Langsung ke konten utama

NOVEL ADALAH FILM YANG TERTUNDA?

Film nyelonong  begitu saja di hadapan kita sebagai sesuatu yang bisa dicerap  piranti optik kita, sebagai mahluk berakal dan memiliki indera penglihatan. Oleh sebab itu, film sama tapi sekaligus berbeda dengan  jenis kesenian yang digolongkan sebagai  “visual art” seperti lukisan,  gambar, patung, dan juga potret.
Berbeda dari jenis-jenis seni rupa lain, citra-citra visual dalam film disajikan selalu dalam pergerakan. Maksudnya,  jika sebuah film, sebut saja film Upin dan Ipin, menggambarkan manusia, penggambaran itu selalu dalam sebuah tindakan  yang berhubungan dengan gambar yang lain, singkatnya, citra-citra visual bukan semata  objek-objek yang diam belaka.
Ipin  selalu digambarkan dalam interaksinya  dengan Upin dan  tokoh-tokoh lain, Jarjit, Ijat, Memei, Ihsan, Fizi, Kak Ros, Opa, Tuk Dalang juga  lainnya; Dalam kesendiriannya, Ipin bahkan selalu dalam pergerakan, paling tidak mengerenyitkan dahi menandakan bahwa bocah botak ini sedang berpikir keras.
Film juga bukan semata pembabakan acak dari hasil-hasil proses syuting yang melibatkan  orang-orang atau properti lain; lebih daripada itu, film mengutarakan   sebuah cerita, menghubungkan  peristiwa satu dengan peristiwa lain,  kait-mengait  dengan kejadian-kejadian yang dialami orang-orang dan berhubungan  dengan apa yang dilakukan orang-orang  pada  sebuah periode tertentu.
Di suatu pagi yang cerah  Ipin duduk sendirian di sebuah gubuk yang di salah satu tiangnya terpasang  bendera Malaysia berukuran kecil. Salah satu kaki Ipin  diperban, ia terluka karena terjatuh saat menuruni anak tangga  rumahnya. Tiba-tiba datang seorang wanita muda cacat   yang terduduk di atas kursi roda, mendekati Ipin dan menyapanya. Saat keduanya asyik ngobrol, datanglah Upin dan kawan-kawan, jadilah wanita muda berbincang-bincang dengan Upin, Ipin dan kawan-kawan. Di hadapan komplotan anak-anak ini,  si wanita muda sempat unjuk kebolehan beraksi sembari duduk di kursi roda seperti ingin mengatakan keterbatasan fisik tak otomatis merintanginya untuk beratraksi. 
Selalu ada benang merah  yang mengikat gambar-gambar bergerak dalam film dan menjadikannya sebuah narasi, sebuah kisah dramatis.
Film butuh imajinasi dalam penggarapannya. Bahkan ketika sebuah film diklaim sebagai sebuah film dokumenter; hasil-hasil proses syuting tak  serta merta bisa langsung disusun begitu saja  tapi tetap harus diikat oleh satu tema tertentu. Pada titik ini film seperti novel yang memiliki struktur  cerita atau plot yang disusun novelis, yang bisa menghadirkan efek-efek tertentu ketika dibaca.
Pada film, apa yang kita nikmati dari sebuah  tontonan  misalnya adegan pacaran, ciuman, berantem, marah-marah, lalu pacaran lagi, ciuman lagi, berantem lagi, dan marah-marah lagi,   sesungguhnya   merupakan  hasil racikan  seorang sutradara dan  editor (film) yang dengan cermat memilah dan memilih jenis-jenis gambar tertentu lalu menyusunnya dengan memerhatikan sudut pandang, jarak pengambilan gambar, hingga tercipta sebuah susunan babak-babak  yang sesuai dengan apa yang diamanatkan   skenario plus dengan penambahan efek dan musik.
Meski penting, keberadaan  skenario bukan satu-satunya  yang paling krusial bagi sebuah film. Editor, dan sutradara tentunya, menjadi unsur  sentral lain di balik tersajinya  sebuah film yang kita tonton.
Film menghadirkan  sebuah cerita, sebuah dunia, dan sebuah kehidupan  yang ternyata sangat dekat dengan cerita, dunia, dan kehidupan kita selaku para penonton  di kehidupan sehari-hari. Kesesuaian itu, menariknya tanpa perlu embel-embel atau perantara kata-kata, kalimat, dan tanda baca tersurat seperti aturan baku yang ada  pada novel.
Novel kerap bermain dengan sesuatu yang implisit, bahkan ketika novel itu mendaku diri (atau didaku)  sebagai novel realis serealis realisnya. Novel tetap tak bisa menyamai   ke-eksplisit-an  film dalam hal strategi penyajiannya.
Sebagian besar penoton film  akan memusatkan perhatian pada cerita percintaan yang bikin “baper”  dalam film Hujan Bulan Juni  yang belakangan  membuat sastrawan Sapardi Djoko Damono laris manis diajak foto bareng  oleh  remaja putri zaman now, di event-event nobar itu film, tapi tak sedikit penonton film tersebut,  hanya terpikat   dengan ketampanan aktor Jepang pemeran Katsuo atau terpesona pada kecantikan Pinkan yang diperankan Velove Vexia, lantas  abai pada cerita yang diangkat film Hujan Bulan Juni;
Pertanyaannya,  apakah cara menonton film seperti disebutkan terakhir itu keliru? Tentu tidak karena si aktor dengan dialog, gesture, intonasi, dan lain sebagainya, adalah  bagian  penting bagi terbangunnya narasi  film. Pengamatan (sight) dan pendengaran (sound) begitu sentral dalam film tapi rasa-rasanya tidak pada novel.
Mengapa ada sebagian penonton film yang terbuai dengan ketampanan dan atau kecantikan aktor atau aktrisnya? Tentu saja karena penampilan para bintang  film lebih mudah diterima (objek-objek yang mudah dipersepsi) bila dibandingkan dengan keseluruhan  film di mana  untuk mengetahuinya, melibatkan  proses lain yang disebut sebagai berpikir dan merenung.
Berpikir dan  merenung demi   menemukan keutuhan sebuah cerita adalah  khas proses pembacaan  sebuah novel—kesatuan cerita itu pun tak langsung  bisa dicerna secara parsial tapi harus melalui proses  membaca tuntas keseluruhan isi novel.
Bukankah makna sebuah film didapat dengan membaca? Tentu saja. Bedanya, membaca  sebuah  film  berada dalam  kerangka membaca sebuah kenyataan aktual yang sama persis  (plek!)  dengan kenyataan aktual yang kita  (penonton film) alami dan hayati di keseharian. Kesesuaian dunia film dengan dunia keseharian yang aktual ini disebut sebagai “basic realism” atau “realism dasar.”
Diskusi tentang  “realism dasar”  ini menjadi sangat serius di tangan para pemikir eksistensialis mutakhir. Pasalnya,  “realism dasar” sering  dijadikan ilustrasi untuk menunjukkan  apa yang disebut sebagai  “kemelekatan diri dalam dunia,” dalam artian, aku  dan dunia yang melingkupiku tak bisa diceraikan, aku tak bermakna apapun tanpa dunia, atau jika masih belum puas, saya kutip  ungkapan  yang nyaris menjadi keramat di kalangan para filosof eksistensial,  “being-in-the-world.” (Eric Matthews:2002)

Apakah  novel adalah film yang tertunda? Jika melihat “ngetren”nya penulisan  novel yang sedari awal sudah diniatkan  (untuk tak menyebutnya  dipaksakan) untuk bisa diadaptasi menjadi sebuah film, sepertinya iya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...