Langsung ke konten utama

Penyair yang Jatuh Cinta Pada Pandangan Kereta





Sehimpun puisi dalam Aku Mencintaimu  Dengan Sepenuh Kereta (2013) merekam interaksi kreatif antara penyair dengan kereta. Interaksi? Ya. Pasalnya nyaris semua puisi dalam buku kumpulan puisi ini membicarakan kereta dengan  aneka kekhasannya; masinis, peron, penumpang, tiket, rel, dan seterusnya. Lugasnya, tanpa ada kereta mustahil kumpulan puisi ini terbit dan dibaca.

Pada hemat saya, yang mengesankan, dan sekaligus kekhasan, kumpulan puisi ini terdapat pada konsistensi penyairnya yang secara kreatif menyejajarkan citra-citra kongkrit dengan pelukisan-pelukisan yang nyaris abstrak. Dari khazanah surealis kita  belajar bahwa apa yang sedang dilakukan penyair ini merupakan fase awal  memasuki semesta yang disebut “pancaran dari yang profan” atau kerap pula disebut defamiliarisasi.

Baris-baris dalam puisi berjudul Aku Mencintaimu Dengan Sepenuh Kereta memperlihatkan bagaimana citra-citra konkret dijadikan sarana mengucapkan perkara abstrak dan sebaliknya; // Aku mencintaimu// adalah kata sederhana yang ditunjukkan seseorang kepada hal lain; orang, benda, atau bahkan Tuhan. Pada pengucapan yang biasa “aku mencintaimu” biasanya disusul dengan ucapan “dengan sepenuh hati” di sini penyair Setiyo Bardono, menggantinya dengan “sepenuh kereta.”

Kondisi kereta yang penuh sesak oleh penumpang dengan bawaan masing-masing diambil alih Setiyo Bardono untuk melukiskan bagaimana cintanya pada sesuatu yang nyaris total. Seperti pada baris-baris //Aku mencintaimu dengan sepenuh kereta// Laju dengan sesak yang menjadi gejolak/ rindu yang ingin segera tertumpahkan/ begitu kita sampai di stasiun tujuan//

Senafas dengan gaya pengucapan dalam Aku Mencintaimu Dengan Sepenuh Kereta puisi-puisi Mudik Setiap Saat dan Perkedel Remuk juga menyiratkan hal yang sama. // Hingga sesak peron waktu mendamparkan/ silaturahmi usang yang harus termaafkan// Sementara kita tak pernah belajar dari kesalahan// (Mudik Setiap Saat). Pada Perkedel Remuk tercermin dari //Tapi dalam remuk/ masih terasa membara kuah cinta/ rasa yang kutandaskan tanpa sisa//

Persamaan Mudik Setiap Saat dengan Aku Mencintaimu Dengan Sepenuh Kereta terletak pada gaya pengucapan yang menyejaajarkan imaji-imaji konkret dengan imaji-imaji abstrak; “sesak peron” disejajarkan dengan “waktu”// Sementara itu, perbedaannya pada Mudik Setiap Saat penyairnya mulai menyuntikkan unsur protes ke dalam puisinya; /kita tak pernah belajar dari kesalahan//

Unsur protes juga terbaca pada puisi Lipatan Kertas //Karcis ditekuk lipat kembali diluruskan// Moral diluruskan kembali ditekuk lipat// Apakah karena tertera nominal// Kesadaran harus berbasah-basah//

Gaya pengucapan yang menyejajarkan imaji konkret dengan imaji abstrak nyaris selalu menguntit puisi-puisi dalam Aku Mencintaimu Dengan Sepenuh Kereta. Puisi-puisi yang secara konstan memperlihatkan gaya tersebut seperti di antaranya Gerbong Puisi, Gerbong Kenangan, dan Pintu Surga.

Puncak dari adanya penyejajaran dan pada saat bersamaan tertampungnya unsur protes secara mengesankan terdapat pada puisi Dua Puluh Detik! Yang Menentukan berikut ini;


Dua puluh detik! Pintu KRL ekonomi seperti lubang pembuangan yang menghamburkan segala kotoran yang sudah berdesakan dan mati-matian ditahan dari stasiun sebelumnya, tapi tak bisa bernafas lega karena...

Dua puluh detik! itu juga, pintu KRL ekonomi seperti lubang perawan yang diperkosa bertubi-tubi tanpa kenal ampun oleh hasrat yang berdesakan dan tak bisa menunggu kereta berikutnya, karena kesempatan adalah...

Dua puluh detik! yang tidak boleh disia-siakan, setelah sekian lama
menunggu dalam ketidakpastian, tanpa ada perhatian yang menenangkan, tanpa ada pemberitahuan yang memberi harapan, dan dalam...

Dua puluh detik! penumpang hanyalah kotoran yang tersia-sia, dan
selamanya dalam…


Apa yang menurut saya mengherankan dari puisi-puisi ini ialah penyairnya dalam setiap proses kreatif tampak selalu dibayang-bayangi oleh topik tentang kereta api; sebuah kenyataan yang tak terelakkan manakala seorang seniman menciptakan sebuah karya dengan bertolak dari suatu gugus tugas atau tema tertentu sebut saja misalnya tubuh, celana, kelamin, uang, politik, dan seterusnya.

Alhasil, segala yang tercerap dalam laku kreatifnya selalu dikaitkan dan dicocok-cocokan dengan gugus tema atau tugas tertentu tersebut; dalam kasus Setiyo Bardono, kereta api. Puisi-puisi jenis ini pada akhirnya defisit akan unsur spontanitas dan pada saat bersamaan berlimpah dengan desain sadar penyairnya.

Terlepas dari segala keheranan saya di muka, Setiyo Bardono  cukup berhasil menangkap nuansa umum yang berlaku dalam kereta api kelas ekonomi. Saya sendiri berpendapat bahwa salah satu cara untuk belajar memaknai hidup adalah dengan menghayati sepenuh hati suasana dalam kereta api kelas ekonomi.

Demikianlah pembacaan sekilas pintas saya atas Aku Mencintaimu Dengan Sepenuh Kereta. Wallahu alam bishawab. (Khudori Husnan)







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...