Puisi-puisi dalam Sajak-sajak Tirakat (Pasar Malam Production, 2011) dan yang terhimpun dalam Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan(disingkat Kerlip Puisi, Pasar Malam Production, 2011) memperlihatkan bagaimana kota dengan segenap kompleksitasnya tercitrakan pada puisi. Dari kedua buku tersebut pula, melalui suatu tilikan mikroskopik mengesankan dari para penyairnya, diketahui dimensi interior realitas urban yang meski memiliki ciri penguasaan juga mengisyaratkan suatu janji pembebasan.Baca selengkapnya
Puisi Suatu Kali, Singgahlah dan Rel dalam Kerlip Puisi cukup mewakili topik tersebut. Perhatikan petikan dari Suatu Kali, Singgahlah berikut ini:
Tapi di kota yang begitu gemar pada geliat
Pertumbuhan, aku hanya selokan di keliling sebuah taman
Menerima segala pun yang tiba, menebarkan aroma
Yang menyesatkan: terabaikan.
Di hunian yang tak mampu lagi membaca ibarat
Dan terlalu sibuk untuk sempat, betapa pun, singgahlah.
Agar dapat kucermati wajahmu, agar dapat kuyakini – jauh dalam hati: kukenali jejak dukamu.
(AGS Arya Dipayana, Suatu Kali, Singgahlah)
Membaca sekilas puisi di atas, penyair serupa orang asing sebagaimana jauh-jauh hari telah dikonsepsikan oleh teoritikus sosial Georg Simmel. Penyair menjadi bagian dari realitas urban tapi pada saat bersamaan ia menjadi bukan bagian dari realitas urban. Realitas urban dipahami sebagai kenyataan eksternal, di luar sana “yang begitu gemar pada geliat pertumbuhan,” “hunian yang tak mampu lagi membaca ibarat.” Realitas urban juga menyiratkan kedukaan di balik keceriaan yang ditampilkan individu-individu yang hidup dan menghidupinya.
Adakah sajak mampu mengucap luka yang tersirat
Di atas menara
Tangan-tangan mengukir nama
Di atas menara
Doa-doa lupa lafaznya
Selalu derita
Jadi derita
Sedang kata
Sebatas mata.
(Yoyik Lembayung, Sketsa 1, dalam Kerlip Puisi)
Penyair sebagai orang asing adalah ia yang “terabaikan” dari segala bentuk pergaulan sosial kaum urban. Kendati demikian keterasingan penyair adalah sebentuk keterasingan kreatif. Di tangannya paradoks perkotaan menjadi satu kesatuan utuh dan terutama terbaca. Paradoks perkotaan itu bermuasal di antaranya dari peran teknologi pendukung industrialisasi.
Rel yang membentangkan hari
Mengikat aku pada siang dan malam
Memberati langkah
aku berontak!
: sebentar lagi lewat kereta malam
(AGS Arya Dipayana, Rel dalam Kerlip Puisi)
Rel, Kereta Api, menara, arloji, merupakan manifestasi-manifestasi keunggulan di bidang teknologi. Ia sekaligus simbol bagi sebuah episode yang dikenal dengan sebuta revolusi industri. Puisi Rel menunjukkan bagaimana kuasa teknologi sebagai suatu kekuatan dahsyat dan tak terbendung. Kuasa tersebut menembus hampir seluruh dimensi kehidupan manusia-manusia urban.
Para pelaku aktif dinamika kota adalah individu-individu yang melekat dalam kerpibadiannya suatu perasaan cemas, tergesa, dan panik; perasaan-perasaan yang akhirnya menjadi alasan bagi seseorang untuk mengambil sikap baik sebagai seorang kompromistis, oportunis, atau bahkan pemberontak (sekadar perbandingan perlawanan subyek atas kuasa teknologi dapat dilihat dalam sebuah film klasik besutan Charlie Chaplin, Modern Times). Puisi Rel mendapat penegasannya dari puisi Nurdin Ahmad Zaki berikut:
Di kota kami tinggal, detak jam dinding seperti pisau tajam yang siap
membunuh kami …
kami selalu mencoba mendahului detak jam dinding agar langkah kami lebih
cepat dari detak itu sendiri …
buktinya setiap hari tubuh kami terpotong oleh detak jam dinding kami
sendiri …
setiap hari kami semakin mengecil … dan semakin mengecil …
Mungkin dari kami ada yang sudah terbiasa dengan irisan-irisan itu …
Sehingga kami lupa betapa semakin kerdilanya tubuh-tubuh kami …
(Nurdin Ahmad Zaki, Di kota ini Orang Begitu Takut Mendengar Detak Jam Dinding … dalam Kerlip Puisi)
Teknologi dan industrialisai, pendukung utama realitas urban sebagaimana perwujudannya dapat kita simak pada mal, kafe, baliho, furniture, perangkat digital, bentuk-bentuk arsitektur dan sejenisnya itu, mencipta individu-individu serupa “irisan-irisan” yang mengalami disintegrasi sosial, sibuk dengan dirinya sendiri, dan menjadi asing satu sama lain. Secara sosial politik orang menjadi apatis dan permisif; dari segi spiritual realitas perkotaan cenderung melahirkan apa yang disebutkan puisi Sketsa 1sebagai “Doa-doa lupa lafaznya” atau “semacam ritual tanpa sesaji” (Zabidi Zay Lawanglangit, Tirakat 26 dalam Sajak-sajak Tirakat). Segala bentuk peribadatan kehilangan sukmanya.
Modernitas yang ditandai oleh capaian-capaian mengagumkan di bidang teknologi dan menggejala dalam lingkup perkotaan berjalan beriringan dengan apa yang disebut sekularisasi yakni proses pemisahan sistematis antara yang sakral dan yang profan. Nilai-nilai ilahiah dikesankan sebagai terpisah tajam dari semesta yang profan. Nilai-nilai tersebut didesakkan dan dilokalisir semata sebagai perkara privat dan disingkirkan perannya dari ruang publik. Sekularisasi dalam diskursus ilmu politik mutakhir dapat diringkas lewat kalimat simbolik ini: “di Majelis Permusyawaratan Rakyat tak ada Majelis Taklim.”
Berhadap-hadapan dengan kultur urban yang agresif dan sekuler itu pertanyaannya apakah yang sakral sudah benar-benar tumpas? Apakah laku penziarahan juga ikut tersingkir? Apakah benar-benar kreatifitas sudah mati?
Membaca puisi-puisi dalam dua buku ini jelaslah bahwa yang sakral dan penziarahan kreatif ternyata tak pernah benar-benar punah meski pesona yang dipancarkan yang sakral kini telah mengalami kemerosotan. Ia hanya dapat ditelusuri sebagai jejak sebagaimana tercermin dari puisi //ini jejak siapa?/masih tertinggal di meja/malam telah ngelindur/dan huruf huruf pun tertidur//. (Zabidi Zay Lawanglangit, Tirakat 47 dalam Sajak-sajak Tirakat); sebagai bayangan //Dalamg dingin membayang wajah-Mu/diam di antara setumpuk doa/yang tak sempat kau tatap// (AGS Arya Dipayana, Dalam Dingin dalam Kerlip Puisi), sebagai tanda yang selalu menuntut untuk dibaca seperti tercermin dalam puisi berikut.
: kopi dalam cangkir merah
dengan gaun warna merah
dan aroma panas wangi merekah
kucecap deras arus rindu
mengalir dalam kesyahduan zikir
kepasrahan menyatu
antara aku, cangkir dan dirimu
kutenggak perjalanan panjangmu
yang mengalirkan ribuan kisah
lalu sayup kudengar bibirmu berucap “bacalah.”
(Zabidi Zay Lawanglangit, Tirakat 31 dalam Sajak-sajak Tirakat)
Pertanyaan besar yang relevan dengan konteks hegemoni realitas urban seperti telah dipaparkan di atas siapakah ia yang dengan kemampuan dan tindakan biasa-biasa saja tapi berpotensi melahirkan sesuatu yang luar biasa dalam artian bisa memberi harapan akan adanya kabar penyelamatan dan pembebasan dari kerangkeng kultur urban? Boleh jadi ia adalah sesosok perempuan.
Mengapa perempuan? Dalam kultur urban yang didominasi seruan-seruan tegas kapitalisme pada laku kehidupan hedonis perempuan ialah sosok yang ditempatkan sebagai berperan mendua dan karenanya ia penuh rahasia; ia korban tapi pada saat bersamaan ia dapat bertukar rupa menjadi “jagoan” sebagaimana terbaca dari puisi berikut.
Perempuan itu bernama rahasia
Tangannya menganyam harapan dengan diam-diam
Dilipatnya risau di antara keranjang dan sepeda
Lalu selarik doa dibiarkannya kuncup di sudut keningnya
ada yang menetap dari tempat ke tempat, dari penat ke penat
sepasang mata kecil yang selalu mengiringinya
tatkala terpejam dan terjaga, di ranjang atau di beranda
Seperti sebuah nyala lentera, ia bersemayam di hatinya
perempuan itu bernama rahasia
di antara rintik hujan dan debu jalan
dilipatnya rindu pada larik-larik doa di gerai rambut hitamnya
yang makin nyaring bergema, bersama angin dan derai cemara
(Zabidi Zay Lawanglangit, Tirakat 61 dalam Sajak-sajak Tirakat).
Kendati puisi-puisi dalam kedua buku ini baik bentuk maupun isi pada derajat tertentu dapat dengan mudah kita jumpai padanannya pada khazanah perpuisian Indonesia pada zaman dahulu kala (pada puisi-puisi J.E Tatengkeng, Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Umbu Landu Paranggi, Sutardji Calzoum Bachri, Ayip Rosidi, dan lainnya) tapi keistimewaan dari puisi-puisi kreasi Sastra Reboan terletak justru pada pelaku-pelaku Sastra Reboan yang nota bene adalah agen-agen aktif dari denyut realitas perkotaan.
Mereka, para pelaku itu, memiliki keberanian dan kejujuran mencatat segala hal yang terasa, terlihat, teraba, dan tercium dari lingkungan di sekitarnya. Aktor-aktor ini adalah kenyataan yang mungkin terdengar asing oleh para penyair Indonesia generasi zaman dahulu kala itu. Inilah kekhasan dari puisi-puisi generasi Sastra Reboan.
Saya menduga mengingat betapa puisi-puisi dalam kedua buku pekat dengan nuansa kerinduan kolektif pada penziarahan batin di tengah-tengah lingkungan sosial yang bising dan anti kesunyian itu, tagline Sastra Reboan “banyak pintu menuju sastra” boleh jadi aslinya adalah “banyak pintu menuju surga.” Serupa Stairway(s) to Heaven dari Led Zeppelin
Komentar
Posting Komentar