibaca oleh siapa saja yang hendak menyimak kiprah kepenyairan Rendra. Karena
kebesaran namanya di jagat puisi Indonesia, Rendra telah bermetamorfosis
menjadi jenis bahasa tersendiri. (Khudori Husnan)
Komentar
Posting Komentar