Langsung ke konten utama

Kuil Nietzsche; Reaksi Penyair Binhad Nurrohmat atas Nietzsche


Penyair Binhad Nurrohmat adalah  seorang penyimak  dan pembaca  yang  tekun. Segala hal coba dia amati, baca, pahami,  dan hayati. Hasil-hasil pembacaan, pemahaman, dan penghayatan itu kemudian dia tuangkan dalam  bait-bait puisi.

Sejumlah buku puisi Binhad Nurrohmat dari Kuda Ranjang (2004), Bau Betina (2007), Demonstran Sexy (2008), Kwatrin Ringin Contong (2014), Kuburan Imperium (2019), Nisan Annemarie (2020), hingga Kuil Nietzsche (2020) merupakan  tanggapan kritis dan kreatif Binhad Nurrohmat atas  segala hal yang—setidaknya menurut dia sendiri—telah tuntas dia baca.

Membaca adalah suatu kegiatan personal yang  penuh resiko. Dalam konteks karya seni, seorang pembaca dapat terhanyut dalam apa yang dibacanya hingga tak jarang si pembaca kerasukan dengan  apa yang dibacanya; bacaan, biasanya tanpa disadari, ikut membentuk cara berpikir, bersikap, berperasaan, hingga mengambil keputusan si pembaca. Anda adalah apa yang Anda baca.

Binhad Nurrohmat  membaca  Friedrich Nietzsche, kerasukan, dan  lahirlah puisi berikut (dalam Binhad Nurrohmat, Kuil Nietzsche, Boenga Ketjil, 2020, hal.33):

Kuil Nietzsche

Tak ada lagi yang dimiliki selain kesunyian
Cinta telah menjelma  iman yang dilepaskan
Tuhan alangkah renta untuk nisaya dipuja
Diri yang agung memanggul umat manusia.

Puisi di atas adalah hasil pembacaan Binhad Nurrohmat atas riwayat hidup  dan gagasan salah seorang filosof Jerman terkemuka, Friedrich Nietzsche (1844-1900).

Nietzsche memiliki kelompok penggemar beratnya sendiri di kalangan peminat sejarah filsafat Barat modern.  Setelah  wajah brewok Karl Marx, wajah Nietzsche di usia lanjut, dengan mulut  tertutup kumis,  dalam posisi duduk dan dipotret dari samping dengan tatapan mata sayu, termasuk yang paling banyak disablon untuk  model sebuah t-shirt.   

Nietzsche berbeda dari kebanyakan filosof Barat termahsyur dalam peta sejarah filsafat. Saat para filosof lain mendasarkan metode berpikirnya pada penalaran yang argumentatif, Nietzsche justru mencampakannya dan memilih  bombasme atau omong besar, sementara filosof lain mendorong  umat manusia ke arah jalan yang benar atas nama adab dan keutamaan, Nietzsche malah merangsangnya  ke arah kekuasaan  dan kedirian (selfish), atau seperti diucapkan Binhad Nurrohmat, “Diri yang agung memanggul umat manusia,”

Sementara  para filosof lain berusaha memberikan pendasaran filosofis tentang tepa selira Nietzsche malah mengobarkan kebencian dan, yang paling memicu kehebohan,  ketika para agamawan berkhotbah tentang  pentingnya  memuja dan memuji Tuhan dengan nama-nama yang baik dan indah,  Nietzsche malah melenyapkan-Nya atau dalam kata-kata Binhad Nurrohmat, ”Tuhan alangkah renta untuk nisaya dipuja”.

Selain Nietzsche, Binhad Nurrohmat juga membaca tokoh Jerman lain, seorang orientalis yang sangat dihormati cendekiawan Islam  tak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia, Annemarie Schimmel (1922-2003).  Membaca Annemarie Schimmel, lagi-lagi, Binhad Nurrohmat    kerasukan hingga terbit puisi berjudul Nisan Annemarie (dalam Binhad Nurrohmat, Nisan Annemarie, Diva Press, 2020, hal, 142) di mana   salah satu baitnya berbunyi;

Perjalanan di dunia seumpama mimpi
Menempuh serentang ruang dan masa.
Seperti Annemarie Schimmel mengerti
Di relung pusara bermula segala cerita.

Dua puisi  Binhad Nurrohmat di atas adalah contoh terbaik dari apa yang belakangan dikenal  sebagai  “tanggapan pembaca,” dalam khazanah kritik sastra. Tak seperti umumnya teori kritik sastra yang memusatkan perhatian pada teks dan atau pengarangnya,  tanggapan pembaca justru berkonsentrasi pada reaksi dan tanggapan si pembaca.  

Melipir sejenak ke yang ngepop, banyaknya tayangan-tayangan di media sosial berbagi video Youtube yang memuat tanggapan atau reaksi orang terhadap video-video tertentu (video klip, aksi fingerstyle, penampakan hantu, perilaku ekstrim,  dan lain sebagainya itu), dapat kiranya dijadikan ilustrasi bagaimana kritik sastra tanggapan pembaca bekerja. Karena Binhad Nurrohmat seorang penyair dan bukan youtuber, dia memilih me-reaksi Nietzsche.

Tanggapan pembaca bergerak dari pemahaman bahwa  obyek pengetahuan  tidak pernah terpisahkan dari orang yang berkehedak mencari tahu. Selain itu, obyek yang dipersepsi   tidak pernah terpisah dari persepsi  orang yang mempersepsi. Kritik sastra mengambil oper  asumsi epistemologis ini, seraya menyatakan  perbincangan tentang karya sastra  harus memusatkan perhatian pada tanggapan pembaca terhadap teks.  Dari sini lalu lahir berbagai istilah mentereng seperti “re-kreasi subyektif”, “transaksi,” serta  “interaksi antara teks dan pembaca.” 

Pembaca, dari sudut pandang pendekatan kritik sastra model di atas, diposisikan sebagai  mediator bagi kehadiran  pengarang dan karangan-karangannya. Dan Binhad Nurrohma, lewat buku kumpulan puisi “Kuil Nietzsche”   tengah melakukan,  mediumisasi atas Friedrich Nietzsche.

#KhudoriHusnan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya