Langsung ke konten utama

Mo, Maunya Apa Sih?

Temukan kata atau kalimat yang Anda anggap sebagai ide pokok tulisan, lalu tandai dengan stabilo dengan jenis warna yang telah Anda tentukan untuk jenis ide pokok tulisan. Ini salah satu pelajaran membaca yang saya dapat ketika belajar Metode Belajar dengan pengajar Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ alias Romo Magnis.

Secuil  kiat membaca di atas akan saya coba operasikan pada tulisan Magnis tentang Golput (Kompas, 12/03/2019) yang belakang viral serta menimbulkan reaksi macam-macam dari para pendukung golput , ada yang lucu, serius, bahkan ada yang kalang kabut.

Warna tulisan Magnis adalah tipikal warna-warni moralitas dan itu sudah ditegaskan Magnis di awal-awal ketika Magnis bilang kewajiban memilih bukan kewajiban hukum melainkan kewajiban moral. Walhasil, tulisan setelah bagian itu menjadi penuh sesak oleh istilah-istilah "baik", "kurang baik", "lebih baik", buruk", "nilai", dan seterusnya. 

Kata-kata vulgar yang disebar Magnis di tulisan  termasuk 'just stupid,' bodoh, tak sedap, secara mental tak stabil, 'psycho-freak,' tak dapat dilepaskan dari nada dasar moralitas yang Magnis mainkan di tulisannya. Mengingat luasnya cakupan moralitas seperti tercermin dari idiom-idiom yang digunakan Magnis, saya jadi curiga Magnis mengacu pada perbendaharaan konsepsi filsafat Jerman "Sittlichkeit". 

Berulangkali Magnis menegaskan kalimat yang intinya seperti tertera di sub-judul, 'mencegah yang buruk berkuasa'.  Pembacaan saya, Magnis tak alergi-alergi amat pada golput. Magnis pertama-tama dan yang utama mewanti-wanti jangan sampai yang terburuk berkuasa. 

Antara Jokowi dan Prabowo dua capres yang berlaga di Pilpres 2019, Magnis tak menyebut satu pun nama siapa 'yang baik' dan siapa 'yang buruk'. Magnis sepertinya paham penyebutan salah satu nama akan berakibat kurang sedap bagi dirinya sendiri. 

Yang menarik adalah bagaimana seorang Magnis begitu geregetan pada golput meski Magnis paham golput sah dalam demokrasi. Dalam kata-kata Magnis, dengan sedikit modifikasi  dari saya, golput  adalah salah satu tindakan memberi bagian kita dalam demokrasi.

Perenungan saya ditemani secangkir kopi membawa pada pemikiran berikut.

Dalam sebuah perkuliahan yang tenang, beberapa tahun silam, Magnis dengan gayanya yang khas, santai tapi bertenaga, menyinggung ihwal konsep 'piecemeal engineering' dengan penuh semangat. (saya kurang tahu arti harafiahnya tapi intinya adalah melakukan perbaik setahap demi setahap).

'Piecemeal engineering' (PE) ini gagasan dari Sir Karl Raimund Popper yang menyelinap di kitab mungil 'The Poverty of Historicism."  (Versi Indonesianya 'Gagalnya Historisisme'). PE dapat dibaca sebagai respons Popper terhadap paham-paham dan ideologi besar dunia (misal komunisme dan fasisme)  yang sesumbar bahwa masa depan bisa diprediksi. Tak hanya bisa  diterawang tapi bisa ditentukan dengan kalkulasi-kalkulasi tertentu misal dialektika sejarah di komunisme, dan bahkan lewat  perhitungan-perhitungan saintifik dalam saintisme.

Bagi Popper paradigma pemikiran seperti itu pasti rontok sendiri mengingat gerak sejarah tak seketat perhitungan-perhitungan saintifik. Sejarah berjalan kadang lurus, belok kanan dan kiri, dan sering sempoyongan sulit diterka mirip gerakan-gerakan jurus Dewa Mabuk.

Sejarah dipengaruhi pengetahuan orang per orang yang mengalami pertumbuhan di sepanjang kehidupannya. Popper sendiri adalah seorang ilmuwan terkemuka selain sebagai filosof. Istilah PE adalah khas  sains yang sering bekerja  dengan prinsip 'trial and error." (Mencoba dan salah).

Apa hubungan keterangan di atas  dengan kegusaran Magnis pada golput?

Magnis menilai golput sebagai tanda bahaya. Magnis cemas maraknya golput berpeluang besar memuluskan jalan yang terburuk berkuasa. Magnis khawatir akan hal itu. Kekhawatiran yang saya kira bisa diterima tak hanya bagi Magnis tapi juga bagi banyak kalangan. Masa iya ada yang mau dipimpin oleh yang terburuk? Ketika yang terburuk berkuasa maka ancaman serius bagi tatanan sosial semakin nyata.

Magnis adalah satu dari segelintir saksi hidup bagi sepak terjang Orde Baru termasuk sisi-sisi paling brengseknya lantaran, konon, salah urus mengelola negara. Sebagai sang penyaksi, Magnis sepertinya akan setuju dengan Karl Popper yang bilang  "kita membuat kemajuan jika, dan hanya jika, kita siap belajar dari kesalahan-kesalahan kita."

Kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan negara di masa lalu, dalam kasus Orde Baru misal bungkamnya--atau golputnya, atau malah terlibatnya-- para cerdik pandai saat  terjadinya ketidakberesan Orba,  harus dikenali, dijadikan pelajaran, dan dinilai secara kritis. Kegeraman Magnis pada golput tampaknya dipicu pembelaannya pada proses demokratisasi  yang terus coba diamalkan di negeri ini kemarin, hari ini dan nanti.

Magnis berpandangan golput adalah barometer bagi terjadinya gerak mundur demokratisasi dan memiliki dampak mendalam di kemudian hari. Perbaikan setahap demi setahap tampaknya dikhawatirkan Magnis akan terinterupsi bila pemimpin yang buruk berkuasa. Tentu ini bisa diperdebatkan dan akan panjang diskusinya--bagaimana kaitan golput dengan pemimpin yang buruk. Celakanya, bagian ini paling samar dari tulisan Magnis. Tapi ah, biarlah menjadi teka-teki. Karena hidup kadang butuh teka-teki (eaa)

Akhirnya, mengikuti penalaran saya atas penalaran Magnis pada golput, anggaplah dua  capres tak sempurna dengan kadar ketidaksempurnaan pada masing-masingnya yang berbeda-beda, tapi fakta ini, tak memadaii dijadikan alasan bagi Anda untuk 'bergolput ria' di era demokrasi sekarang. Jika, Anda masih saja bersikeras memilih golput, hal itu sama saja Anda, meminjam salah satu ungkapan kesayangan Magnis, 'membuang air sisa mandi bayi sekaligus dengan bayinya.' 

Sekian dan salam hangat dari saya mantan mahasiswa awam (AZ), dan saya bukan golput gaes (tapi temen-temennya ada juga yg golput).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya