Langsung ke konten utama

Pulang, dari John Denver, lewat Metallica, ke John Lennon



Seorang kawan, Bachwar Abdullah, melakukan pengamatan cukup cermat tentang lagu-lagu bertema pulang. Dalam amatannya ia mengajukan tanya reflektif sebagaimana ia tuliskan dalam kolom komentar di facebook atas status saya yang memuat ulasan tentang grup musik Arulan. Begini komentar Abdullah:
“‘Mengapa begitu banyak para musisi yang menulis tema tentang Pulang." Hampir semua pernah menulis dan menyanyikannya, baik dari lokal, interlokal hingga internasional. Sebut saja mulai Micahel Learn To Rock yang pernah membawakan Home To You; atau Ozzy Osborne bareng Black Sabath, yang membawakan Mama, I'm Coming Home; lalu John Denver yang menyajikan Take Me Home dan Back Home Again; kemudian On My Way Home To You, yang dibawakan Michael Franks; 

menyusul Billy Joel yang membawakan You're My Home; Motley Crue, yang bikin Home Sweet Home. Bahkan grup Metallica yang cadas itu, juga membawakan Welcome Home (Sanitarium); atau Take Me Home punya Phill Collins; kemudian kita juga menemukan bahwa The Dream Theatre yang keren itu, dalam Album The Dark Side, juga ternyata menyuguhkan Home. Tak ketinggalan, belakangan Michael Buble, juga menulis dan menyanyikan Home. Untuk Lokal, kita bisa menyebut Ebiet G. Ade, Godbless, hingga Rhoma Irama.”
Beberapa judul lagu yang disebutkan kawan saya, katakan lagu-lagu homsesick,  memang secara tersirat dan tersurat memusatkan perhatian pada tema pulang tapi tidak semua yang disebutkan itu menunjuk pada pulang dalam arti harafiah, sebuah tindakan atau gerakan kembali, mudik, balik ke muasal setelah melakukan suatu perjalanan panjang yang melelahkan dan kadang mengecewakan.
Lagu-lagu seperti Mama I’m Coming Home (Ozzy Osbourne), You’re My Home (Billy Joel), dan Home (Michael Buble) misalnya pada dasarnya berbicara tentang sebuah puja dan puji pada seorang perempuan, istri atau wanita yang memiliki kedekatan dengan si penyanyi; ‘home is just another word for you” kata Billy Joel seperti mau merangkumkan tema pulang dalam ketiga versi lagu tersebut.
Lagu Take Me Home yang ditulis oleh John Denver bersama Bill dan Taffy Danoff lain lagi. Country Roads yang terselip di sela-sela lirik lagu ini terletak di West Virginia dan tak satupun dari ketiga penulis lagu berasal dari sana. Country Roads hadir dalam bayangan masing-masing penulis lagu semata sebagai sebuah tempat yang diimpikan, ideal, mendekati sebuah utopia, sehingga mereka sugguh merindukan tempat tersebut seperti dapat kita sua pada lirik Menjemput Impian dari Kla Project. 

Kasus sama dengan Take Me Home juga terdeteksi pada Sweet Home Alabama dari Lynyrd Skynyrd. Kelompok musik ini berasal dari Florida dan bukan dari Alabama.  
Take Me Home dari Phill Colins dan Welcome Home (Sanitarium) dari Metallica memaknai pulan secara berbeda. Kedua lagu ini sedikit banyak berkisah tentang kehidupan mental. Lirik Take Me Home seperti “I can’t see but I feel it ... I don’t mind ... I’ve been a prisoner all my life ... I don’t remember” dan seterusnya menyiratkan kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran dari seseorang yang didera masalah kejiwaan akut.
Hal sama berlaku bagi Welcome Home (Sanitarium). Sanitarium atau Sanatorium adalah sebuah institusi kesehatan mental barangkali semacam rumah sakit jiwa. Collins dan Metallica tak hanya bicara tentang sebuah kondisi mental tapi sekaligus omong tentang institusi kesehatan jiwa yang berkemampuan, istilah Metallica, “where time stands still.” Pulang dengan segenap unsurnya seperti rumah, perjalanan, orang-orang, dan suasananya menjadi tidak lagi dimaknai sebagai aktivitas konvensional.
Kembali ke masalah awal mengapa begitu banyak para musisi yang menulis tema tentang Pulang? Dari sudut pandang musisi baik jika kita amati dua kisah yang datang dari Tony Moore, keyboardis awal dari Iron Maiden dan dari John Lennon.
Seperti tertulis dalam Iron Maiden 30 Years the Beast Tony Moore pernah membuat testimoni berikut;   “The first music I remember, and that I loved, was The Beatles. My Mother had their records and played them all the time. My Mum had been a ballet dancer and my father, a classically trained pianist and tenor. It was a very Bohemian household and, aside from pop music, I grew up listening to my dad playing Mozart, Beethoven, Rachmaninoff – and more – on our piano at home.”
Ungkapan Moore di muka memuat nostalgia dan romantisme. Kesan-kesan dari masa lalu yang pernah dialami dalam lingkungan keluarga menyeruak menjadi sejenis kekuatan bagi sebuah laku kreatif. Dalam romantisme ada semacam dambaan akan masa silam. Masa lalu menjadi ukuran bagi apa yang dipahami sebagai yang  ideal. 

Ibu yang piawai menari ballet dan bermain musik, ayah yang sering memainkan komposisi-komposisi dari Mozart, Beethoven, dan Rachmaninoff, adalah momen-momen di masa silam yang barangkali akan tetap dikenang sebagai bagian dan penentu karir Tony Moore sebagai musisi.
Komentar Moore menyiratkan kenyataan bahwa pulang menjadi sebuah ikhtiar menziarahi masa lalu yang elok dan bersahaja demi sebuah laku kreatif. Intuisi sama dapat tersua pada John Lennon.
21 Januari 1971, Jann S. Wenner, salah seorang pembesar di kerajaan majalan musik Rolling Stones mewawancarai John Lennon. Wawancara itu mengungkap banyak hal; pendapat Lennon tentang musisi-musisi lain seperti Bob Dylan dan Tom Jones, asal-mula The Beatles band yang sukses memahatkan nama para personil dan lagu-lagunya pada lembar-lembar sejarah industri musik di planet ini dan seterusnya.
Di satu bagian wawancara Wenner bertanya “apa yang Anda pikirkan tentang Amerika?” Jawab Lennon “saya menyukai sekaligus membencinya.” “Saya amat sangat menyesal bahwa saya bukan orang Amerika dan tidak terlahir di Greenwich Village” ucap Lennon. “Setiap orang mengarahkan kepalanya ke pusat. Itulah alasan mengapa saya di sini sekarang.”
Tapi di bagian lain, Lennon berujar “Saya takut. Orang-orangnya sangat agresif. Saya tidak bisa menerima seluruhnya. Saya harus pulang, saya ingin melihat rumput. Saya selalu menulis tentang taman Inggris. Saya butuh rerumputan dan pepohonan. Saya memerlukan pedalaman karena saya tidak bisa menetap di tempat yang terlalu banyak orang.”
Demikianlah, pulang, juga rumah, sering menjadi pemantik bagi lahirnya kreativitas-kreativitas artistik bagi seniman. Selain itu, sebagian besar seniman adalah seorang romantis, dalam artian setiap laku kreatifnya selalu mengandalkan intuisi, perasaan dan pada saat bersamaan abai, bahkan cenderung curiga pada rasio. Romantik juga bisa dipahami sebagai sebuah sikap selalu waspada pada keamajuan yang dianggap selalu melahirkan kepahitan-kepahitan.
Pertanyaannya apakah kemajuan selalu identik dengan kepahitan? Tentu tidak kecuali fakta yang tak bisa ditolak ini; adanya kematian yang selalu siap-siaga menanti setiap yang hidup. Pada titik ini ada kesejajaran antara pulang dengan kematian. Seperti ucapan orang pada setiap momen kematian yang menyebutnya "berpulang ke pangkuan illahi." 

Akhirnya, jawaban bagi pertanyaan mengapa begitu banyak musisi yang menulis tema tentang pulang ialah  karena  manusia pada dasarnya adalah mahluk yang romantis.

Komentar

  1. Kehormatan tiada terkira. Pintaku dikabulkan oleh seorang Khudori Husnan. Pulang memang "gimana..gitu". Kebetulan lagu-lagu yang dioprek Khudori kebanyakan dari musisi barat, yang menggunakan bahasa Inggris, maka kita bisa melihat spirit pulang dalam rasa Bahasa Inggris.
    Pulang dalam Bahasa Inggris menggunakan home, atau go home, bukan go house. Begitu juga dengan beberapa ungkapan seperti homey, welcome home atau home sweet home. Di sini, kita tidak menemukan penggunaan kata house sama sekali. Seakan, dalam gramatika Inggris membedakan secara tegas rumah dalam artian gedung atau fisik, tapi ada juga rumah dalam artian batin. Mungkin kita pernah menemukan rumah yang megah dan mewah, tapi di dalamnya tidak dirasakan keteduhan dan kedamaian. Sementara, ada rumah yang sangat sederhana, berlumut, nyaris roboh, atau bahkan nyaris disita, namun sungguh nyaman dan menghangatkan. Ternyata, batin atau inti dari bangunan rumah itu ada pada sang pemilik rumah.

    Jika menyebut kata pulang atau kembali, itu artinya sebelumnya kita telah pergi atau telah meninggalkan tempat asal. Maka pulang berarti kembali ke tempat asal. Ngomong-ngomong tentang tempat asal-muasal, ini yang kemudian melatari kenapa manusia selalu penasaran tentang dari mana dirinya berasal, lalu akan kemana dirinya pulang. Dan konon, berbagai kebudayaan memberi jawaban atas pertanyaan yang sering kita sebut sebagai sangkan paraning dumadi. Sekali lagi, secara kodrati, manusia memang memiliki kesadaran pulang. Sadar atau tidak, mau atau tidak mau, manusia sebenarnya selalu terpanggil untuk selalu pulang atau kembali. Karena pulang atau kembali adalah satu hal hakiki yang tak bisa dibantah siapa pun.

    Quran juga bicara pulang. Ungkapan inna lillahi wa inna ilaihi rojiĂşn, adalah salah satunya. Inilah prinsip pulang menurut Al-Quran. Secara sederhana, ayat ini bila diterjemahkan akan menjadi: “Sungguh segalanya milik Tuhan dan pasti akan pulang kepada Tuhan”. Menurut saya, ayat ini kurang tepat jika hanya dipahami sebagai ayat kematian. Ayat ini justru tengah berbicara tentang kesadaran, yakni kesadaran kembali secara terus menerus. Kesadaran kembali ini saya yakini sebagai kehadiran, bukan kepergian. Bukankah bagi para pejalan, kesadaran pulang atau kembali kepada-Nya, selalu disadari setiap saat? Dan yang namanya kembali itu bukan nanti atau besok, tapi saat ini juga. Maka, apa pun yang berlangsung, apa pun yang menimpa, entah sedih atau bahagia, apakah suka atau derita, tetap berkesadaran kembali kepada-Nya, saat ini juga. Yang menarik, ayat ini dimulai dengan ungkapan, “Apapun yang menimpamu, maka sadarilah akan inna lillahi wa inna ilaihi rojiĂşn.” Dalam ayat ini, tidak mesti yang menimpa adalah sesuatu yang kita pahami sebagai buruk. Karena, apapun yang menimpa (menghampiri), baik atau buruk, tetap saja berkesadaran ilaihi rajiĂşn, alias pulang tadi.

    Lalu Kemana?
    Tentang rumah sejati, salah satu Hadis Qudsi menyebut, Qolbun mu’min Baitullah: hati orang mukmin adalah rumah Allah. Bayangkan, Allah yang Maha Agung, Yang Maha Luas itu ternyata berumah di hati orang mukmin. Tentu hati si mukmin ini sangat jembar. Hatinya tak terpengaruh oleh ukuran kamar atau teras, hatinya tak dibatasi oleh halaman atau dapur. Bahkan hatinya sangat luas melebihi jagat raya. Hati orang mukmin yang seperti ini pastilah menampung semua kenyataan secara utuh. Seperti semesta yang pasrah menerima banjir, pasrah menerima gempa, menampung letusan gunung, hingga dedaunan dan rerumputan yang bertebaran di penjuru bumi ini. Pantas saja sang Nabi selalu tersenyum. Semua selalu terasa indah dan nyaman. Homey banget gitu lho! Mungkin, kalau mau dilihat ciri orang yang selalu pulang di rumah Agung (kerajaan Tuhan) ini tak pernah sedih dan khawatir atas segala apa yang menimpa dirinya (laa khauufun álaihim walaa hum yahzanuun).

    "Jika tak lalu juga tak nanti,
    pulang itu di sini, saat ini..
    dan begini..."

    Salam Takzim untuk Khudori Husnan.
    Bachwar Abdullah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...