Langsung ke konten utama

KRISIS HIDUP BERBANGSA DAN KRISIS CARA BERPIKIR KITA, MERENUNG BERSAMA HUSSERL DAN HEIDEGGER (Bag. I)

Oleh: Ito Prajna-Nugroho (Pergerakan Kebangsaan)
Cobalah perhatikan arus informasi di media-media massa akhir-akhir ini. Segera kita dengar dan lihat berita tentang saling gebuk, saling injak, saling seruduk, saling memaki, saling makan di antara sesama orang yang sebetulnya disatukan oleh ikatan politik-spiritual yang sama: Nusantara (yang di zaman modern menjadi Republik Indonesia). Tetapi orang boleh-boleh saja meragukan kredibilitas media, sebab media massa tidak lain dari re-presentasi atau upaya menghadirkan kembali fakta-fakta yang sudah terjadi.Baca Selengkapnya
Pemberitaan media selalu telah merupakan penafsiran (interpretasi) atas fakta. Jika demikian halnya, maka amatilah saja baik-baik relasi antar-manusia di sekililing kita. Dari hubungan pribadi ataupun profesional, perilaku orang di jalan-jalan raya, terminal, stasiun dan di pasar-pasar, hingga ke tingkat politik nasional, kita segera akan menemukan gejala yang sama: saling gebuk, saling injak, saling seruduk, saling memaki, dan saling makan.
Kalau mau dirumuskan dengan singkat, semua gejala itu tidak lain dari hasrat saling mendestruksi diri. Padahal, seseorang yang punya kecenderungan untuk mendestruksi dirinya sendiri dan diri orang lain secara psikologis adalah orang yang jiwanya sakit (orang sakit jiwa). Suatu bangsa (Nation) yang digerakkan oleh gerak kesadaran-jiwa manusia-manusia di dalamnya secara mendasar juga merupakan sebuah entitas/satuan spiritual yang ber-jiwa. Suatu bangsa yang hampir di setiap penjurunya sehari-hari hanya ribut kisruh saling gebuk saling membinasakan tidak lain adalah bangsa dengan jiwa yang sakit (bangsa sakit jiwa).

Dalam istilah filsafat politik, manusia-manusia yang hidup bersama di dalam sebuah komunitas politik (polis) yang bersifat publik (res-publica) itu disebut sebagai warga negara (citizen / citoyens: warga dari sebuah cité atau polis). Istilah polis, cité, dan warga dalam arti asalinya yang muncul di Zaman Yunani Klasik sekitar abad ke-5 SM sebetulnya memuat satu konsep penting, yaitu: kesadaran untuk saling merawat-menata-memperhatikan di antara manusia-manusia yang terlibat. Maka konsep politik dan kewargaan sebenarnya telah selalu memuat di dalamnya sebuah pengertian dasar yang penting, yaitu: merawat jiwa ( tēs psukhēs épimeleisthai / caring for the soul, lih. Platon di dalam buku Phaedo dan Politeia). Jiwa (psukhē / anima / soul, spirit / l‘ame) oleh Platon dipahami sebagai gerak yang menggerakkan dirinya sendiri (auto-kineton).
Sebagai gerak, jiwa bergerak karena hasrat hidup (Eros) yang selalu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Hasrat hidup atau eros itu adalah kapasitas internal yang terdapat dalam diri setiap orang. Sebagai sebuah gerak jiwa itu menentukan bukan saja pilihan pribadi masing-masing orang, tetapi gerak jiwa itu jugalah yang mendasari terciptanya tatanan ruang publik-politik. Inilah sebabnya mengapa kata bangsa / nation selalu memuat artinya yang bersifat spiritual. Para founding-fathers bangsa kita di awal kemerdekaan menyadari betul pentingnya dimensi kesadaran kolektif-spiritual dari katabangsa itu.
PANCASILA muncul antara lain sebagai upaya untuk menegaskan kembali ikatan spiritual bangsa Indonesia yang secara historis sebenarnya telah terbentuk sejak berabad-abad lalu.  Penegasan(Behauptung) adalah sebuah pengingatan (Andenken) atau upaya untuk mengingat kembali, sebuah upaya untuk kembali menyatukan-diri (re-member). Yang mau ditegaskan, diingat, disatukan kembali adalah dasar(Grund) yang memungkinkan masing-masing kita bisa hidup, berpikir, bersuara, bekerja dan terlibat sebagai warga di dalam komunitas politik yang khas, dalam hal ini adalah Indonesia. Tetapi, setiap penegasan dan pengingatan memang akan selalu dibayang-bayangi oleh kemungkinanpelupaan (Vergessenheit / forgetfulness) dan ketidakpedulian. Hanya jika manusia bisa melupakan, maka ia bisa mengingat. Demikian juga setiap ingatan selalu dibangun di atas dasar pelupaan.
Bersama dengan gerak arus waktu, juga dengan segala kenikmatan, kemewahan, kecanggihan teknologi serta kedangkalan yang ditawarkan dunia modern, masing-masing dari kita perlahan mulai lupa/melupakan dasar yang mendefinisikan kita sebagai warga dari suatu bangsa. Relasi di antara kita di dalam rumah bersama yang disebut Indonesia ini tidak lagi digerakkan oleh penegasan-diri atau pengingatan-diri (mawas diri) sebagai warga, tetapi lebih digerakkan oleh pelupaan-diri, pendangkalan-diri, dan destruksi-diri.
Bukan upaya untuk saling merawat dan saling menjaga yang ada dalam kesadaran kewargaan kita sekarang, melainkan upaya untuk saling menyakiti-membenci dan saling mematikan. Dari warga polis (ruang hidup politik) yang sehat-jiwa entah cepat atau perlahan rupanya wargapolis Indonesia mulai bergeser terdegradasi ke tingkat warga polis yangsakit-jiwa. Bacalah koran apa saja, atau tontonlah berita-berita di saluran tv lokal, atau pergilah ke jalan-jalan raya di pusat kota atau bahkan panturapada jam-jam sibuk, maka kita akan segera berhadapan dengan patologi-patologi psikis-kolektif bangsa ini. Apa yang pada mulanya adalah hasrat untuk hidup (eros) berbangsa, sekarang rupanya telah mengalun perlahan berubah bentuk hasrat untuk mati (thanatos) sebagai bangsa.
Jika kita beralih sedikit ke situasi ekonomi, sosial, dan politik internasional, rupanya kita juga tidak mendapatkan penghiburan. Merangkaknya ekonomi Amerika Serikat, ekonomi Uni Eropa yang semakin dihinggapi ketidakpastian, ekonomi Cina yang ultra-agresif seolah tanpa batas, dengan tingkat jumlah penduduk dunia yang terus berlipat ganda setiap tahunnya, naiknya tingkat pengangguran usia produktif, dan tingkat kesediaan sumber daya alam yang makin langka, semuanya hampir bisa dipastikan cepat atau lambat akan mendesak-menghempas Indonesia. Siap atau tidak, dengan globalisasi yang secara bersamaan menyatukan sekaligus mengasingkan manusia satu sama lain, bangsa kita menghadapi deru-desak badai di depannya dengan daya rusak yang juga tidak terketahui pasti.
Situasi di mana manusia telah terdesak keluar dari normalitasnya (normalität) yang aman-nyaman dan dituntut untuk berhadap-hadapan dengan abnormalitas (abnormalität) yang asing-menggelisahkan, situasi inilah yang disebut dengan situasi batas (Grenzsituation). Dalam situasi-batas ini seluruh pendasaran hidup (Grund) yang sebelumnya diandaikan begitu saja sekarang menjadi tanpa-arti, dan manusia mendapati dirinyatanpa pegangan dan tanpa dasar (Ab-grund). Situasi-batas yang di dalamnya manusia tidak lagi merasa aman-nyaman, tetapi juga belum sepenuhnya terhempas di dalam pusat badai, inilah yang disebut dengansituasi krisis. Dalam pengertian asalinya di dalam bahasa Yunani, istilah krisis berasal dari kata kerja krinein (κρινειν) yang berarti memilah-milah, memutuskan, atau menegaskan suatu keputusan. Maka krisis tidak lain berarti saat untuk mengambil keputusan atau waktu untuk menegaskan diridi hadapan deru-desak badai yang segera menerjang.
Tetapi kapasitas/kemampuan/daya untuk menegaskan keputusan mengandaikan sebelumnya bahwa manusia (atau sebuah bangsa) mampu terlebih dahulu mendeteksi atau mengenali adanya krisis sebagai krisis. Artinya, situasi krisis justru menuntut orang untuk berpikir radikal dan bertindak di luar normalitas/kebiasaannya (über die Ausnahmezustand). Ini berarti orang harus terlebih dulu mampu mengenali problem di depan matanya, mampu melihat problem sebagai problem.
Mengikuti pola pikir filsuf-fenomenolog Jerman Martin Heidegger, tuntutan untuk mengambil keputusan di hadapan ekstremitas selalu berada di antara dua kutub: 1) keterlibatan/keterjangkaran pada problem-dasar (Grundprobleme) yang melingkupi situasi eksistensial manusia, 2) keterarahan pada cakrawala kemungkinan yang tidak terbatas. Yang pertama memungkinkan manusia untuk selalu mempertanyakan, menggugat, dan mendefiniskan kembalicara beradanya yang secara mendasar bersifat kontingen/boleh-jadi/tidak pasti. Yang kedua memungkinkan manusia untuk mampu mengambil tanggung-jawab atas diri, sesama, dan dunianya, memungkinkan manusia untuk berani menanggung beban masa depan yang tidak diketahuinya, termasuk kematiannya sendiri. Dalam arti ini, manusia yang tidak dapat memutuskan dan menegaskan diri di hadapan krisis adalah manusia yang tidak mampu mengenali problem sebagai problem, sekaligus juga manusia yang selalu cemas-takut dengan dirinya sendiri yang terekspose di hadapan kemungkinan masa depan yang tidak-terbatas tidak-menentu.
Manusia seperti ini adalah manusia yang tidak otentik, manusia inferior yang selalu terus-menerus berusaha lari dari dirinya sendiri, dan lari dari problem-dasar yang dihadapi dirinya. Deskripsi untuk manusia ini juga berlaku sejajar bagi bangsa sebagai entitas politik. Anehnya, di Indonesia, entah pejabat atau warganya, banyak yang tidak merasakan bahwa krisis itu ada. Kesadaran populer (khususnya kota-kota besar) justru merasa bahwa segala sesuatu baik-baik saja dan indah adanya, orang bisa berlenggang ke pusat-pusat perbelanjaan di akhir minggu, makan-minum tertawa-tawa beramai-ramai, membeli telpon genggam paling baru, dan para punggawa negarapun sibuk dengan urusan kesejahteraan keluarga-kerabat masing-masing seperti sekawanan saudagar-oligarkis yang dengan munafiknya menganggap diri ksatria-demokratis.
Seperti yang telah dikatakan oleh Martin Heidegger, dunia keseharian memang begitu membuai dan membuat kita nyaman, begitu nyamannya sehingga manusia dalam kenyamanan itu terasing dari dirinya sendiri dan kehilangan dirinya. Sampai akhirnya topan-badai itu telah terlihat jelas dari jendela rumah masing-masing, barulah semua orang kisruh ribut panik, saling menyalahkan, saling melempar tanggung jawab. Ekstremitas situasi yang seringkali niscaya itu memang selalu menelanjangi diri kita. Krisis selalu membuat keseharian yang normal itu menemui batasnya, tampak transparan, dan menjadi ab-normal. Dalam bahasa fenomenologi Husserl, krisis menyadarkan kesadaran manusia bahwa keseluruhan dunia kehidupan yang artifisial (Gebilde) itu begitu rapuh, tanpa-makna, dan sia-sia. Dalam bahasa Husserl, krisis menohok-menghentak kesadaran manusia akan sifat kesementaraan-kerapuhan dari segala konstruksi sistem yang telah terbangun. Di hadapan krisis, sistem menjadi kehilangan arti dan fungsinya (Bedeutunglos), dan manusia yang telah terbuai di dalam sistem itupun sekonyong-konyong kehilangan makna diri dan makna hidupnya (Sinnlos).
Jika filsuf seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger berbicara tentang krisis, disorientasi, hidup yang nir-makna, destruksi, dan segala bentuk negativitas lainnya, mereka tentu bukan bermaksud untuk menakuti atau meneror kita. Jika pemikir seperti Husserl dan Heidegger berbicara tentang manusia dan bangsa-bangsa dalam alunan nada-nada minor yang gelap, suram, dan murung, mereka tentu bukan bermaksud untuk membuat semua orang putus asa dan melankolis. Walaupun tentu saja dalam segala yang gelap, suram, murung, dan negatif di dalamnya manusia dapat menemukan keindahan serta kedalaman.
Tetapi bukan itulah maksud Husserl dan Heidegger. Justru sebaliknya, orang seperti Husserl dan Heidegger hendak menghentak, menyadarkan, membangunkan kesadaran manusia-manusia modern yang semakin menumpul itu akanpotensi/kemungkinan bahaya yang menghadang di depannya. Maka para fenomenolog seperti Husserl dan Heidegger sebenarnya hendak melakukan sesuatu yang sebetulnya sederhana namun justru paling sulit dilakukan, yaitu: memikirkan apa yang tidak-terpikirkan, mempertanyakan apa yang tidak lagi dipertanyakan oleh manusia modern sebab segala sesuatu sekadar diterima begitu saja (taken for granted). Husserl dan Heidegger hendak mengajak kita untuk melihat apa yang tidak lagi terlihat oleh mata-kesadaran manusia yang telah terlena di dalam rutinitas materialistik dunia modern. Husserl dan Heidegger sekadar mau mengajak kita untukmendengar apa yang tidak lagi mampu kita dengar karena kita begitu sibuk-asyik berkutat dalam mekanisme rutinitas praktis-pragmatis kehidupan modern yang berisik-bising dengan berbagai khotbah komersil omong-kosong tentang kesuksesan hidup.
