Langsung ke konten utama

Mencintai Kampung Halaman Melalui KH. Thobroni AG

H. Thobroni AG
Saya lebih dulu mengenal namanya, ketimbang wujudnya. Nama beliau, H. Thobroni AG, atau Mang Thob sapaan akrabnya, selalu disebut-sebut di setiap percakapan antar kakak-kakak senior mahasiswa asal desa Bantarwaru, Ligung, Majalengka, yang sedang menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta termasuk di antaranya ialah Mang Muslih Aziz, Mang Atho Rahman (almarhum), teh Yayan Rohayani, dan kaka saya sendiri, Susilawati. 

Dari setiap percakapan yang melibatkan nama Mang Thob, tersirat kesan sangat kuat  bahwa Mang Thob adalah figur yang selalu hadir di tengah-tengah kehidupan kakak-kakak senior yang sedang berjuang di perantauan, jauh dari kampung halaman, mengejar cita-cita dengan berkuliah.

Mang Thob, sejauh yang saya dengar dari cerita-cerita para senior, selalu membantu kakak-kakak angkatan saya di UIN Syarif Hidyatullah itu, ketika kesusahan ekonomi, baik untuk uang perkuliahan maupun untuk keperluan sehari-hari. Mang Thob pun dengan sigap mencarikan  peluang mengajar di sekolah-sekolah atau privat-privat. 

Mang Thob di mata kakak-kakak senior saya itu, tak ubahnya orang tua mereka di perantauan. Mang Thob dengan  tak kenal lelah mengarahkan, memberikan kasih sayang,  dan membimbing mereka agar tetap semangat mewujudkan mimpi-mimpi. Selain sebagai orang tua, Mang Thob telah menjelma seorang Mamang bagi kakak-kakak senior saya itu.

Nama Mang Thob tidak hanya selalu menjadi pokok pembicaraan di antara para mahasiswa asal desa Bantarwaru. Nama Mang Thob juga selalu disebut-sebut dengan penuh takzim di lingkungan anak-anak alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, yang tergabung dalam organisasi Ikatan Mutakharrijin Madrasah Aliyah Negeri  (IMMAN) Cirebon yang ada di Ciputat.

Sepanjang perkuliahan di Ciputat hingga kemudian lulus kuliah, sekitar tahun 2000 sampai dengan 2004, saya  tidak pernah sekalipun bertatap muka dengan Mang Thob. Meski demikian, sejujurnya sepanjang waktu itu, saya sangat penasaran dan ingin sekali berjumpa dengan Mang Thob.

Seingat saya, perjumpaan pertama kali saya dengan Mang Thob terjadi ketika saya  mengantarkan dan mengenalkan keponakan saya, Mohamad Ramdhany yang baru lulus kuliah di IAIN Walisongo Semarang,  kepada Mang Thob. Saya lupa tahunnya, mungkin sekitar tahun 2012an. 

Canggung. Seperti itulah perasaan saya waktu bertemu Mang Thob di rumahnya di Cinere. Maklum, waktu itu di benak saya, alumni UIN yang berandalan ini,  Mang Thob adalah tokoh besar, terhormat,  dan memiliki peran penting di dunia kemahasiswaan khususnya di lingkungan UIN (dulunya IAIN) Jakarta. 

Kecanggungan itu untungnya hanya sebentar. Keramahan dan keakraban Mang Thob menyambut kedatangan kami, membuat suasana serba canggung seketika berubah menjadi penuh gelak tawa, yang sesekali mewarnai percakapan kami dalam bahasa Jawa bantarwaruan.

Dari perjumpaan pertama itu, kesan saya, Mang Thob adalah tokoh yang selalu mampu  memberikan  optimisme, memegang teguh pendirian,  memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, doyang ngomong, cekatan, sentimental alias perasa dan juga lucu. 

Sejak pertemuan pertama itu, pertemuan-pertemuan saya dan  kontak saya dengan Mang Thob cukup sering, apalagi dengan adanya organisasi Peduli Asa Insan Sedesa yang beliau dirikan. 

Pertemuan-pertemuan kami berlangsung di rumah beliau, di kantor beliau di Al-Ikhlas Cipete, di mobil saat perjalanan  menuju ke Serang ke kediaman kang Taswad alias Kang Kewod, ke Rumah Sakit saat membesuk almarhum kang Atho, dan saat menemani beliau menjadi saksi pernikahan Ramdhany. 

Khusus ketika bertemu di rumah beliau,  Mang Thob selalu menyuguhi saya kue-kue khas Bantarwaru seperti rengginang, koci, dan sekali waktu pernah memberi gula batu dan telor asin. Tak lupa saat pamit pulang, saya kerap dibawakan dsemacam oleh-oleh berupa makanan-makanan khas Batarwaru itu.

Begitulah Mang Thob. Ia tidak pernah melupakan asal-usulnya, tanah kelahirannya, desa Bantarwaru yang sangat ia cintai dengan sepenuh hati.

Saat membicarakan Bantarwaru, semangat Mang Thob menyala-nyala. Ia bisa sangat geregetan dengan tokoh-tokoh Bantarwaru di perantauan yang terkesan masa bodoh dengan Bantarwaru. Raut wajah Mang Thob pun seketika berubah murung ketika memikirkan kaum dhuafa, fakir miskin di Bantarwaru.

Hubungan Bantarwaru dan Mang Thob sepertinya lebih dari sekadar hubungan antara desa dengan warganya. Bantarwaru adalah Mang Thob begitupun sebaliknya, Mang Thob adalah Bantarwaru. Mang Thob adalah darah daging Bantarwaru dan Bantarwaru dalam 10 atau 20 tahun terakhir tak bisa lepas dari peran Mang Thob.

Bagi saya pribadi,  Mang Thob telah berhasil 'memaksa' saya yang sebelumnya cuek pada kampung halaman,  menjadi lebih  mencintai Bantarwaru, lebih mengenal dekat warganya, dan lebih sering menjalin silaturahmi dengan warga Bantarwaru.

Akhirul kalam; Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.  Selamat jalan, Mang Thob. Selamat beristirahat. Terima kasih atas segala kebaikan yang pernah Mang Thob berikan kepada saya dan akan saya kenang selama-lamanya.

Semoga amal ibadah Mang Thob diterima oleh Allah SWT dan menjadi bekal bagi dilapangkannya jalan Mang Thob menuju surga-NYA. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya