KRISIS HIDUP BERBANGSA DAN KRISIS CARA BERPIKIR KITA, MERENUNG BERSAMA HUSSERL DAN HEIDEGGER (Bag. III Akhir)
Kita kini memilih tentang telpon genggam tipe apa yang hendak kita pilih. Telpon genggam, yang awalnya adalah alat/sarana itu kini telah menjadi totalitas horizon dunia-kehidupan kita yang darinya kita tidak dapat lepas. Bukan hanya sekadar soal telpon genggam, bahkan kualitas cara-berpikir kitapun tidak jauh berbeda dengan prosesor kecil di dalam telpon genggam kita sendiri. Cara-berpikir manusia modern secara khusus selalu dan terus-menerus terarahkan pada hal-hal yang itu-itu saja: praktikalitas, teknisitas, dan efisiensi. Pendangkalan-pembodohan kualitas cara-berada dan cara-berpikir manusia inilah yang menyebabkan kita tidak lagi dapat merasa akrab-intim dengan diri kita sendiri, dengan bangsa kita, dengan dunia kita. Baca Selengkapnya
Modernitas membuat orang lupa akan dirinya, lari dari dirinya sendiri, terasing dari alam-dunianya, tercerabut dari keberakarannya di dalam tanah-bangsa yang tertentu. Pelupaan, keterasingan, dan ketercerabutan manusia dari akar dan dasarnya inilah yang dalam bahasa Heidegger disebut dengan Ketidakberumahan / Ketidakbermukiman (Unheimlichkeit). Dengan kata lain, manusia-manusia modern yang canggih, sukses, terhormat itu sebetulnya tidak lain dari pengungsi-pengungsi (homeless) yang tidak lagi memiliki tempat menetap di mana ia dapat merasa betah dan merumah (Heimlich). Manusia selalu bergerak memilih sesuatu berdasarkan trendterbaru, gadget teknis keluaran terbaru, headline berita-berita yang terbaru. Kita terus-menerus berlari, dan dari satu titik konsumsi kita terus-menerus pula dihempas ke sana-kemari ke titik-titik konsumsi lain. Situasi pendangkalan-penyempitan-penggoblokan cara-berpikir inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Ketidakberpikiran (Gedankenlossigkeit / Thoughtlessness).
Orang yang tidak berpikir (Gedankenlos) adalah orang yang tidak lagi mampu bertanya, ia tidak lagi mampu bertanya tentang dasar makna hidupnya sebab baginya diri dan dunianya telah begitu lengkap, canggih, dan indah. Orang yang tidak berpikir adalah orang yang tidak mampu melihat pengandaian-pengandaian dasar yang tersembunyi di balik suatu konstruksi cara-pandang dunia. Orang yang tidak berpikir adalah orang yang isi kepalanya penuh dengan segala kalkulasi teknis hidup sehari-hari, dan baginya tidak ada yang lain lagi yang lebih penting di luar cara-berpikir kalkulatif itu.
Di hadapan krisis cara-berpikir (ketidakberpikiran) inilah Heidegger menunjukkan bentuk kemungkinan lain dari cara-berada dan cara-berpikir manusia, yaitu cara-berpikir meditatif-kontemplatif yang disebut sebagaiGelassenheit itu. Dengan menekankan pada bentuk meditatif-kontemplatif Heidegger tentu bukan mengajak kita untuk kembali pada agama. Agama dalam perspektif Heidegger tidak lebih bagus-bermutu daripada sebuah mesin di pabrik. Mengapa demikian? Sebab agama yang sekarang mengungkung horizon cara-pandang dunia kita itu sebenarnya juga merupakan sebuah konstruksi cara-pandang dunia yang tertentu, sebuahpenafsiran yang tertentu atas hidup dan dunia. Dan sebagai sebuahkonstruksi cara-pandang maupun penafsiran ia ditafsirkan, dipahami, dan dibangun oleh manusia-manusia pada tempat dan waktu yang tertentu pula. Agama sebagaimana juga dunia teknologi yang sistematis-skematis itu bukanlah dasar dari segala yang ada, melainkan penafsiran manusia yang tertentu tentang apa yang ada (dasar) tersebut.
Penafsiran, pemahaman, justifikasi yang dibangun dikonstruksi menurut cara-pandang yang tertentu inilah yang disebut Heidegger dengan Metafisika (Metaphysik). Persoalannya kemudian adalah bagaimana manusia mampu melepaskan diri dari berbagai jerat cara-pandang metafisika yang membatasi penglihatannya (cara-berpikirnya) itu, untuk kemudian bisa melihat dirinya sebagai dirinya sendiri, melihat dunia sebagai dunia itu sendiri, melihat orang lain sebagai orang lain itu sendiri pada dirinya, dan bukan sebagaimana diajarkan, dipahami, dikhotbahkan, direpresentasikan entah oleh agama-agama ataupun oleh modernitas.
Dengan menekankan pada cara-berpikir Gelassenheit yang meditatif-kontemplatif, Heidegger tidak lain hendak memperlihatkan kemungkinancara-berpikir serta cara-berada yang lain. Membiarkan ada segala yang ada sebagaimana ia meng-ada, ini bukanlah sebuah sikap acuh tidak peduli terhadap dunia. Sebaliknya, membiarkan-ada itu adalah sebuah aktivitas sekaligus juga pasivitas. Cara-berpikir Gelassenheit adalah suatu cara-berpikir intermediasi yang bertahan tegak di dalam ruang-antara (zwischen-Raum) di antara aktivitas dan pasivitas. Membiarkan hanya disebut sebagai membiarkan jika kita dapat merengkuh-memaksanya. Sebagaimana ‚memaksa‘ adalah aktivitas, ‚acuh tak acuh‘ sebagai pasivitas adalah kutub ekstremnya. Membiarkan-ada apa yang ada sebagaimana ia memberikan dirinya (Gelassenheit) adalah sebuah sikap relaks yang mampu menjaga tarik-menarik tegang di antara dua ekstrem itu.
Sebagaimana orang yang berusaha keras untuk melupakan sesuatu adalah orang yang akan terus teringat terhantui traumatis oleh apa yang justru ingin ia lupakan, maka orang yang berusaha keras untuk mengingat sesuatu adalah orang yang akan terus terlupa abai tak peduli oleh apa yang justru ingin ia ingat. Ingatan dan pelupaan bergerak di dalam relasi tegang-ekstrem yang saling mengandaikan. Begitu juga dengan modernitas, kemajuan-kecanggihan-kesuksesan yang diperoleh di dalamnya sebetulnya satu kutub ekstrem dengan kemunduran-kedangkalan-ketololan.
Manusia modern, alih-alih menghindari kedangkalan dengan mengejar kesuksesan-kemajuan, ia justru pada akhirnya akan mendapati dirinya berkubang dengan ketololan dan kesia-siaan. Relasi tegang-ekstrem inilah yang hendak diretas oleh fenomenologi Heidegger. Sejak awal fenomenologi menyadari betul bahwa persoalannya tidak terletak pada kutub manusia sebagai Subjek, bukan pula terletak pada kutub dunia-alam sebagai Objek, melainkan lebih terletak pada kemungkinan cara-berada atau relasi-antara yang mungkin/dapat terbentuk di antara Subjek dan Objek.
Maka sejak awal fenomenologi tidakmenekankan pada cara bagaimana agar kita dapat memahami/mengetahui orang lain atau dunia. Melainkan fenomenologi justru menekankan padacara bagaimana dunia atau orang lain itu memberikan-dirinya bagi kita sebagaimana adanya menurut berbagai kemungkinannya yang beragam (its manner of givenness). Yang paling mendasar bukanlah dunia atau orang lain sebagaimana yang kita pahami, melainkan bagaimana dunia atau orang lain itu sebagaimana adanya di dalam dirinya sendiri itulah yang jauh lebih penting dan mendasar. Maka menunda atau menempatkan di dalam kurung segala prasangka/prapaham kita tentang sesuatu menjadi cara-kerja dasar bagi fenomenologi. Cara-berpikir yang mau menunda segala prasangka/prapaham kita tentang sesuatu inilah yang disebut denganEpochē.
Kekuatan kesadaran manusia terletak persis pada kapasitas/daya aktif-agresif yang dimilikinya, sekaligus daya pasif-reseptif yang juga dimilikinya. Kekuatan daya kesadaran manusia yang paradoksal itu sekaligus menjadi kelemahannya yang paling utama. Sebagaimana aktivitas-agresivitas terus-menerus pada akhirnya niscaya melumpuhkan manusia sendiri, demikian juga pasivitas-reseptivitas tanpa batas pada akhirnya juga niscaya melumpuhkan. Di hadapan kekuatan paradoksal yang melumpuhkan inilah fenomenologi bergerak di antara keduanya. Dengan sikap-fenomenologis (epochē) yang secara bersamaan aktif sekaligus pasif, mencoba memahami sekaligus juga membiarkan sesuatu itu memberikan-diri sebagaimana adanya, manusia modern diajak pertama-tama untuk mengenali batas: batas rasionya, batas egonya, batas upayanya, batas dirinya, batas dunianya, batas pemahamannya, batas harapannya, batas sistematisasi/proyeksinya.
Pengenalan akan batas misalnya membuat orang sadar bahwa ia hanya dapat melupakan jika ia tidak berusaha keras untuk melupakan, melainkan justru dengan mengingatnya, dengan menerimanya atau membiarkan sesuatu itu mengada sebagaimana adanya dengan lepas-bebas. Fenomenologi tidak saja merupakan upaya untuk mengenali batas itu. Fenomenologi tidak lain adalah kesadaran (logos) akan sesuatu yang memberikan-diri bagi kesadaran sebagaimana adanya(phainomenon / Erscheinungen). Fenomenologi dalam dirinya sendiri adalah sebuah bentuk kesadaran-akan-batas.
Krisis itu sendiri adalah sebuah situasi batas. Krisis, yang adalah situasi batas itu, justru bermula dari suatu situasi (aktivitas/sistematisasi) yang tanpa-batas. Keyakinan atau optimisme yang salah-tempat (misplaced) bahwa baik manusia maupun sistem tatanan dunia modern pada dirinya adalah cukup-diri (self-sufficient), optimisme salah-tempat ini justru mengawali cerita kejatuhan manusia di dalam irasionalitas dan kedangkalan (banalitas) yang pesimis. Hanya saja, melihat apa yang salah dengan orang lain selalu jauh lebih mudah daripada melihat apa yang salah dengan diri sendiri. Kritik selalu bergerak lebih agresif daripada oto-kritik (kritik diri). Dalam sebuah sistem yang di dalamnya manusia tidak lain adalah sekrup kecil di antara gerigi mesin-mesin yang terus bergerak, jangankan oto-kritik, bahkan kritik yang sungguh-sungguh bermutu itu sendiri menjadi barang langka. Bahkan keputusan dan rasa tanggungjawab pun menjadi tindakan langka yang telah ternetralisir oleh mekanisme sistem.
Padahal manusia disebut manusia justru karena manusia, berbeda dengan makhluk hidup lain, dapat melakukan kritik-diri, mempertanyakan, memutuskan sesuatu, dan mengambil tanggung-jawab. Bangsa yang di dalamnya para punggawa – tempat seharusnya rakyat bisa menyandarkan beban hidup mereka kepada para punggawa itu – justru saling melempar tanggungjawab dan saling ragu-bimbang memutuskan, pastilah itu bangsa yang sedang krisis. Jika bangkai ikan membusuk dari kepala, maka pembusukan sebuah bangsa juga dimulai dari kebobrokan mental para punggawa-pemimpinnya yang seharusnya berani mengambil tanggung-jawab dan keputusan. Sebagaimana kebaikan dan kejahatan, krisis itu sendiri adalah sesuatu yang cepat menular. Sampai di batasnya yang terjauh, krisis itu bermetamorfosis menjadi bencana, ia akan menjadi begitu massif, dan massivitas itu pada akhirnya akan menelan-merusak segala sesuatu. Pengalaman sejarah manusia dengan Depresi Ekonomi, Fasisme, dan Komunisme, semua itu sebenarnya telah memberikan arah jalan bagi suatu bangsa untuk dapat menempuh jalan yang paling memungkinkan dia selamat.
Persoalannya, sebagaimana telah ditunjukkan Husserl-Heidegger, manusia modern selalu terjebak terjerembab oleh sistematisasi yang dibuatnya sendiri, sistem yang adalah hasil-tangannya itu justru kemudian memakannya sendiri, sistem itu menjelma sebagai dunia-kehidupan tersendiri dan mengkolonisasi diri eksistensial manusia. Pada titik ini, ditengah ketidakmampuan suatu bangsa untuk memutuskan dan menetapkan arah, maka sistem (entah sistem demokrasi, sistem parlemen, sistem ekonomi global, sistem pasar saham, sistem pasar tumpah, sistem teknologi-komunikasi) yang seharusnya menjadi alat bantunya untuk hidup dan menegaskan-diri, akhirnya justru menjadi mekanisme netral-proseduralistik yang tidak-terpahami dan tidak-bermakna. Sistem justru menjadi jejaring prosedur yang anonim, tidak-terpahami, dan mengasingkan manusia yang satu dari yang lain. Sebuah bangsa yang telah berproses sedemikian rupa menjadi bangsa yang sistematis-demokratis tetapi anonim, proseduralistik, mengalienasi warganya satu sama lain dan asing dari tanggungjawab, adalah apa yang oleh sosiolog-fenomenolog Peter L. Berger disebut sebagai bangsa yang terasing (alienated) dan tidak berumah (homeless). Tanpa kesadaran bahwa krisis hidup berbangsa itu berakar dalam krisis cara-berpikir masing-masing warganya (termasuk punggawanya), bangsa seperti itu hanya akan terus terlempar ke sana-kemari dari satu krisis ke krisis lain.***
Ito Prajna-Nugroho adalah sarjana filsafat lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2009), Jakarta dan mengkhususkan studinya dalam studi/kajian fenomenologi khususnya fenomenologi Husserl-Heidegger beserta segala perdebatannya di dalam filsafat politik, filsafat kontemporer, dan hermeneutika. Saat ini sembari dengan menyelesaikan tesis magisternya di STF Driyarkara, ia juga mengajar sebagai dosen filsafat di beberapa sekolah tinggi dan universitas. Publikasi ilmiahnya dapat dibaca (dan dikritik) dalam Jurnal Filsafat Driyarkara dan Majalah Kebudayaan Basis. Salah satu publikasi terakhirnya dapat dibaca (dan dikritik) dalam: Ito Prajna-Nugroho, „Diri dan Ketiadaan dalam Filsafat Sartre,“ dalam A. Setyo Wibowo (ed.), Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011.
Referensi Penulisan
Edmund Husserl. The Crisis of European Philosophy and Transcendental Phenomenology. Translated with an Introduction by David Carr. Evanston : Northwestern University Press. 1970
Edmund Husserl. Logische Untersuchungen – Untersuchungen zur Phaenomenologie und Theorie der
Erkenntnis, Zweiter Band. Tübingen: Max Niemeyer Verlag. 1980
James Dodd. Crisis and Reflection. New York : Kluwer Academic Publishers. 2004
J. N. Mohanty. Edmund Husserl’s Theory of Meaning. The Hague : Martinus Nijhoff. 1969.
Martin Heidegger. The Basic Problems of Phenomenology. Translated, Introduction, and Lexicon by Albert Hofstadter. Bloomington : Indiana University Press. 1982
Martin Heidegger. Discourse on Thinking. Translated by John M. Anderson and Hans Freund. London : Harpers Colophon Books. 1969
Martin Heidegger. Ontology – The Hermeneutics of Facticity. Translated by John van Buren. Bloomington : Indiana University Press. 1999
Maurice Merleau-Ponty. Éloge de la Philosophie. Éditions Gallimard. 2002
Peter L. Berger, Brigitte Berger, Hansfried Kellner. The Homeless Mind. Penguin Books. 1973
Quentin Lauer (ed.,). Phenomenology and the Crisis of Philosophy. New York : Harper Torchbooks. 1965
Vittorio Hösle. La crise du temps présent et la responsabilité de la philosophie. Nîmes: Théétète editions. 2004
Komentar
Posting Komentar