Langsung ke konten utama

Sekeranjang Sajak dari Dedy Tri Riyadi


Rabu kemarin (24/09) setelah cukup lama absen, saya kembali menginjakkan kaki di Warung Apresiasi Bulungan Blok M Jakarta Selatan menghadiri acara Sastra Reboan. Malam itu Sastra Reboan meluncurkan dua buku sekaligus pertama buku kumpulan puisi karya Dedy Tri Riyadi “Liburan Penyair” dan kedua buku  “Misteri Borobudur (Candi Borobudur Bukan Peninggalan Nabi Sulaiman).”

Dari kedua buku tersebut hanya buku karya Dedy Tri Riyadi yang sempat saya baca itupun dalam bentuk naskah embrional dan bukan wujud asli seperti yang kini beredar di pasaran.

Bagi saya kumpulan puisi Dedy Tri Riyadi (selanjutnya DTR) menarik dinikmati  lantaran buku tersebut cukup mencerminkan sikap, posisi, dan pemahaman DTR pada apa yang disebutnya sebagai sajak atau puisi.

“Liburan Penyair” dapat dibaca sebagai ikhtiar DTR  menempatkan dirinya dalam khasanah perpuisian Indonesia mutakhir yang sebelumnya telah disesaki nama-nama seperti Afrizal Malna, Binhad Nurrohmat, Joko Pinurbo, Kyai Matdon, M.Faizi dan masih banyak lagi. Lewat “Liburan Penyair” dengan lain perkataan DTR berupaya  mengukuhkan diri sebagai  penyair dengan  pemahaman tentang sajak yang khas dari dirinya sendiri.

Berbagai sajak yang terhimpun dalam buku “Liburan Penyair”  menyiratkan kesan sangat kuat DTR sedang merumuskan manifesto kepenyairan dirinya, sebuah sikap yang secara cukup mendasar berbeda dengan buku kumpulan puisinya terdahulu “Gelembung” (2011), yang berisi permainan simbol-simbol yang atraktif dan cenderung akrobatik. Pada “Liburan Penyair” permainan simbol meski masih muncul di sana sini tapi tak semeriah pada “Gelembung.”

Yang paling mengesankan dari “Liburan Penyair” hingga membuatnya  khas  dan sekaligus membuatnya berbeda dari “Gelembung” ialah ihwal visi DTR tentang sajak yang identik dengan ruang, tempat, dan bahkan wadah. Terdapat sekurang-kurangnya enam sajak dalam “Liburan Penyair”  yang mengekspresikan  visi tersebut meliputi “Dalam Sebuah Sajak”; Syair Matahari”; “Tamu Agung”; “Sepasang Patung”; “Beberapa Larik yang Liris”; dan bagaimana “Capung Melihat Dunia.”

Pada “Dalam Sebuah Sajak” dengan kugas DTR menulis //Aku menenggelamkan seluruh kota/dan kenangan yang buruk/ menara juga tembok kota/ di mana mahluk-mahluk menyeramkan/ menjenguk masa lalu// Sebagai kutuk/ yang telah dilepaskan untuk kutolak/ dalam sebuah sajak//

Satu tarikan nafas dengan “Dalam Sebuah Sajak” “Syair Matahari” menyuarakan hal serupa //Sajak-sajakku lubang dalam// Mengisap seluruh lautan// Dan perjalanan hidupku pulau-pulau kecil/ yang tumbuh dari sana// Lalu jendela-jendela terbuka/ memandang dunia//

Baik “Dalam Sebuah Sajak” maupun “Syair Matahari” sama-sama menyiratkan pemahamam bahwa sajak serupa  dimensi spasial yang berkehendak menampung segala wawasan dan kegelisahan seorang penyair.

Di sini sajak serupa keranjang besar di mana pada bagian-bagiannya menyimpan daya tarik tertentu dan berkemampuan //menenggelamkan seluruh kota/dan kenangan yang buruk/ menara juga tembok kota// (Dalam Sebuah Sajak) serta menghisap aneka persoalan yang dijumpai penyair sepanjang //perjalanan hidupku pulau-pulau kecil/ yang tumbuh dari sana// (Syair Matahari).

Pada “Tamu Agung” DTR bahkan menegaskan //Ruang sajak aku buka// Masuklah-masuklah// Hal sama dapat kita sua pada sajak “Sepasang Patung” saat DTR menulis //Kau boleh menggugat kata-kata/ yang berloncatan dalam sajak ini//  Batu dan lava dari letusan gunung// Jika beberapa sajak di muka terasa kurang masih ada satu lagu yaitu “Bagaimana Capung Melihat Dunia” tatkala penyair yang juga pekerja iklan ini menulis //Dan berkumpullah kita/ di halaman sajak// Capung itu melihat cahaya di balik semak// 

Pemahaman ihwal sajak yang serupa ruang terbuka, penampung segala kegalauan, bahkan mungkin pelipur lara penyair semakin kentara dan menjadi-jadi pada “Beberapa Larik yang Liris” terutama bagian ini: //Meski kau tak berkata apa-apa, aku makin percaya: dalam sajak/ aku bisa mengelak dari bahaya//  Menolak apa yang tidak aku percaya//

Aneka sajak dimuka menyiratkan berbagai hal yang nyaris tak saya  baca pada “Gelembung.” Pada “Gelembung” DTR menampilkan diri sebagai penyair yang seolah-olah bermukim dalam  semesta tanda-tanda, hingga  membuat DTR layak disebut penyair simbolis  yang tak hanya berkemampuan membaca berbagai  tanda tapi sekaligus memproduksi tanda-tanda baru lantaran  penekanannya  pada signified atau petanda (bandingkan  Thierry de Duve “Kant After Duchamp”, 1996).

Jika pada “Gelembung” seperti pada “Sajak Syampu” di mana DTR menulis //Ketika dia menulis puisi dengan air segayung// tunduklah!// Sebab ada yang kelak limbung/ dari pucuk perkiraanmu// fokus terpusat  pada petanda (puisi dengan air segayung) maka pada “Liburan Penyair” perhatian diberikan pada signifier atau penanda sebagaimana tercermin dari sajak-sajak dalam “Liburan Penyair” yang giat merumuskan hal ihwal seputar sajak sejauh dalam pemahaman DTR. Walhasil, DTR pun menjelma menjadi penyair formalis yang berkutat dengan pokok soal bagaimana sebuah sajak tercipta dan dapat dinikmati khalayak.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya