Langsung ke konten utama

ARULANISME



Sampul CD Arulan dengan tanda tangan Sjahrul G. Bajumi (koleksi pribadi)

Selain God Bless, Koes Plus, dan Panbers, satu nama band legendaris dari tanah air yang menjadi saksi hidup sejarah industri musik Indonesia adalah Arulan. Bermodalkan kepiawaian bermusik para personilnya serta keberanian menuangkan nada-nada yang akrab dengan cita rasa melayu Arulan menempati posisi khas dalam blantika musik Indonesia.
Arulan adalah grup musik yang dibentuk pada era 1960-an oleh Sjahrul Gozy. Bajumi (SGB), kelahiran Palembang 12 Februari 1945, putra dari pasangan Bajumi Wahab bin Pangeran Abdul Wahad dan Sajidah binti Pangeran Muhammad Nuh. Dalam catatan pemerhati musik tanah air Jose Choa Linge, sebelum resmi mengarak bendera Arulan, band bentukkan SGB ini bernama Blues Swingers. Beberapa nama lain yang terlibat atau sekurang-kurangnya pernah terlibat dengan Arulan ialah  Benny Thung, Ismet Januar, M. Isa Tartusi, Eddy Syamsuddin, Imran, Rosihan N. Bajumi, Yarjuk Arifin, Sanda Sanger,  Irfan W. Bajumi,  Wibisono Ismail dan Jopie Item meski hanya sebentar pernah mewarnai kiprah bermusik Arulan.
1960-an adalah era keemasan Arulan. Pada  tahun itu Bung Karno, presiden pertama RI, negara yang memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945 itu, seperti dicatat Jose Choa Linge, menghelat Asian Games IV yang  populer dengan sebutan GANEFO (Game of the National Emerging Forces). Arulan, bersama musisi-musisi solo maupun grup kenamaan tanah air masa itu seperti Eka Sapta, Teruna Ria, Aneka Nada Guruh Soekarno Putra, Kus Bros (cikal bakal Koes Ploes), Titiek Puspa, Rachmat Kartolo, Diah Iskandar dan lain-lain turut meramaikan salah satu perhelatan akbar di bidang olah raga antar negara itu.
Pada perkembangan berikutnya, Arulan mencatatkan dirinya dalam sejarah musik Indonesia sebagai band pembuka dalam acara peresmian pertama kali TVRI (Televisi Republik Indonesia) melakukan siaran. Di acara yang sama tampil musisi-musisi top dari Belanda seperti Anneku Grunlo dan The Blue Diamond. 
Beberapa nama musisi beken yang karir bermusiknya kerap melibatkan nama Arulan adalah Neneng Salmiah, Trio Viscam Broery Pesolima, Yanti Bersaudara, Alfian, Erinie Djohan, Deddy Damhudy, Lilis Suryani, Tetty Kadi, Bing Slamet, Shinta Dungga, Tuty Thaher, Henny Purwonegoro, dan Salanti Bersaudara. Pada periode 60-an Arulan juga sempat berpentas bersama salah satu band legendaris Amerika, The Ventures.
Arulan sekarang
Mendengar rangkaian musik instrumental Arulan dari dua keping cakram padat bertajuk “ARULAN” (2004) saya langsung disergap oleh suasana akrab sekaligus asing; musik Arulan menyiratkan ekspresi bermusik yang menekankan keteduhan,  keselarasan, dan kedamaian dari keseseharian. Tapi musik Arulan sekaligus juga terasa asing bagi telinga saya lantaran saya terbiasa mendengar musik dengan  kehadiran suara vokalis. Musik-musik Arulan dalam dua keping cakram padat ini tampil tanpa partisipasi suara seorang vokalis.
CD I berisikan musik-musik instrumental Kota Sunyi, merupakan nomor musik yang rasa-rasanya paling mengesankan, lalu Duduk Beduo, Jumpa Penghabisan, Malam Pesta, Masih Adakah? Kidung Nasibku, Selamat Jalan, Yok Mari Yok, Takdir, Selamat Datang, Hanya Sebatas Waktu, Bumi Sriwijaya, Andaikan, Palembang Bari, Kalau Kita Bisa Bicara, Sultan Mahmud Badarudin 2, Pengembara dan Cinta.
Sementara itu CD II memuat Mata Bidadari, Abu Mendreng, Jalan Mati, Air Terjun, Fatamorgana, Pelangi, Antara Bumi & Langit, Awan Kelabu, Khatulistiwa, Siapa Bilang, Jalan Hidup Ini, Kembalilah, Tanjoeng Soedjaro, Fajar Meningsing, dan Andalas Selatan.
Kekhasan cara bermusik Arulan terletak pada peran sentral suara yang ke luar dari instumen gitar Fender pada tiap-tiap musik yang dimainkan. Fender, instrumen yang pernah lekat dengan karir bermusik musisi-musisi top dunia, di mana di tangan musisi-musisi tersebut suara dari instrumen gitar mendadak menjelma serupa mahluk hidup dengan takdir dan kehidupannya sendiri, menggeliat, berpeluh, berurai air mata, tertawa ceria, merenung, memiliki hasrat seksual, merengek, berteriak, dan seterusnya.
Musisi-musisi dimaksud untuk menyebut beberapa, ialah Bob Dylan, Buddy Holly, Dick Dale, James Burton, Jimmy Hendrix, Eric Clapton, Jeff Beck, Keith Richards, David Gilmour, Yngwie Malmsteen, Jimmy Page, Bruce Springsteen, hingga Kurt Cobain.
Orang-orang di balik Arulan, khususnya Sjahrul G. Bajumi, dengan apik mampu mengoptimalkan potensi “manusiawi” di balik Fender sehingga suara yang ke luar dari instrumen gitar tampil layaknya suara seorang vokalis mumpuni.
Permainan gitar dari awak Arulan meskipun jarang melakukan akrobat-akrobat musikal, kecuali menambahkan efek-efek sederhana, selalu mengena pada telinga dan benak audiensnya. Nada-nada dari Fender seakan sedang melakukan percakapan intensif dengan instrumen lain misalnya drum dan keyboards. Dari “percakapan” lintas alat musik ini Arulan tampil sebagai band dengan kemahiran khusus yaitu mahir memainkan suasana dan perasaan.
Tetapi, ungkapan musikal Arulan bukanlah sesuatu yang baru. Akar-akar ekspresi bermusik Arulan dapat dengan mudah dilacak jejaknya pada musik dan performa panggung grup-grup musik “jadoel,” era akhir 1950-an semisal The Shadows dan terutama The Ventures, band yang pada 2008 mencatatkan namanya di Rock and Roll Hall of Fame.
Beberapa nomor klasik yang kerap diidentikan dengan The Ventures misalnya Wipe-Out, yang suara gitarnya dibangkitkan kembali dalam lagu Main Serong dari The Cangcuters, lalu Walk Don’t Run, Hawaii Five-0, dan Surf Rider. Para eksponen The Ventures, seperti anggota Arulan, juga dikenal sebagai para loyalis Fender.
Yang menjadikan musik Arulan terasa istimewa tampak pada ikhtiar para anggotanya yang dengan penuh kepercayaan diri menginjeksikan nada-nada khas melayu ke dalam jenis musik instrumental yang diusungnya.Topik inilah yang ingin saya sebut sebagai Arulanisme (oleh Khudori Husnan).





Komentar

  1. permisi pak jurukutip, saya melihat ini adalah catatanan yang sangat menarik khususnya bagi saya sebagai pecinta lagu2 instrumentalia, kalau tidak keberatan saya juga ingiin mendengarkan lagu2 dari album ini barangkali file mp3nya bisa diupload? atau dikirim melalui email saya ini; elianafajar@gmail.com
    salam;
    Fajar

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...