KRISIS HIDUP BERBANGSA DAN KRISIS CARA BERPIKIR KITA, MERENUNG BERSAMA HUSSERL DAN HEIDEGGER (Bag. II)
Namun demikian, dalam perspektif Husserl dan Heidegger, persis dalam hal sistem-metodologis itulah terletak akar permasalahannya. Dalam hal sistem cara-pandang metodologis itulah bermukim asal-usul (genesis) dari segala krisis yang mendera kehidupan manusia (bangsa-bangsa) modern. Dalam konteks pemahaman Husserl-Heidegger, konsep ‚sistem‘ terkait erat dengan kata ‚modern‘. Kata ‚modern‘ yang secara harfiah berarti bentuk-baru/kebaruan (modere), ternyata bermakna lebih dari sekadar kata-kata, sebab di dalam kata tersebut termuat suatu cara-pandang yang khas atas manusia dan dunia. Cara-pandang tersebut ternyata juga tidak tinggal sekadar sebagai sebuah cara-pandang, sebab di dalam cara-pandang tersebut bermukim gagasan atau bahkan program politik-kebudayaan tertentu yang perlahan-lahan mengeras menjadi sebuah pola pemahaman yang baku (ideologi). Baca Selengkapnya
Cara pandang baru itu muncul sebagai sebuah reaksidan resistensi terhadap cara pandang sebelumnya. Jika sejak abad ke 4 SM, lewat pemikir seperti Thales, Heraklit, Parmenides, Platon, Aristoteles hingga Zeno dan Cicero alam (Kosmos) menjadi horizon terjauh yang melingkupi pemahaman manusia, maka sejak abad ke 2 M hingga abad ke 14 M kita melihat bagaimana alam diatasi oleh Tuhan monoteistik (Theos) sebagai horizon pemahaman manusia yang terjauh-tertinggi. Tentu Tuhan di sini dipahami dalam pengertiannya yang tunggal-Satu-personal menurut tradisi agama-agama Timur, khususnya Timur Tengah seperti Persia (agama Zoroaster) dan Ibrani (Allah Yahwe).
Setelah berasimilasi sedemikian rupa dengan kebudayaan Yunani-Hellenistik dan agama wahyu yang baru (lewat sosok Isa/Yesus), maka gerakan religius yang sebenarnya eklektik itu menjelma menjadi Kekristenan dan menemukan kekuatannya dalam pemikiran Teosentris yang melingkupi peradaban Barat selama lebih dari 1500 tahun. Terhadap dominasi cara pandang (cara berpikir) teosentris inilah muncul gerakan pembaharuan baru yang menamakan diri sebagaimoderna. Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, gerakan ini melakukan terobosan-terobosan di sana-sini khususnya dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan alam. Para modernis seperti Francis Bacon, Berkeley, Descartes, dan Hume untuk menyebut beberapa, mereka menolak segala otoritas yang tidak berasal dari daya nalar/akal (ratio) manusia (antropos).
Dengan membanting arah kemudi filsafat-pemikiran ke sosok manusia sebagai manusia itu sendiri lepas dari muatan dogma religius-mitologis, para modernis telah berhasil membersihkan diri manusia dan dunia dari beban teologis-religius yang tidak perlu dan berlebihan.Membebaskan manusia (liberté, liberation) dari kungkungan daya-daya irasional (mitologis dan religius) yang tidak membawa kemajuan apapun bagi umat manusia, inilah program utama Modernisme. Sejak itulah dimulai cerita tentang Modernisme dan modernisasi yang berpusat pada gagasan tentang manusia yang bebas (the idea of freedom) dan rasional sebagai porosnya (cara pandang antroposentris).
Dengan manusia sebagai titik tolak segalanya (titik Archimedes), maka dunia dan alam bergeser statusnya dari yang awalnya sakral menjadi objek-objek yang dapat dipahami, ditaklukkan, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh manusia. Manusia memahami, menaklukkan, menguasai, dan memanfaatkan segala sesuatu bukan dengan lamunan ataupun imannya, melainkan dengan Ratio atau daya nalarnya. Daya nalar atau Ratio itu sendiri selalu bekerja secara metodologis dengan melakukan observasi, examinasi, efisiensi, dan justifikasi terus-meneurs. Singkatnya ratio bekerja dengan melakukansistematisasi. Lebih dari itu, keampuhan sistematisasi serta metodologisasi ini menemukan efektivitas atau daya gebraknya di dalam hal-hal praktis, mulai dari pengobatan medis, ilmu-ilmu alam, sampai ke soal pengelolaan perilaku tamak-rakus manusia sebagai homo economicus dalam ilmu-ilmu ekonomi. Dengan demikian, sejak Rasionalisme dan Zaman Pencerahan (Aufklärung) objektivitas metode dan validitas-netralitas sistem menjadi kata kunci keramat bagi seluruh aktivitas manusia, mulai dari hal-hal teoretis-akademis, sampai ke hal-hal praktis sehari-hari.
Namun demikian, apa yang mulanya adalah cerita mulia tentangoptimisme manusia di bawah panji kebebasan dan rasionalitas, ternyata dengan begitu mudahnya tergelincir terpelanting menjadi cerita suram tentang pesimisme serta kedegilan manusia di bawah bayang-bayang ketamakan dan irasionalitas. Gagasan mulia tentang kemajuan umat manusia yang rasional-individual ternyata begitu rapuhnya menjelma menjadi horror bencana-bencana kemanusiaan. Fakta sejarah bahwa manusia harus melewati dua perang dunia yang dibayar mahal dengan darah dan air mata puluhan juta manusia, fakta bahwa manusia terus-menerus kembali tenggelam dalam bencana-bencana ekonomi, politik, dan teknologi hasil eksperimennya sendiri, semua fakta ini memaksa manusia untuk mempertanyakan kembali dasar dari cara-pandang dan cara-beradanya selama ini.
Segala dampak mengerikan yang muncul dari proses modernisasi dengan sendirinya membuat orang melihat bahwa modernisasi itu sendiri pada dirinya problematis. Artinya, bersamaan dengan gerak waktu manusia mulai melihat bahwa cara-pandang modern itu pada dirinya sendiri mengandung problem dasar yang menjadi bagian dari cara kerjanya dan belum terpecahkan. Beberapa pemikir di dalam Modernisme sendiri sebenarnya telah menyadari adanya problem dasar yang bermukim di dalam tubuh modernisme-Pencerahan.
Pemikir-penulis seperti misalnya Blaise Pascal, Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, dan Friedrich Hölderlin telah sejak awal sebenarnya mencium aroma bencana di dalam tubuh Modernisme dan proses modernisasi yang diluncurkannya. Tetapi diagnosa, kritik, dan gugatan paling mendalam-mendasar terhadap cara-pandang modern baru sungguh-sungguh tampil dengan munculnya gerakan fenomenologi di Jerman, khususnya lewat dua pendirinya, yaitu Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Karena alasan ini pula maka dalam perdebatan akademis-intelektual maupun perdebatan politik praktis di Jerman-Prancis (dua negara di mana filsafat betul-betul berkembang dan sangat dihargai), Husserl dan Heidegger dianggap sebagai pintu gerbang yang untuk pertama kalinya membuka jalan ke arah postmodernisme(pasca-modernisme).
Dua orang tersebut, Husserl dan Heidegger, bukan saja guru dan murid, namun juga bersahabat dekat satu sama lain. Bahkan keduanya sering menghabiskan waktu berbincang-bincang di kebun rumah Husserl yang sederhana itu di Freiburg. Keduanya bukan hanya orang yang sama-sama akrab-betah dengan kesendirian, melainkan lebih dari itu, keduanya mengalami langsung brutalnya dampak mentalitas dunia modern di dalam Perang Dunia I. Dari krisis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, Husserl dan Heidegger mencoba menyelam lebih dalam, merenung lebih intens, menerobos masuk ke dalam akar dari krisis tersebut yang rupanya tidak berasal dari dunia sehari-hari itu sendiri, melainkan dari suatu ideyang telah merasuk-mengendap ke dalam cara-pandang dan cara-berpikirsetiap orang sehari-harinya sehingga tidak lagi dipertanyakan.
Dan persis itu jugalah yang membedakan filsuf-pemikir dengan orang-orang lainnya, yaitu: kemampuan untuk menyelam lebih dalam ke dasar terdalam yang diandaikan oleh setiap tindakan kita sehari-hari namun tak lagi dipersoalkan, kemampuan untuk naik lebih tinggi ke tingkat permenungan yang lebih menukik tajam, lebih abstrak-kontemplatif tetapi juga lebih menyeluruh. Di ketinggian permenungan yang lebih kontemplatif itu si filsuf-pemikir dapat melihat bentang cakrawala yang lebih luas menyeluruh yang tidak lagi terlihat oleh orang-orang lain yang sibuk kisruh di dataran lebih rendah. Walaupun di puncak permenungan itu si filsuf-pemikir akan lebih terisolasi sendiri dalam sepi sunyi yang dingin jauh dari persentuhan hangat manusia-manusia lain. Inilah juga yang terjadi dengan para pemikir soliter seperti Husserl, Heidegger, atau sebelumnya Kant, Hegel, Goethe, Hölderlin, Nietzsche, Stefan George ataupun Voltaire, Rousseau dan bahkan Marx.
Dalam permenungan kontemplatif Husserl, proses modernisasi membawa bersamanya paradoks yang memang menjadi bagian dari cara kerjanya yang mendasar. Di satu sisi laju modernisasi membawa segala bentuk baru kemajuan dan kemudahan-manfaat praktis yang terus berkembang bersama dengan semakin lajunya gerak teknologisasi, praktikalisasi, dan ekonomisasi di semua bidang. Di sisi lain, gerak laju modernisasi yang sama mencerabut-mengasingkan manusia dari akar/dasar (archē) eksistensialnya yang paling mendasar di dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt) sebagai ruang ontologis-fundamental yang di dalamnya dunia dihayati serta dimaknai secara langsung (immediate) dan eksistensial. Dengan kata lain, manusia dari dalam dirinya sendiri memang membutuhkan sistematisasi-skematisasi-abstraksi-efisiensi yang termuat dalam gerak modernisasi itu. Tetapi manusia kemudian menjadi tergantung padanya, begitu tergantungnya sampai akhirnya ia sepenuhnya terkungkung-terkendalikan tanpa-daya oleh sistem/skema yang dibuatnya sendiri. Ketergantungan pada artifisialitas teknis yang dihasilkan dunia modern inilah yang menjadi asal-usul segala disorientasi dan krisis manusia (bangsa-bangsa) modern. Dengan kata lain, apa yang pada mulanya adalah suatu cara-pandang yang spesifik-partikular tentang dunia ternyata justru bermetamorfosis menjelma menjadi dunia/realitas tersendiri yang menyeluruh-universal, dengan nafas serta ruhnya sendiri yang tidak lagi dapat dikendalikan oleh si manusia yang melahirkannya.
Sistem/skema/abstraksi selalu sifanya artifisial, dalam pengertian ia merupakan hasil rekayasa teknis-metodologis (poiesis / art) manusia dalam memahami-menata dunia. Sistem itu kini tidak lagi tinggal sebagai sistem yang teknis-metodologis, melainkan telah hidup bernafas menjadi dunia-kehidupan itu sendiri. Cara kerja teknis-praktis modernitas telah membenamkan manusia ke dalam sistem itu, dan kemudian membuatnyaabai atau lupa akan dunia-kehidupan (Lebenswelt) tempat segala sistem dan metodologisasi itu awalnya berasal. Manusia lupa bahwa sistem itu adalah sistem dan bukannya hidup itu sendiri, sebagaimana manusia lupa bahwa fiksi itu adalah fiksi dan bukan kebenaran itu sendiri. Sistem yang membadan-menubuh menjadi dunia-kehidupan, dan fiksi yang mewujud menjadi kebenaran itu sendiri, inilah cerita tentang pelupaan manusia akan diri dan dunianya sendiri, pelupaan yang menariknya keluar dari dirinya sendiri, gamang-rabun akan eksistensinya, dan jatuh ke dalam disorientasi atau krisis.
Maka bersama dengan Husserl kita dapat mengatakan bahwa krisisitu berakar dari kesalah-pahaman kategoris (kategorien MiĂźdeutung) dalam membedakan antara: 1) apa yang sungguh-sungguh mendasar (grundlich), dan 2) apa yang sekadar konstruksi (Gebilde) rekayasa teknis-sistematis-artifisial yang dibangun di atas dasar itu. Bersama dengan semakin canggih, efisien, dan praktisnya cara kerja dunia modern, ternyata manusia bukannya semakin canggih dalam melihat persoalan, melainkan justru mengalami pendangkalan-penyempitan cara-pandang dalam melihat diri serta dunianya.
Pendangkalan-penyempitan cara-pandang ini pada gilirannya menjadi rantai ketergantungan yang melumpuhkan cara-berpikirnya. Cara berpikir manusia modern sendiri telah terjerembab tak lagi mampu keluar dari horizon teknis-sistematis-artifisial yang diciptakannya sendiri. Cara berpikir modern tidak lagi mampu melihat perbedaan ontologis (ontologische Differenz) antara apa yang mendasar dan apa yang merupakan turunannya. Cara berpikir modern merancukan/mengaburkan (MiĂźdeuten) batas ontologis-fundamental antara: 1) dunia-kehidupan itu sendiri, dan 2) pengetahuan/cara-pandangkita yang tertentu tentang dunia-kehidupan itu. Maka jelas bahwa dalam perspektif fenomenologi, segala krisis yang menghantam-mendesak manusia (juga bangsa-bangsa) modern memiliki akar/asal-usulnya di dalam krisiscara berpikir kita yang tidak lagi mampu melihat mana yang sungguhmendasar dan mana yang sekunder, mana yang sungguh benar/baik dan mana yang sekadar fiksi/rekayasa. Rancunya cara-berpikir manusia modern ini membuatnya tidak lagi dapat berefleksi serta bersikap seharusnya di hadapan tuntutan untuk mengambil keputusan dan bertanggungjawab. Fiksi tentang netralitas-objektivitas metode ilmu-ilmu modern telah melumpuhkan kapasitas manusia dalam mengambil tanggungjawab di hadapan segala persoalan kemanusiaan.
Bertolak dari keprihatinan dan kesadaran akan krisis cara-berpikir inilah fenomenologi Husserl kemudian terus-menerus menekankan apa yang disebutnya sebagai „cara-melihat yang selalu kembali kepada hal-hal/sesuatu itu sendiri“ (zuruck zu den Sachen Selbst / back to the things themselves). Cara-melihat fenomenologis ini bukanlah suatu mantra mistik yang mau membawa kita ke dunia lain, juga bukan sekadar jargon teoretis-akademik yang hanya didiskusikan oleh para profesor. Sama sekali bukan itu.
Cara-melihat fenomenologis ini justru mau menerobos keterbatasancara-pandang dan cara-berpikir kita manusia biasa yang telah dibuat rabun-gamang oleh segala kemudahan, kesiapsediaan, dan praktikalitas dunia modern. Cara melihat fenomenologis ini pertama-tama mau membawa orang kembali ke dasar (Grund) hidupnya yang eksistensial-fundamental. Di dalam tingkat penghayatan-pemaknaan hidup yang eksistensial-fundamental itu manusia melihat apa yang sesungguhnya ada, dan membebaskan penglihatannya dari bingkai konstruksi/sistematisasi artifisial atas apa yang ada itu. Atas dasar konteks krisis cara berpikir manusia modern inilah kita bisa memahami mengapa Husserl menyebut fenomenologi sebagai „filsafat dari dasar“ (philosophie von Unten).
Fenomenologi mau mengajak manusia untuk sesaat memalingkan pandangan dari kecanggihan-kompleksitas dunia modern sehari-hari kedasar paling mendasar yang telah dilupakannya, yaitu: makna dirinya yang ontologis-eksistensial, makna yang diperolehnya dari kesadaran akan horizon ketidakterbatasan dunia-kehidupan, makna yang diperoleh dari kemampuannya untuk berefleksi/berpikir (Besinnung) sertamemutuskan/menegaskan keputusan di hadapan ketidakterbatasan pilihan hidupnya.
Dalam konteks krisis cara-berpikir manusia modern ini juga kita dapat memahami apa yang dimaksud oleh Martin Heidegger dengan „cara-melihat yang melepaskan/membiarkan segala sesuatu ada sebagaimana adanya“ (Gelassenheit / Releasement). Kata Jerman lassen yang berarti ‚membiarkan/melepas‘ itu menjadi terdengar lebih kuat maknanya jika kita hadapkan dengan kata Jerman lainnya yaitu be-griffen, atau menggapai/merengkuh. Menggapai/merengkuh (Begriff) dalam bahasa Jerman juga berarti Konsep. Sifat-dasar dari setiap konsep adalah merengkuh atau membatasi realitas sehingga kita bisa memahaminya. Tanpa perengkuhan dan pembatasan itu kita tidak mungkin memahami apapun atau bahkan tidak mungkin berbahasa.
Konsep yang merengkuh dan membatasi itu adalah awal dari segala upaya kita untuk menjinakkan dan memanfaatkan realitas. Tetapi penekanan akan awal dari sesuatu tidak serta merta menjadikan yang awal itu sebagai segala-galanya. Konsep yang rasional-definitif itu tidak lain adalah satu dari sekian banyak kemungkinancara-berada dan cara-berpikir kita sebagai manusia. Modernisasi, yang berarti juga rasionalisasi-sistematisasi atas segala sesuatu kemudian memberikan preferensi khusus pada satu cara-pandang yang spesifik itu, dan kemudian memutlakkannya sebagai satu-satunya cara-pandang. Pada titik ini, apa yang pada mulanya rasional-sistematis, dengan proses rasionalisasi-sistematisasi terus-menerus yang tanpa-batas, ia kemudian menjadi sesuatu yang justru tidak lagi rasional-sistematis (irrasional danchaotic). Apa yang pada mulanya adalah satu/sebuah pilihan bebas manusia, yaitu pilihan untuk menata diri-dunianya secara teknis-rasional-sistematis, kini justru memasung mengerdilkan pilihan manusia hanya ke dalam satu cara-berada yang telah menunggalkan diri itu. Kita misalnya tidak lagi memilih apakah sebaiknya kita menggunakan telpon genggam atau tidak. (Bagian III Akhir)
Komentar
Posting Komentar