Langsung ke konten utama

PESONA BAHASA DALAM DUSTA


Judul Buku      : 33 Puisi Dusta.
Pengarang       : Sahlul Fuad.
Penerbit           : Penerbit Miring, Jakarta.
Tahun              : 2011.
Tebal               : 60 halaman.
ISBN               : 978-602-19182-0-3

Sekumpulan puisi Sahlul Fuad dalam buku ini memaklumatkan suatu keberkaitan istimewa antara kata dan makna. Hubungan antara kata dan makna ibarat hubungan tak terpisahkan kulit dengan buah-buahan. Seperti halnya kata yang bermacam-macam, kulit pun  beraneka ragam,  berduri tajam seperti durian, berbulu seperti rambutan, dan kasar seperti salak tapi rasa buah tetap identik satu sama lain yakni kecut saat belum matang dan manis bila sudah matang. Buah yang meliputi daging, kulit, dan bagian-bagian lainnya itu serupa kesatuan tak terceraikan antara kata dan makna.Baca Selengkapnya
Fuad tergolong nama baru dalam dunia perpuisian Indonesia mutakhir. Meski  terbilang baru, Fuad, yang dalam keseharian lebih dikenal sebagai penghafal al-Qur’an dan pekaligrafi, memiliki tekad penting ia beriktikad memupus pamor sajak-sajak meditatif-spiritual (yang khas pada sajak-sajak Umbu Landu Paranggi, Sutardji Calzoum Bachri, dan Hamid Jabbar) lewat suatu gaya pengucapan  berani.
Demi tekadnya Fuad tak semata melarutkan ungkapan-ungkapan keagamaan (syahadatiftitahjihad,  Lailatul Qadrthariqahistighatsa kubra, dan munajat) dengan ungkapan-ungkapan keseharian (tender, koruptor, Google, mikrofon, klakson, nikah sirri, dan dusta) tapi sekaligus bermaksud merancang ulang jenis puisi perlawanan dengan memelesetkan secara ekstrim amanat-amanat dari al-Qur’an.
Ikhtiar memadukan ekspresi keagamaan dengan ekspresi keseharian pada derajat tertentu berimbas pada merosotnya  ekspresi keagamaan ke dalam cakrawala ekspresi keseharian dan terserobotnya kemapanan tatanan bahasa-bahasa luhur dan sakral oleh bahasa-bahasa profan seperti tercermin dari penggalan puisi Lailatul Qodr (hal. 22) //Malam seribu mikrofon/Malam penuh perjuangan//.
Fuad menyejajarkan bahasa agung yang melekat pada Lailatul Qodr, dengan penggambarang konkret. Lailatul Qodr, malam kemuliaan yang memaksa Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi “Idul Fitri” “menunggu” untuk bersua “Jibril atau malaikat lainnya,” dan yang dipahami Taufiq Ismail sebagai “malam seribu bulan” di tangan Fuad menjadi “malam seribu mikrofon.”
Upaya mempertalikan bahasa sakral dengan bahasa profan itu dimungkinkan karena Fuad memperkenalkan pemahaman yang unik atas kata,
Puisiku bersaksi bahwa tiada tuhan tanpa kata
Dan puisiku bersaksi bahwa tiada rasul tak menyampaikan kata
Puisiku bersaksi bahwa tuhan ada karena kata
Dan puisiku bersaksi bahwa rasul ada diutus untuk kata
(Puisi “Shahadat,” hal. 9)

Membaca sekilas puisi di atas kita akan menemukan corak lain dari dua kalimat shahadat; “aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Tapi lewat suatu pembacaan seksama puisi tersebut menandakan suatu pokok persoalan jauh lebih mendalam.
Fuad menandaskan keunggulan hampir mutlak dari kata. Mengikuti Fuad segenap ekspresi kehidupan intelektual atau batin manusia juga benda-benda mati dapat dipahami sejauh sebagai kata. Tak ada peristiwa atau sesuatu yang tak terkontaminasi kata.  Pendeknya, kita tak bisa membayangkan segala hal tanpa partisipasi kata.
Kata memiliki kekuatan tak berhingga, tak berbatas, dan luar biasa sehingga, menunjuk pada puisi di atas, “Tuhan ada karena kata,” dan para rasul menjadi kawula dari kata.  Dalam terang filsafat bahasa kapasitas dahsyat dari kata ini merupakan bagian integral dari pesona bahasa.
Bahasa berkemampuan memroduksi sesuatu dari yang ada (being) ke menjadi (becoming) lewat laku keputusan menamai. Tanggung jawab ibu yang baru melahirkan antara lain memberi nama yang baik pada bayinya. Nama yang baik meniru nama-nama indah, luhur, dan mulia. Sang ibu berharap dengan nama yang baik si anak menjadi beradab kelak ketika ia dewasa. Bayi itu sendiri bukan sebaris kata dari mana tertentu (misalnya “Fuad”) belaka tapi melingkupi keseluruhan dimensi batin atau spiritual dari  bayi, dimensi yang kerap lolos dari cakupan semata kata “Fuad.”
Meski demikian dimensi batin pun tak dapat dipahami tanpa mengikutsertakan pemeriksaan seksama atas kata “Fuad.” Dimensi spiritual dari bayi bernama “Fuad” dapat terlacak jejaknya melalui amatan teliti pada kata “Fuad” (dari bahasa Arab dapat berarti hati atau jiwa) serta membandingkannya dengan kata-kata lain yang serupa atau bahkan bertentangan dengan kata “Fuad.”
Lewat penamaan, bayi yang semula sekadar nama umum (bayi) “ditegaskan” dan “dijadikan” melalui keputusan menamai. Pesona bahasa menjadi prasyarat bagi terciptanya aneka kemungkinan tak terbatas dari kata berikut makna-makna barunya. Bahasa mengaruniai sesuatu dengan nilai, bobot, dan derajat.
Kekhasan lain dari pesona bahasa ialah ia melahirkan kemenduaan atau ambivalensi. Kemenduaan ini pun membayangi puisi-puisi Fuad seperti tampak pada penggalan puisi “Tuhan itu ada/Jangan pernah mengaku jumpa” (Puisi “Doktrin,” hal. 13). Di satu pihak Fuad menulis “tiada tuhan tanpa kata” dan “tuhan ada karena kata” (Puisi “Shahadat,” hal. 9) dengan kata lain kita dapat “bersua” tuhan lewat suatu pergumulan  khusyuk dengan kata tapi di lain pihak Fuad menegaskan “Jangan pernah mengaku jumpa” dengan Tuhan.
Kemenduaan ini dapat berarti sekaligus kekuatan dan kelemahan puisi-puisi Fuad. Sebagai kelemahan kemenduaan dapat menggugurkan keutuhan puisi, semacam bunuh diri puisi, tapi sebagai kekuatan kemenduaan mengisyaratkan apa yang ingin saya sebut sebagai teka-teki pesona bahasa. Persoalan kemenduaan ini menjadikan buku ini perlu dibaca bukan hanya oleh mereka yang cinta pada perkembangan perpuisian Indonesia tapi juga oleh para pengaji   bahasa. (Khudori Husnan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya