Musik rock telah menjadi bagian dari keseharian. Musik rock dihadirkan dalam rupa iklan komersial, soundtrack film, hingga kampanye-kampanye politik. Kebisingan, semangat, dan warna-warni asesoris yang dikenakan musisi rock telah menjadi bentuk-bentuk kesenangan dan hiburan baru bagi khalayak dari berbagai kelas sosial. Di samping itu musik rock juga kerap diintegrasikan dalam peristiwa-peristiwa besar bernuansa politis. Baca selengkapnya
Pelibatan musik rock dalam rangkaian acara-acara politik misalnya untuk menyebut beberapa tampak dalam event sehari sebelum pelantikan Obama sebagai presiden Amerika Serikat digelar konser musik yang menghadirkan Bono (vokalis U2), Stevie Wonder dan lainnya; penutupan Piala Dunia di Beijing China menampilkan ikon bintang pop Inggris Leona Lewis dan jadi ajang unjuk kepiawaian Jimmy Page bermain gitar (gitaris Led Zeppelin).
Sementara itu negarawan-negarawan besar dunia banyak yang menggilai musik rock. Mendiang Hávlac Havel, mantan presiden Republik Ceko, mungkin layak dicatat di sini. Selain sebagai seorang seniman Havel adalah kawan dekat musisi-musisi rock legendaris seperti Lou Reed mantan pentolan Velvet Underground, Mick Jagger, Frank Jappa, mendiang Michael Jackson hingga Madonna. Tak hanya Havel, Abdurrahman Wahid, di samping piawai membaca "kitab kuning" dan penggemar berat Vina Vanduwinata adalah juga pengagum lagu-lagu Janis Joplin dan Guns N Roses.
Mengingat musik rock sering diidentikkan dengan aksi hura-hura, urakan, dan ingar-bingar mengapa justru musik rock justeru menjadi elemen penting dalam konteks komunikasi politik? Mengapa rock demikian cepat bertransformasi menjadi bentuk paling vital dari kebudayaan populer?
Jawabnya, seperti disebutkan Simon Frith pelopor bidang kajian sosiologi rock, karena rock mengungkapkan perjuangan terkait kedudukannya selain sebagai bentuk penyadaran-diri dan pembebasan individual juga sebagai sumber solidaritas atas rangkaian kekecewaan-kekecewaan yang bersifat aktif dan massif.
Sementara itu Peter Wicke (1993), menegaskan bahwa proses perekaman lagu-lagu rock bukan obyek-obyek yang terasing dari anasir-anasir sosial-budaya sekitarnya; ekspresi rock merupakan simtom-simtom perluasan kultural yang memperlihatkan dirinya berbanding lurus situasi sosial-politik aktual, berhubungan erat dengan lingkungan tertentu dari para pengagumnya. Dengan kata lain, musik rock bukan obyek kenikmatan kontemplatif atas 'seni' yang terpisah dari kehidupan sehari-hari; lagu-lagu rock sekaligus juga bukan subyek bagi kontemplasi (permenungan).
Kebaruan dari musik rock, jika ditinjau dari awal kemunculannya pada akhir 1940-an, terlihat dari hubungannya dengan perangkat komunikasi massa seperti studio rekaman, radio, televisi, juga film. Implikasinya musik rock menempatkan aspek estetis dan hakikat musiknya pada peranan besar teknologi dalam rangka menghasilkan sound yang memikat setelah dipadukan dengan rhythm sebagai komponen inti.
Lagu-lagu rock sendiri adalah teks-teks kultural dalam bahasa profan yang tertuang dalam "gesture, aneka citra, suara, dan ide mutakhir yang dikaitkan dengan unsur-unsur yang dipandang mengecewakan dari hidup keseharian demi apa yang disebut sebagai "'peristiwa-peristiwa tanpa prestise'".
Terkait industri, musisi-musisi rock kerap menempatkan dirinya bukan sebagai pihak yang mau diperlakukan layaknya jongos bagi para pembesar pemilik kapital. Sebaliknya musisi-musisi rock memosisikan dirinya sebagai negosiator-negosiator handal.
1965 grup musik The Who yang diarsiteki Pete Townshend menelurkan tembang My Generation. My Generation menjadi semboyan kawula muda masa itu yang menisbahkan dirinya dengan sebutan The Mods berikut kecenderungan sub-kulturnya. The Mods bersama-sama Teddy Boys, Rockers, Crombies, Punk, dan Skinheads berupaya menjadi benteng pertahanan para pemuja rock dalam kemelut merobohkan tatanan sosial yang disokong ideologi borjuis.
Meski demikian, seniman rock, yang kebanyakan justru berlatar belakang "petit bourgeois" (borjuis kecil) itu nyatanya tak menelan bulat-bulat pengalaman para audiensnya. Mereka terlebih dulu melakukan penyaringan, penyesuaian-penyesuaian dengan sudut pandang sosial politik dan karakter artistik yang dianut masing-masing musisi.
Sebagai ilustrasi jalanan kota-kota besar di Eropa dan Amerika era ahir 1960-an hingga awal 1970-an tak dapat dilepaskan dari pelbagai gerakan yang didukung antara lain oleh gugus pemikiran dari misalnya Frantz Fanon, Malcolm X, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Herbert Marcuse yang kemudian meledak menjadi suatu gerakan revolusioner kaum muda di bawah panji Kiri Baru berikut semboyan-semboyan budaya-tandingan seperti Generasi Bunga, Baby Boomers, Make Love Not War! Hippies hingga revolusi seks.
Dari konteks sosio-politik tersebut lahirlah karya-karya cemerlang seperti Sgt Pepper's Lonely Hearts Club Brand, Revolution, (Beatles); Street Fighting Man, Gimme Shelter (Rolling Stones); A Saucerful of Secrets (Pink Floyd); Me and Bobby McGee (Janis Joplin); eksperimen-eksperimen Jimi Hendrix; lagu-lagu Jim Morrison, Bob Dylan, hingga John Lennon dan Yoko Ono yang pada 1972 mengeluarkan album Sometime in New York City.
Terhadap fenomena di muka Simon Frith berpandangan bahwa rock sejak itu bertansformasi menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar pop, dan lebih dari sekedar rock n roll. Musisi-musisi rock mengombinasikan kemampuan dan teknik bermusik dengan konsep seni romantis yang bertumpu pada pengungkapan individual, original, genuine dan tanpa hasrat memerkaya diri secara membabi-buta. (Khudori Husnan)
Komentar
Posting Komentar