Langsung ke konten utama

Mengenang Jurnalis dan Novelis Majalengka Kang Ato

Kang Ato (paling kiri)

Minggu 7 Oktober 2018, saya bertemu Kang Ato (Atho al Rahman) di ruangan HCU Rumah Sakit Siloam Karawaci; Kang Ato menjalani perawatan intensif di situ karena, kalau tidak salah menurut  keterangan keluarga,  ia menderita tumor.

Pertemuan  dan percakapan saya dengan Kang Ato, yang ditemani istrinya, berlangsung sangat singkat, mungkin kurang dari lima menitan. Tapi, dari pertemuan sesingkat itu saya menangkap kesan, betapa Kang Ato sedang berusaha sekuat tenaga melawan rasa nyeri  yang teramat sangat.

"Adoh pisan kang, Siloam." (Jauh banget kang, Siloam) Tanya saya membuka percakapan.

"Iya, doy." Jawab Kang Ato dengan suara lemah, setelah cukup lama terdiam kerena kesulitan bernafas.

Dalam hati saya bersyukur Kang Ato masih bisa mengenali saya. Ruang perawatan yang sangat terang membuat saya bisa melihat ke wajah Kang Ato yang  terlihat pucat tapi tetap berusaha menampilkan senyum ramah; sebuah kebiasaan Kang Ato saat bertemu dengan saya juga siapapun yang telah dikenalnya.

Kang Ato yang sebagian mukanya tertutup peralatan pemasok oksigen, berusaha menegakkan kepalanya tapi tak kuasa. Kepalanya kembali lunglai dan rebah  di atas bantal. Ruangan mendadak sunyi  dan dingin--hanya terdengar bunyi-bunyian pelan dari peralatan medis digital.

"Aduuuh." Tiba-tiba Kang Ato merintih tertahan. Istrinya sigap mengusap-usap kepala Kang Ato dengan lembut. Kang Ato berusaha menggerak-gerakkan badannya. Cukup lama saya menyaksikan pemandangan itu. Saya pun tak tega melanjutkan percakapan sampai kemudian Dani, yang menemani saya masuk ruangan,  berpamitan.

"Semangat, kang!" Ucap saya setelah bersalaman dengan Kang Ato dan istrinya.  Saya dan Dani ke luar ruangan. Meninggalkan Kang Ato dan istri yang matanya sembab, mungkin karena terlalu sering menangis.

Selepas pertemuan itu, kabar tentang kondisi kesehatan Kang Ato hanya saya dapat dari Whatsap Group  warga Bantarwaru yang ada di sekitaran Jabodetabek; termasuk saat Kang Ato harus dipindahkan ke ruangan ICU, yang artinya kesehatan Kang Ato memburuk.

Dini hari 13 Oktober 2018, sebuah kabar duka kiriman salah seorang adik Kang Ato muncul di Whatsapp Group;

“Telah meninggal dunia Athourohman bin H Asyikin Syafii, sekitar pukul 23.00, tanggal 12 Oktober 2018 di Pamulang, Tangsel. Mohon dibukakan pintu maaf atas kesalahan almarhum. Semoga almarhum mendapat tempat baik disisiNya.”

Sesaat setelah membaca kabar itu, saya yang sedang mengetik tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar menuliskan balasan ucapan belasungkawa.

Dari dini hari sampai dengan tulisan ini saya buat, saya terus dihantui keharuan sembari mengingat-ingat  pengalaman  saya bersama Kang Ato, sejak sama-sama di Ciputat, kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu masih IAIN) awal tahun 2000-an, hingga sekarang.

Hubungan saya dan Kang Ato tak bisa dikatakan dekat, tapi tak bisa juga dibilang jauh. Barangkali  hanya karena diikat oleh kesamaan asal daerah, sama-sama dari desa Bantarwaru, kecamatan Ligung Kab. Majalengka,saya selalu merasa ada kedekatan emosional dengan Kang Ato.

Hubungan saya dan Kang Ato jauh, karena dia beberapa semester di atas saya. Selain itu, meski sama-sama dari Bantarwaru, sependek ingatan saya, di Ciputat Kang Ato lebih banyak bergaul dengan teman-teman mahasiswa asal Cirebon dan Indramayu yang satu angkatan dengannya, ketimbang dengan teman-teman dari Majalengka, termasuk Kang Muslih (Muslih Aziz yang sekarang menjadi penceramah terkenal).

Saya juga merasa sangat dekat dengan Kang Ato, karena sama-sama suka main saat masih kuliah. Bedanya, Kang Ato yang pembawaannya selalu kalem, santai, senang guyon, dan murah senyum itu, rajin main sepak bola dan bola voli saat mengisi waktu luang, sebaliknya, saya banyak menghabiskan waktu dengan bermain dan berkumpul  di forum diskusi yang bertebaran di Ciputat awal tahun 2000an.

Di masa-masa perkuliahan, interaksi saya sempat dekat Kang Ato tepatnya ketika ternyata Kang Ato naksir salah satu mahasiswi yang satu program studi dan satu kelas dengan saya. Untuk yang satu ini saya tidak tahu persis kisah selanjutnya, kecuali informasi tempat favorit Kang Ato bertemu dengan mahasiswi ini; yaitu di Rumah Sakit  UIN Syarif Hidayatullah yang itu belum semegah sekarang.

Selepas sama-sama lulus dari  UIN, kontak saya dengan Kang Ato semakin jarang kecuali lewat media Facebook.  Beberapa informasi yang menyebut Kang Ato bekerja sebagai Pimpinan Redaksi Tangsel Pos saya dapat dari media sosial pun termasuk saat saya ketahui Kang Ato juga menulis novel. Pada saat yang sama, kala itu, saya lagi rajin-rajinnya mengisi acara apresiasi seni dan sastra di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.

Lewat HP, komunikasi saya dan Kang Ato kembali terjalin cukup intensif. Itu jerjadi sekitar Oktober 2012 silam, saya menawarkan salah satu novelnya dibahas di Pasar Malam Sastra Reboan, Bulungan, Jakarta Selatan. Kang Ato pun menyetujuinya, setelah dengan susah payah saya bujuk.


Setelah berkoordinasi dengan penanggungjawab Sastra Reboan, acara pembahasan karya pun digelar pada malam hari 13 Oktober 2012. Kang Ato dengan bersemangat datang dan mengisi acara bersama para penulis lain termasuk mas Teguh Esha (sutradara dan penulis skenario film Ali Topan Anak Jalanan), penyair Mas Slamet Widodo, dan Mas Zay selaku moderator.

Saya yang seharusnya menjadi salah satu pembahas malah absen  karena harus terbang ke Sulawesi Tengah. Beruntung kang Ato memaklumi dan tak mempermasalahkannya setelah saya kasih tahu dan meminta maaf lewat SMS karena tak bisa ikut di acara tersebut.

Saya sangat menyesal tak bisa  hadir dan menjadi pembahas di acara tersebut. Saya mendorong Kang Ato untuk berani tampil mempromosikan karyanya, tapi saya sendiri malah tidak muncul di sana. Inilah penyesalan terbesar yang terus menghantui saya saat bertemu dan mengingat Kang Ato.

2 Oktober 2018 saya mendapat pesan WA dari saudara Ayif Amrullah. Pesan itu berisi kabar dari kampung yang menyebut Kang Ato sedang sakit. Jadi, kabar tentang Kang Ato yang sedang sakit itu pertama kali saya ketahui justru dari kampung lewat Ayif dan bukan dari salah satu keluarganya. Di hari yang sama saya langsung mengirim WA ke Kang Ato menanyakan kabarnya. Lama saya tunggu tak ada jawaban kecuali perubahan warna dua centang di WA dari abu-abu ke biru.

Masih di hari yang sama saya berkabar dengan H. Thobroni A. Gani, sesepuh desa Bantarwaru yang ada di Jakarta, tentang kondisi kesehatan Kang Ato. Baru keesokan harinya pesan WA itu dibalas H. Thobroni. Singkat cerita, setelah beberapa hari, pihak keluarga mengonfirmasi kabar yang menyebut Kang Ato sakit dan sedang dirawat di Rumah Sakit Siloam.

Hari Minggu 7 Oktober 2018 saya bersama dengan H. Thobroni, Ramdhani, dan Kang Kasman  menjenguk Kang Ato di Rumah Sakit Siloam.
Sebelum satu persatu bergantian masuk ke ruangan HCU, kami sempat bertemu dengan edua orang tua Kang Ato yang baru tiba dari kampung, serta adik dan kakak Kang Ato. Bersama mereka kami memanjatkan doa di ruang tunggu.

Ruangan HCU menjadi saksi bisu perjumpaan terakhir kali saya dengan Kang Ato. Jurnalis senior dan novelis kebanggaan desa Bantarwaru itu menghembuskan nafas terakhirnya pada 12 Oktober 2018. Kang Ato meninggalkan seorang istri dan tiga putri kecil yang cantik-cantik dan sholehah, serta novel Kabilah Ababil; The Power of Children, Dua Surga dalam Cintaku dan sebuah novel yang belum sempat ia tuntaskan Antara Istiqlal dan Katedral; Kutipan isi novel Antara Istiqlal dan Katedral sempat dipajang Kang Ato di laman Facebooknya;

Kulihat rembulan penuh pesona
Terpancar menyusur urat nadi dan darah merahku
Kutaruh rasa itu setiap waktu dalam dadaku
Makin menyesak dan terus membengkak
Tapi belum saatnya rasa itu dirasakannya
Belum cukup waktu bagiku.
Selamat jalan Kang Ato, terima kasih atas segala kebaikan yang telah diberikan pada saya, semoga mendapatkan tempat terbaik di sisi  Allah SWT. Alfatihah ....


(Khudori Husnan)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...