Langsung ke konten utama

PILPRES DAN SIRKULASI KEBENCIAN DI MEDIA SOSIAL



Bagaimana bisa seseorang, laki-laki dan atau perempuan, yang dulu terkenal  alim dan lembut bisa sangat brangasan dan seperti kesetanan saat mendukung dan membela calon presidennya di media sosial?

Alfred Adler, salah seorang ahli ilmu jiwa terkemuka, termasuk orang yang paling intens menyelidiki masalah motivasi di balik dorongan agresif dalam diri manusia.

Dalam menelaah masalah dorongan agresif, Adler memulai dengan memeriksa masalah inferioritas atau perasaan rendah diri manusia. Menurut Alfred Adler, setiap bayi yang lahir telah memikul perasaan rendah diri atau inferior karena dipicu ketidakmampuan;  misal saat bayi tak mampu melakukan apa yang dikerjakan orang dewasa.

Kehidupan seseorang adalah perjuangan mengatasi masalah rendah diri. Hidup seseorang selalu dalam perjuangan menjadi sempurna atau superior dalam artian selalu berkeinginan memenuhi bakat atau potensi yang dimiliki alias selalu ingin mewujudkan mimpi-mimpinya.

Masalahnya,  tidak setiap keinginan selalu bisa tercapai malah terkadang lahirkan masalah baru. Iwan Fals pernah  bilang 'keinginan adalah sumber penderitaan' atau banyak orang sudah mafhum akan ungkapan 'harapan hanya akan melahirkan kekecewaan.'

Fenomena jauh panggang dari api atau ketika kenyataan mengkhianati harapan dapat memicu merosotnya motivasi. Mereka yang telah kehilangan motivasi hidup, memilih pasrah dan menyerah. Untuk mencegah terjadinya krisis motivasi, kata Adler, dibutuhkan ketegasan.

Adler tahu tak setiap orang bisa tegas. Adler juga paham manusia adalah makhluk yang unik. Manusia dikaruniai semacam Benteng Takeshi untuk memelihara kesehatan jiwanya dari rongrongan masalah kehidupan yang bersumber dari ketidaktegasan. Benteng Takeshi ini, Adler menyebutnya, kompensasi. 

Adler sendiri menggolongkan masalah dalam tiga kategori: pertama, masalah yang melibatkan tingkah laku terhadap orang lain, masalah pekerjaan, dan masalah cinta. 

Kompensasi menjadi strategi seseorang untuk dapat lolos dari tiga kategori masalah di atas. Kompensasi adalah siasat seseorang mengatasi rasa rendah diri yang kelak berdampak pada timbulnya masalah. Setiap individu dengan demikian selalu berusaha untuk melakukan kompensasi terhadap aneka masalah di sepanjang usianya. 

Isi, variasi, dan bentuk kompensasi  seseorang sangat beragam tapi kata Adler, ia selalu ditentukan oleh tiga gaya hidup yakni gaya hidup dominasi, gaya hidup untuk selalu mendapat atau mengharap sesuatu dari orang lain, gaya hidup menghindari masalah tanpa keinginan memecahkannya. Dengan menghindari masalah, orang-orang tersebut menghindari kemungkinan kekalahan.

Ketiga jenis gaya hidup di atas tidak dipersiapkan untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan masalah. Artinya, ketiga jenis gaya hidup ini menjadi bukti kegagalan melakukan kompensasi secara elok dan elegan. 

Dari ketiga jenis gaya hidup di atas jenis gaya hidup pertama lah yang paling tepat menggambar perilaku pendukung capres tertentu di medsos yang secara konsisten menunjukan sikap garang, brutal, dan gawat saat membicarakan capres cawapres yang tidak didukungnya dan saat bersamaan memuji-muji capres cawapres yang didukungnya. 

Gaya hidup pertama, kata Adler, menunjukkan sikap dominan atau gemar memerintah dan pada saat bersamaan minim atau bahkan tuna kepedulian sosial alias miskin simpati pada orang lain.

Orang-orang dengan gaya gidup ini senang berperilaku tanpa menghormati orang lain. Level ekstrim jenis gaya hidup ini adalah orangnya gemar menyerang orang lain secara membabi-buta, bengis dan sadis. Level minimalnya akan menjadi alkoholik, kecanduan obat, dan meminati bunuh diri. 

Kata Adler, melalui perilaku tersebut secara tidak langsung mereka menyerang orang lain. Dengan kata lain, mereka menyakiti orang lain dengan menyakiti dirinya sendiri begitu seterusnya, sirkulasi kebencian berujung pada tindakan menyakiti diri sendiri secara diam-diam.

Bertolak dari gagasan Adler, mereka yang garang dan tak mau kalah di medsos adalah orang-orang yang sedang melakukan kompensasi atas segala masalah di kehidupan nyatanya, baik terkait tingkah laku pada orang lain, pekerjaan, dan cinta. 

Para haters dan pelaku ujaran kebencian di medsos sedang melampiaskan ketidakberdayaannya menghadapi persoalan-persoalan di kehidupan nyata dengan bersikap seolah-olah cerdas, perkasa, dan berpengaruh di media sosial. 

Bisa saja seorang netizen terlihat garang di medsos saat menyerang para pendukung pasangan capres cawapres lantaran di kehidupan nyata ia selalau dalam kondisi tertekan karena pekerjaan yang menumpuk di kantornya.

Atau, bisa jadi, seorang pria yang kebetulan sudah beristri tampak bengis di media sosial saat menyerang pendukung capres cawapres lain, karena di kehidupan pribadinya dia tak mampu memenuhi hasrat istrinya di atas ranjang.

Atau, lagi-lagi, jika ada seorang warganet perempuan yang rajin nyinyir di medsos saat berkomentar atau membuat status terkait capres cawapres yang tak didukungnya,  karena di kehidupan nyata ia jarang mendapat belaian kasih sayang dari suaminya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya