Ingatan dan kenangan termasuk yang menjadi inti keprihatinan pemikir dan penyair. Para pemikir menjadikan ingatan sebagai pusat
refleksi terkait kedudukannya sebagai sumber dan dasar pengetahuan sementara para
penyair menjadikan kenangan sebagai penopang utama daya cipta.
Puisi Doa dari Chairil Anwar termasuk puisi awal bagaimana ingatan
berperan sentral dalam penciptaan puisi:“//Tuhanku/Dalam
termangu/Aku masih menyebut namamu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh
seluruh/cayaMu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/Tuhanku aku
hilang bentuk remuk/Tuhanku aku mengembara di negeri asing/Tuhanku di pintuMu
aku mengetuk aku tidak bisa berpaling//”
Ingatan dalam puisi doa adalah
jenis ingatan personal yang dapat menjelma menjadi ingatan kolektif. Pasalnya,
hubungan pencipta dan ciptaan yang diperantarai oleh doa termasuk kesadaran dan
laku personal yang bersifat umum. Puisi doa merekonstruksi ingatan seorang
bernama Chairil Anwar yang terasing, kesepian, dan terus-menerus mendamba
Tuhannya.
Melalui ingatan, seseorang memiliki
akses pada gambaran yang murni bersifat individual
dalam menafsir kenyataan. Akses tersebut bukan sesuatu yang dapat dengan mudah
direngkuh tapi menyaratkan intensitas tingkat tinggi sebagaimana Chairil bilang
“Biar susah sungguh.”
Gambaran atau citra-citra dapat
dimobilisasi dengan cara berpaling dari kehidupan sosial aktif, yang hanya
memberi akses pada apa yang disebut filosof Henry Bergson sebagai memori-habit, menuju laku yang lebih meditatif. Ingatan dalam laku meditatif bertujuan menghadirkan “ingatan
sejati,” yang berdiri mengatasi sejarah. Ingatan yang sejati steril dari segala
diskursus tentang situasi sosial dan ekonomi.
Rumusan ingatan seperti ini, misalnya oleh Walter
Benjamin, filosof dan kritikus sastra dari Jerman, dianggap semata sebagai
ingatan “sesudah-citra”, yang diterima setelah seseorang menutup kedua matanya
bagi “abad buta dalam industrialisme.” Ingatan meditatif membuang muka dari sesuatu yang membikin
seseorang tak nyaman. Praktik ingatan meditatif, dalam amatan para teoritikus
kritis, serupa tindakan mengingat dengan melupakan. Maksudnya, saat mengingat
dalam arti meditatif tersebut seseorang sebetulnya secara serentak melupakan
hal lain yang tak ingin diingatnya.
Ingatan; antara
desain sadar dan spontan.
Pengalaman seseorang dalam bersentuhan
dengan realitas modern yang di antaranya bertumpu pada pemahaman business as usual (bisnis sebagai
kelaziman), memaknai segala interaksi sosial mululu dari kacamata perburuan laba,
mengubah pula pemahaman tentang ingatan dan pengalaman itu sendiri.
Ingatan terpilah ke dalam dua
hal; ingatan spontan dan ingatan berdasar desain sadar. Pembedaan tentang ingatan
berpengaruh pada adanya dua jenis pengalaman: pengalaman yang melibatkan laku
penghayatan dan pengalaman sekadar pengalaman, yang dialami atau dilakukan
dalam menjalani keseharian.
Business as
usual pun
dianggap bertanggung jawab atas pemutarbalikkan pemahaman tentang ingatan dan
pengalaman. Atas pemutarbalikkan tersebut terdapat beberapa posisi dalam
memahamai pengalaman; satu posisi berpandangan pengalaman yang dihayati sebagai
pengalaman yang otentik sebaliknya pendapat lain beranggapan bahwa pengalaman
keseharianlah yang sejati. Pun halnya dengan ingatan; beberapa kalangan
menganggap ingatan spontan dianggap tak bernilai, tak otentik, dan gadungan
sedang kalangan lain menganggap ingatan spontan adalah kesejatian itu sendiri.
Bukan maksud tulisan ini mengurai
kecanggihan argumentasi di balik pro dan kontra tentang ingatan dan pengalaman
tersebut. Tulisan ini hanya akan mengambil posisi aman-aman saja yakni bahwa kedua
pandangan pro dan kontra tentang ingatan tersebut sebetulnya dapat bersanding
secara mesra dan harmonis.
Mengingat = menyelamatkan
Saya akan menunjuk pada puisi-puisi yang terhimpun dalam buku kumpulan puisi Wirid Angin, (Majelis Sastra Bandung,
2012) sebagai pusat refleksi saya. Puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi secara mengesankan menempatkan kenangan sebagai nada dasar puisi-puisi dari para penyairnya seperti dari Khairunnisa Mawar Biduri, puisi
“Ulang”; Muhammad Ramyan Fauzan, “Jangan Selingkuh Sayang!”; Muhammad Budi,
puisi “Ingat Kematianku”; Ratna M. Iwan, puisi “Penantian yang Menubuh”; Rezky
Darojattus Sholihin, puisi “Alamat Akhir Pertemuan” Rr. Metta P., puisi “Senja Penantian”; Trisna Iryansyah, puisi
Dalam Jarak dan puisi “Dari Rumah Kepada Tuan.”
Sampul buku Wirid Angin (sumber gambar:berduri tajam.wordpress.com) |
Topik ingatan dalam puisi-puisi
dalam Wirid Angin tampaknya menjadikan
puisi Doa dari Chairil dan puisi Terkenang Topeng Cirebon dari Ajip
Rosidi (puisi yang kemungkinan besar ditulis saat Ajip di Seoul, Korea Selatan)
sebagai gambaran-asalinya. Penggalan dari puisi Ajip sendiri ialah sebagai
berikut:
//Waktu
menonton topeng Cirebon di Istana Musimpanas/Aku terkenang betapa indah topeng
Cirebon dari Kalianyar!/Dan waktu kusimakkan musik Tang-ak/Tubuhku
tersandar/lemas/Betapa indah gamelan Bali dan degung Sunda.Bagaikan terdengar!
Kian jauh aku pergi, kian banyak yang kulihat/Kian tinggi kuhargai milik
sendiri yang tersia-sia tak dirawat//
Penjelasan untuk puisi Ajip tersua
pada puisi Trisna Iryansyah Dalam Jarak
(dalam Wirid Angin): //dalam jarak/kenangan menjelma kampung
halaman yang hilang/aku tak menemukan jejak-jejak kepergiannya/hingga jalan
menjadi samar/udara menjadi kosong tak berpenghuni/sementara aku rindu untuk
kembali pulang// pada puisi lainnya,
puisi Dari Rumah Kepada Tuan, Trisna juga
menulis //dari rahim waktu beranak pinak
kenangan/yang satu dan lain saling melintang //
Puisi-puisi di atas, baik dari
Ajip maupun dari Trisna, berbicara tentang jarak dan kenangan. Puisi-puisi
tersebut mengisyaratkan bahwa semakin jauh jarak, kenangan akan sesuatu kian meluap
dan mendekati “kebenaran” akan sesuatu yang dikenang tersebut: Topeng Cirebon,
degung Sunda, dan gamelan Bali. Ketiga tradisi dirasakan Ajip lebih indah (sekaligus
lebih menyedihkan karena tak dirawat) disaksikan dari kejauhan daripada
disaksikan langsung di komunitas akarnya (Cirebon, Sunda, Bali).
Jika dikembalikan pada diskusi
tentang dua macam ingatan di atas, di mana posisi saya ialah bahwa antara
ingatan spontan dan ingatan berdasar desain sadar bisa bermesraan, maka ingatan
spontan bersintesis dengan ingatan desain sadar. Saat di Istana Musimpanas,
Ajip secara spontan teringat dengan akar-akar tradisinya (“topeng Cirebon,” “degung
Sunda,” dan “gamelan Bali”).
Ingatan Ajip adalah perpaduan
antara ingatan spontan dan ingatan desain sadar karena dalam mengingat Ajip
sekaligus mengingat nasib empirik ketiga tradisi tersebut yang tak terpelihara
baik. Dari perpaduan dua jenis ingatan ini Ajip pun menemukan, menyitir puisi
Trisna, “kampung halaman yang hilang.”
Perpaduan antara ingatan spontan
dan desain sadar mengakibatkan ingatan tak semata ingatan hampa sebaliknya ia memikul
dimensi penyelamatan. Puisi, dengan kenangan/ingatan di dalamnya, menjelma serupa monumen megah di tengah-tengah kota yang
menunjuk pada suatu peristiwa historis tertentu di masa lampau. Ia diperuntukkan
bagi laku per-ingat-an publik yang sekaligus mengantisipasi pelupaan kolosal yang
dilakukan oleh tirani. (Khudori Husnan)
Komentar
Posting Komentar