Langsung ke konten utama

ADA APA DI ALHAMBRA?

Ketakterdugaan yang konstan. Inilah saya kira yang menyebabkan tayangan-tayangan seperti 'Upin & Ipin,' 'Spongebob,' hingga  'Si Doel Anak Sekolahan' selalu enak dinikmati meski sudah berkali-kali ditonton.

Ketakterdugaan yang konstan menyusup bahkan pada setiap lekuk peralihan adegan dari tayangan-tayangan tersebut hingga  tercipta apa yang disebut 'perpaduan  kenikmatan emosional dengan kenikmatan visual.' 

Upin & Ipin tiba-tiba asyik bermain pesawat supercanggih kendati awalnya mereka sekadar bermain sepeda roda dua; Saat Spongebob terserang flu, Patrick tergopoh-gopoh menemui Spongebob di rumah nanasnya lantas  menyumbat tiap lubang yang ada pada 'tubuh kotak' sobatnya itu; Bang Mandra yang buta huruf dan gondrong diusianya yang menginjak usia belasan tanpa canggung mengenakan  seragam  merah putih dan gigih belajar membaca dengan cara mengeja khas murid kelas 1 SD.

Ketakterdugaan yang konstan  tak hanya berlaku di tayangan televisi. Percaturan sastra, prosa dan puisi, telah lebih dahulu mengenal ketakterdugaan semacam itu. Di permulaan novel 'Bumi Manusia,' Minke ternyata memulai petualangannya yang mengharu biru di sepanjang Bumi Manusia  setelah secara seksama memerhatikan sehelai potret.

Dalam puisi  'Balada Terbunuhnya Atmo Karpo' yang dari awal hingga akhir  memusatkan perhatian pada dendam kesumat  Atmo Karpo  hingga ia berkehendak menumpas Joko Pandan, Atmo Karpo justru mati mengenaskan di tangan Joko Pandan. Tak kalah menarik dari puisi ini ialah ihwal ketakterdugaan yang terdapat di bagian pamungkas puisi  yakni  ketika pembaca mengetahui  ternyata Joko Pandan yang setelah menghabisi Atmo Karpo "menegak, menjilat darah di pedang" itu tak lain adalah anak dari Atmo Karpo sendiri.

Lantas, apakah ketakterdugaan  konstan yang membentuk dramatik tertentu juga menyelinap di balik alur novel-novel masa kini, yang dari muatannya terkesan menyiratkan perasaan minder habis-habisan  penulisnya ihwal budaya baru yang dihadapi, baik  budaya yang khas Timur Tengah maupun yang berciri pokok Eropa?

Saya cukup gembira dari salah satu  novel yang sedang saya baca  "Bintang di Atas Al Hambra" (Ang Zen, Bentang Pustaka:2013) kecenderungan 'minder total' itu tak ada. Lihatlah di salah satu bagian di mana penulisnya menggugat tersingkirnya suku Aborigin dari pergaulan 'beradab' budaya Australia dan masih banyak lagi contoh lain.

Lebih gembira lagi di novel yang bercerita tentang Iip seorang  anak pesantren yang serius,  pintar, ambisius, pernah berteman dengan teroris, dan sayang istri ini, ketakterdugaan itu cukup  terasa kendati masih dalam bentuknya yang lugu dan malu-malu. Selamat membaca! (Khudori Husnan, esais)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

MERENTANG SAJAK MADURA-JERMAN; CERITA KYAI FAIZI MENAKLUKAN JERMAN

Siapa Kyai Faizi? Ia seorang penyair. Tak cuma itu ia selain menguasai instrumen bass, disebut basis, juga ahli bis, orang dengan kemampuan membaca dan menuliskan kembali segala hal tentang bis seperti susunan tempat duduk, plat nomor, perilaku sopir berikut manuver-manuver yang dilakukan, ruangan, rangka mesin, hingga kekuatan dan kelemahan merk bis tertentu. Terakhir, ia seorang kyai pengasuh pondok pesantren dengan ribuan santri. Ia juga suka mendengarkan lagu-lagu Turki. Pria ramping nan bersahaja ini lahir di desa Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Sebagai penyair ia  telah membukukan syair-syairnya dalam bunga rampai Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan ke-IV, 2011); kumpulan puisi Delapanbelas Plus (Diva Press, 2007); Sareyang (Pustaka Jaya, 2005); Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011) yang terbaru adalah Merentang Sajak Madura-Jerman Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin (Komodo Books, 2012).   Buku disebut terakhir merekam kesan-kesan Kyai Faizi  atas berbagai ...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...