Dalam fenomenologi, berpikir terkait erat dengan bertanya. Seseorang baru sungguh-sungguh disebut berpikir jika ia sebelumnya mampu bertanya. Bertanya/pertanyaan, dalam tradisi fenomenologi, berarti juga menyibak-menyingkapkan realitas. Pertanyaan mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkap namun sebetulnya telah selalu ada di sana. Menyingkap/mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi mengandaikan bahwa orang mampu secara radikal masuk ke dalam (menyelami) realitas sebagai realitas itu sendiri.
Artinya, seseorang diandaikan mampu mengalami/menghayati realitas sebagai realitas itu sendiri, dan bukan sebagai penilaian/penafsiran/anggapan dia ataupun orang lain tentang realitas tersebut. Dalam hal ini dimensi penghayatan pengalaman (Erlebniss) menjadi lebih penting daripada dimensi pengetahuan kognitif (Erkenntnis). Dalam tradisi fenomenologi, pengetahuan kognitif telah selalu merupakan suatu penafsiran, abstraksi atau idealisasi yang tertentu atas dunia-kehidupan (Lebenswelt) manusia. Dunia-kehidupan pada mulanya bersifat pra-reflektif/pra-kognitif dan jauh lebih luas, lebih mendalam, lebih kaya daripada abstraksi/idealisasi ilmu-ilmu atasnya. Jika dunia-kehidupan adalah dasar yang paling mendasar (Grund), maka pengetahuan kognitif adalah bangunan yang dibangun di atas dasar itu. Jika dunia-kehidupan adalah horizon tidak-terbatas yang selalu menyertai pandangan kita, makapengetahuan kognitif adalah perangkat kamera yang kita gunakan untuk memotret (membatasi) sebidang sisi dari apa yang tidak terbatas itu. Jikadunia-kehidupan adalah totalitas/keseluruhan dari segala yang ada, makapengetahuan kognitif adalah partikularitas/bagian dari cara-pandang kita yang terbatas-sementara dalam memahami keseluruhan realitas yang seringkali sulit dipahami.
Dunia-kehidupan (Lebenswelt) selalu bersifa tontologis dan fundamental (ontologis dari kata Yunani το ον, yang artinyaapa yang ada). Sementara pengetahuan kognitif selalu bersifatepistemologis dan sistemik-metodologis (epistemologi dari kata Yunaniέπίστημη yang artinya pengetahuan). Di dalam realitas yang ontologis-fundamental itu tercakuplah alam, ruang, waktu, kehidupan, termasuk diri dan jiwa manusia. Di dalam cara-pandang yang epistemologis-sistemik itu tercakuplah fisika, geometri, ilmu sejarah, etika, psikologi dan ilmu-ilmu lainnya.
Maka setiap sistem, apapun itu, selalu memuat di dalamnya dimensi epistemologis-metodis. Artinya, sistem itu adalah alat bantu atau metodeyang selalu kita perlukan/gunakan untuk memahami serta menata realitas tertentu. Metode yang kemudian terkonstruksi menjadi suatu sistem itu tidak lain adalah cara bagaimana kita dapat memahami dan menata realitas kehidupan. Tanpa metode/sistem sebagai alat bantu, realitas hadir di hadapan kita sebagai suatu daya omnipotentis yang serba terserak kacau balau (chaos) dan sulit dipahami. Pemahaman manusia selalu mengandaikan sistem dan metodologi untuk menata pikiran kita sendiri, menata dunia pengalaman, dan menata hidup bersama.
Contoh paling nyata-sederhana adalah kalender penanggalan yang kita gunakan sehari-hari. Kalender adalah  sistem-metodologi penghitungan waktu yang dibuat untukmenjinakkan serta menata arus waktu yang mengalir deras dari masa lalu ke arah masa depan. Entah sistem kalender apapun yang kita gunakan, waktu itu sendiri akan tetap berlalu begitu saja tanpa mempedulikan kita yang bergumul di dalamnya. Sistem penanggalan adalah cara yang kita gunakan dalam memahami dan memanfaatkan waktu. Tetapi Sang Waktu itu sendiri bukanlah kalender penanggalan itu, Sang Waktu sendiri tidaklah tergantung dari ada atau tidaknya kalender penanggalan yang kita pakai. Sistem penanggalan (entah Masehi, Muharam, ataupun Jawa) menunjukkancara berada atau bentuk relasi manusia yang khas dalam mengarungi arus waktu. (Bagian II)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya