Langsung ke konten utama

MALAM MAGIS DI REBOAN




W.S Rendra (ist)


Puluhan orang, dari berbagai latar belakang, kebanyakan pelaku dan penikmat seni,  Rabu 29 Mei 2013 menyesaki Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan Blok M Jakarta Selatan. Di hari itu  komunitas Sastra Reboan menghelat acara peluncuran buku kumpulan puisi almarhum W.S Rendra “doa untuk anak cucu” (Penerbit Bentang, 2013).  Rangkaian acara tak hanya berisi pembacaan puisi, musikalisasi puisi, serta senandung tembang tapi juga bincang buku yang menghadirkan Ken Zuraida, istri almarhum Rendra, sebagai salah seorang nara sumber.

Dipandu penyair Setiyo Bardono dan musikus Brandjangan acara dibuka setelah Zay Lawanglangit selaku ketua komunitas Sastra Reboan memberi kata sambutan. Usai Zay Lawanglangit memberi sambutan susul-menyusul mata acara digelar.

Laila Uliel maju pertama membaca puisi. Gadis berkerudung itu sukses membawakan puisi Rendra yang bait pertamanya berbunyi Hujan lebat turun di hulu subur/ disertai angin gemuruh/ yang menerbangkan mimpi/ yang lalu tersangkut di ranting pohon//  (Puisi “Perempuan yang Tergusur). Laila Uliel turun dari panggung giliran Hanna Frasisca menyapa hadirin.  

Langkah kaki Hanna Frasisca mantap menginjak bibir panggung semantap pembacaan puisi berjudul “He Remco …” yang ia bawakan; “He Remco ...” adalah sebuah puisi yang judulnya menunjuk pada salah seorang penyair terkemuka Belanda Remco, sahabat Rendra. Selesai Hanna Frasisca giliran Ilenk Rembulan naik ke panggung. Puisi Rendra Ibu di atas Debu habis dibacanya dengan seksama.

“doa untuk anak cucu”
Pembacaan puisi Ibu di atas Debu sekaligus menutup bagian pertama acara pembacaan puisi. Acara berikutnya bincang buku. Ken Zuraida, Edi Haryono, salah seorang yang setia mendokumentasikan puisi-puisi Rendra, dan Abdullah Wong, pengamat  sastra sekaligus pakar sufisme, menduduki bangku nara sumber. Bincang-bincang dipandu oleh Rukmi Wisnu Wardani dan Zay Lawanglangit. 

Edi Haryono memulai bincang-bincang dengan memaparkan latar belakang di balik upaya penerbitan “doa untuk anak cucu.” Dalam paparannya Edi Haryono mengoreksi kekeliruan penyematan anak judul buku. Tertera dalam judul buku “doa untuk anak cucu; Kumpulan Puisi Rendra yang Belum Pernah dipublikasikan.” Seharusnya, kata Edi Haryono, “doa untuk anak cucu;  Kumpulan Puisi Rendra yang Belum Pernah Dibukukan.” Beberapa koreksi lain yang berpusat pada masalah teknis dijelaskan Edi Haryono pada acara bincang-bincang malam itu.

Malam makin larut ketika Ken Zuraida mendapat giliran bicara. Perempuan bersahaja yang masih terlihat cantik diusianya yang menjelang senja itu adalah  salah seorang saksi hidup riwayat kepenyairan Rendra. Sebagian besar puisi-puisi Rendra, ucap Ken Zuraida, ada keterlibatan dirinya, alhasil menurut  Mba Ida, sapaan akrabnya, dia selalu tak bisa menjawab  setiap pertanyaan yang diajukan padanya tentang kesan-kesannya ihwal puisi-puisi Rendra. 

Pada kesempatan bincang-bincang itu pula terlontar niatan Mba Ida menerbitkan puisi-puisi Rendra yang belum pernah dibukukan dan dipublikasikan oleh Rendra. Puisi-puisi itu, menurut pengakuan Mba Ida, merupakan manuskrip yang ditulis dengan tulisan tangan hingga kadang dipenuhi coretan-coretan koreksi dari Rendra sendiri. 

Abdullah Wong meraih mikrofon. Ia bicara panjang lebar ihwal tradisi kenabian dalam alam pikir Islam yang berporos pada dua istilah kunci sunah dan hadis. Tradisi kanabian itu lantas ia hubungkan dengan tradisi, dalam arti kebiasaan-kebiasaan atau habit, dari seorang Rendra dalam keseharian. Wong kembali menegaskan peran penyair yang dapat berdiri sejajar dengan peran seorang nabi.

Malam Magis
Gerimis  turun beberapa saat sebelum sesi bincang-bincang ditutup.   Acara terus lanjut. Brandjangan unjuk kebolehan dengan gitarnya. Lengkinan suara gitar menyebar ke tiap sudut Wapres. Beberapa lampu dipadamkan, Raka Mahendra maju ke panggung. Ia mulai melepas baju dan meraih gitar. Bertelanjang dada Raka Mahendra melakukan aksi teatrikal mengiringi pembacaan salah satu puisi  legendaris dari Rendra Blues untuk Bonnie yang dibacakan Uki dari kejauhan.

Blues untuk Bonnie barlalu lampu-lampu dinyalakan kembali. Temaram kembali terang.

Slamet Widodo, salah seorang sesepuh Sastra Reboan, tampil. Ia bacakan Obituari untuk Rendra buah karyanya sendiri. Selepas baca puisi, Slamet Widodo menyerahkan naskah puisinya pada Mba Ida. Usai Slamet Widodo menunaikan tugas membaca puisi, giliran Fikar W Eda membaca “Di Mana Kamu, De’ Na?”; sebuah puisi Rendra yang membawa ingatan kolektif khalayak pada katastrofi paling mengerikan dan paling memilukan sepanjang sejarah Indonesia modern yaitu tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam yang menewaskan sekitar 500.000 jiwa di penghujung 2004 silam. Indonesia dan dunia larut dalam maha duka kala itu.

Paska pembacaan “Obituari” dan “Di Mana Kamu, De’ Na?” suasana di sekitar Wapres Bulungan berubah drastis. Rintik hujan berganti lebat. Halilintar menggores langit malam ibu kota. Hujan, gemuruh geledek, dan sambaran petir menyelinap di antara rangkaian acara. Ajaib, alam seakan mengamini bait puisi dalam “Perempuan yang Tergusur” yang bertutur Hujan lebat turun di hulu subur/ disertai angin gemuruh/ yang menerbangkan mimpi/ yang lalu tersangkut di ranting pohon//   

Para pungunjung tergopoh-gopon mencari tempat berteduh. Bukannya gelisah lantaran hujan  puluhan pengunjung justru kian suntuk mengikuti acara demi acara meski harus sambil berdiri.

Isyarat alam menyimpan teka-teki. Dengan berlatar hujan dan semburat kilat halilintar disusul gelegar guntur acara pembacaan puisi kian dramatis.  Artikulasi estetik dalam rupa puisi bercengkrama dengan geliat alam yang otentik. Orang pertama yang menangkap momentum itu ialah penyair Amin Kamil. Dengan gaya khasnya sedikit nakal, nyaris komikal, dan penuh improvisasi, ia baca ulang puisi Rendra yang telah dibacakan Hanna Fransisca, “He Remco.” Amin Kamil sukses memukau hadirin. 

Amin Kamil undur diri giliran awak Bengkel Teater unjuk kebolehan. Bengkel teater ialah komunitas seniman yang didirikan almarhum Rendra. Sejak 1987 hingga kini Bengkel Teater berlokasi di Desa Cipayung Jaya Depok Jawa Barat. Awak bengkel teater Angin Kamajaya, Hendri Yetus Siswono, Dewi Sinta, Haffez Ali, Maria Sepu, Giant Baharsah, dan Herman Sepu, membawakan puisi-puisi Rendra secara beruntun. 

Di sela-sela rentetan pembacaan puisi  tiba-tiba hadirin dikejutkan oleh sebuah tembang kidung. Dengan olah vokal bertenaga lantunan kidung yang dibawakan Basri, anggota Bengkel Teater, berhasil membawa puluhan pengunjung kerasukan spirit yang khas Rendra keberpihakan pada yang papa, merawat kewarasan, “saling menghargai nyawa manusia”, serta pemuliaan kearifan alam. 

Selepas awak Bengkel Teater turun giliran penyair belia asal Sukabumi Jawa Barat Wildan Suteja Albukhory unjuk diri. Dua buah puisi “Indonesia Ria” karya Gemi Mohawk dan puisi tentang gelandangan karya Wildan sendiri dibacakan dengan model pengucapan sangat Sunda.

Acara kian syahdu dan basah. Abdullah Wong maju ke gelanggang. Ia membacakan puisi “Kesaksian Akhir Abad,” sebuah puisi Rendra yang menurut pengakuan Wong selalu membuat matanya basah saat membacanya. 

Dengan pengungkapan yang lugas dan bernas Wong dengan perkasa berhasil menyajikan “Kesaksian Akhir Abad” ke hadirin. Ia sekaligus sukses menaklukan panggung Sastra  Reboan yang dikenal angker bagi performer lantaran susunan bangku pengunjung menyerupai susunan bangku sebuah kafe; kadang posisi audiens harus membelakangi panggung dan berakibat pada buyarnya konsentrasi.

Pembacaan dua buah puisi oleh Giyanto Subagiyo menutup acara launching buku puisi doa untuk anak cucu, yang dimulai jam 8 malam itu, tepat ketika jam menunjukkan angka 11 malam atau ketika  hujan mulai reda. 

Sesudah Rendra
Dari rentetan acara pluncuran buku puisi “doa untuk anak cucu” tersirat kesan Rendra serupa bola kristal yang memiliki banyak sisi dan memantulkan warna-warni elegan. Puisi-puisinya yang colourful dan powerful mampu menggiring pembaca, siapapun dan dari latar belakang apapun, pada suatu pengalaman yang boleh dikata unik;  pengalaman merasakan sebuah kehidupan yang selaras, puitis, dan kadang memuat protes dan melankoli.  Puisi-puisi Rendra serupa seruan kepada pembaca untuk tetap menjaga kewarasan, setia pada hidup dan kehidupan, serta pembelaan tanpa syarat pada kemanusiaan. 

Di atas semuanya, keseluruhan acara di panggung Sastra Reboan malam itu hadirkan kesan yang nyaris magis. Para pengunjung dan pengisi acara sadar raga Rendra tak lagi bersama-sama mereka tapi pembacaan secara konstan dan antusias atas puisi-puisi Rendra berhasil menghadirkan kembali ide dan cita-cita Rendra. Almarhum Rendra sendiri di malam itu seakan ikut asyik  mengamati keseluruhan acara sambil sesekali tersenyum, mengerenyitkan dahi, dan tak jarang tertawa lepas.

Akhirnya, Rendra tak semata penyair, dramawan, dan kritikus sosial. Lebih daripada itu Rendra adalah sebuah ide besar tentang kedaulatan manusia seutuhnya. Posisi kepenyairan yang kokoh dan mantap semacam inilah yang lantas membuat penyair generasi pasca Rendra, jika berkehendak menegaskan otentisitas, harus bisa melampaui standar-standar estetis yang telah ditetapkan dan diletakkan Rendra pada taraf amat tinggi dan nyaris sulit dilampaui; tapi meskipun demikian dari segi kreatifitas akan selalu terbuka kemungkinan tercipta sebuah pelampauan. (Khudori Husnan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya