Langsung ke konten utama

EL CLASICO MENGECOH KAMERA

Setiap menyaksikan duel Real Madrid vs Barcelona di layar televisi selain terkesan dengan aksi-aksi memukau yang dipertontonkan para pemain dari kedua kesebelasan saya juga kerap  terkagum-kagum   dengan kinerja  kamera yang beroperasi pada  setiap laga yang mempertemukan Madrid dan Barcelona itu.
Baca Selengkapnya
Puluhan kamera dengan tingkat kecanggihan luar biasa, beroperasi secara digital maupun manual,  menyoroti setiap lekuk  pergerakan yang terjadi di lapangan; ulah penonton, lagak official, aksi pemain, tingkah wasit, dan terutama arus bola. Ke mana bola bergulir kamera selalu mengikuti. Kamera  sukses merangkumkan  kenikmatan visual dan emosional yang mengakibatkan tertundanya kewajiban sholat subuh.
Menarik dari hampir keseluruhan  laga Madrid vs Barcelona yang hampir  pasti tak akan kita sua  di beberapa laga sepak bola dunia apalagi di LSI, LPI, atau kompetisi tingkat Tarkam (antar kampung), ialah beberapa kali kamera tampak kerepotan mengikuti dan mendeteksi pergerakan bola, peralihan dari satu tayangan ke tayangan lain menjadi terlihat tergesa, mendadak, dan kasar. Para pemain Barcelona dan Madrid, yang kita tahu sama-sama berkualitas prima dan  tanpa tanding  itu,  kompak mengecoh kamera dan operatornya.
Sebagai siasat  'kameramen' kerapkali  memperbanyak teknik  pengambilan gambar secara long-shot sehingga keseluruhan pergerakan dapat terdeteksi meski semata secara umum. Tapi, konsekuensinya jutaan pemirsa di seluruh dunia, termasuk saya yang ditemani suara serak-serak basah muadzin pagi itu, tak bisa menyaksikan secara jelas dan terperinci  bagaimana aksi Messi melakukan operan-operannya yang bersahaja, Ronaldo dengan gocekan dan tendangan mautnya, aksi dingin dari Benzema, gaya Puyol yang serupa Dave Mustaine dari  Megadeth, lakon yg sedang dimainkan Pepe sampai perilaku Pep Guardiola yang menawan.
'Kameramen' tak kehabisan akal. Upaya lain yang ditempuh ialah menggunakan strategi close-up. Kamera  memotret secara dekat  pergerakan bola dengan alakadarnya. Prioritas pengambilan gambar  diberikan pada  area-area yang diprediksi akan menjadi area yang akan dilalui bola. Cara semacam ini kalau diterapkan secara konstan tentu akan melahirkan kekonyolan pasalnya  acara menonton bola akan berubah menjadi acara menonton pemain bola! Melalui cara ini kita juga dapat menilai bagaimana para pemain Real Madrid lebih khususnya Barcelona berulang kali membuat kamera keliru mendeteksi pergerakan bola.
Tapi, beruntung televisi tak hanya suguhan visual tapi melibatkan juga audio serupa radio. Kesulitan-kesulitan dalam teknik pengambilan gambar tertutup dengan tingkah reporter/komentator yang suaranya mengiringi hampir  keseluruhan pertandingan. Meski sebagian besar pemirsa tak paham apa yang dibicarakan karena selain berbahasa Inggris, komentar-komentar kerap diucapkan sangat cepat, suara-suara bising itu sukses  memberi hiburan tersendiri.
Kesulitan-kesulitan  dalam teknis pengambilan gambar oleh sang kameramen ditutupi dengan suara gemuruh dari seluruh isi stadion dan suara reporter sehingga para pemirsa tetap dapat menikmati drama dari setiap jalannya pertandingan yang dipenuhi luapan emosi itu.
Kamera dalam sepak bola rupanya belum bisa, untuk tak menyebutnya  tak akan pernah bisa, menandingi kamera yang dioperasikan misalnya saat perlombaan otomotif semisal  Moto GP yang umum menggunakan 46Kam. Kamera-kamera dalam perhelatan Moto Gp selalu berhasil mengambil gambar bahkan dari  sudut-sudut pengambilan gambar paling sulit sekalipun. Detail bagian belakan kendaraan hingga bagian depannya tampak jelas terlihat meski kendaraan sedang melaju dengan kecepatan sangat tinggi.
Saya berharap semoga saja besok-besok raksasa-raksasa produsen perabotan olah raga  berinovasi menciptakan bola atau sepatu bola yang dilengkapi kamera super mungil dan canggih sehingga kenikmatan menonton Barcelona vs Real Madrid lebih memuaskan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya