Irony is the positive name which the melancholic gives to his solitude, his asocial choices. (Susan Sontag, Under the Sign of Saturn).
Pengantar
Di akhir 2017 atau mungkin 2018, saya lupa persisnya, sambil menenteng kamera saya mendatangi kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkaa Jakarta. Selain ada buka puasa bersama, di sana digelar acara tutup semester untuk Mahasiswa S2, sekaligus perayaan ulang tahun untuk sejumlah dosen termasuk, seingat saya, Prof. Dr.Franz Magnis Suseno, SJ, (Romo Magnis) Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. J. Sudarminta, SJ, Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi (Romo Lili), dan Dr. B. Herry-Priyono, SJ. (selanjutnya disebut BHP).
Berulang kali saya coba
merekam gerak-gerik BHP, berkali-kali juga BHP selalu terlihat tidak
nyaman, gelisah dan berusaha
menghindar. Sikap berbeda diperlihatkan
sejumlah dosen lain yang memilih cuek saat berkonfrontasi dengan kamera. Romo
Lilil bahkan tampak luwes berpose.
Tulisan ini bukan tentang
hiruk-pikuk acara tutup semester, melainkan tentang bagaimana sikap seorang BHP
saat berhadap-hadapan dengan lensa kamera dan dari cara BHP bersikap pada
kamera itu, saya akan menguraikan
kesan-kesan saya tentang BHP.
Kreativitas di Balik Kamera
Selain mampu menghadirkan
kembali masa lalu di masa kini, fotografi juga berkemampuan memasa-lalukan masa
kini. Lewat bidikan juru kamera, obyek-obyek usang akan selalu dikenali di masa
kini dan lewat mata juru kamera pula, obyek-obyek di masa kini, akan segera
menjadi masa lalu usai dipotret.
Mengacu ke pemikiran
Roland Barthes dalam Camera Lucida, melalui apa yang disebutnya sebagai
'spektrum fotografi,' praktik fotografi mencakup tiga unsur pokok yaitu juru
kamera, penyimak, dan target. Jika perhatian kita terpusat pada juru kamera,
maka kita akan berhubungan dengan suatu keahlian dan tujuan-tujuan tertentu dari juru kamera.
Sementara itu, jika
perhatian kita arahkan pada para penyimak potret, maka kita terhubung dengan
fungsi sosial dari produk fotografi yang
dapat disimak oleh khalayak ramai.
Terkakhir, jika fokus kita adalah obyek
yang dipotret, maka kita akan menemukan hubungan yang tampak eksploitatif
antara juru kamera dengan target
yang dipotret.
Kamera, dalam pandangan
sejumlah pemikir, sering dianggap
memiliki kemampuan melakukan objektifikasi secara agresif. Susan Sontag dalam On Photography, misalnya, menyebut kamera sebagai a predatory weapon, satu unit kamera, dalam bayangan Sontag, tak
ubahnya senjata pemangsa yang mematikan.
Lebih jauh, Susan Sontag mengatakan “Just as camera is a sublimate of the gun,
to photograph someone is sublimated
murder a soft murder, appropriate to a sad, a frightened time.”
Melalui fotografi, tatapan
mata juru kamera adalah jenis tatapan mata yang berkehendak melakukan
obyektivikasi. Kamera, meminjam istilah
yang sedikit teknis, bisa dan biasa mereduksi subyetivitas menjadikanya sekadar
obyek belaka, yang secara simbolik bisa dimiliki oleh orang lain (baca juru
kamera) untuk kemudian dimanfaatkan sesuka hatinya.
Sementara itu, obyektivikasi terjadi hanya ketika
komunikasi, sebagai perwujudan dari subyektivitas, disangkal oleh pihak-pihak
yang terlibat. Artinya, seumpama antara juru potret dengan target yang
dipotret ada suatu hubungan timbal balik yang mesra, obyektivikasi atau
penguasaan subyek atas obyek, barangkali bisa dihindari.
Selain itu, dari kaca mata
juru kamera dan penyimak foto, sebuah
foto yang bagus biasanya dihasilkan dari adanya
kesepahaman atau sikap saling
pengertian antara juru potret dan yang dipotret; Juru potret yang keren
dan berpengalaman biasanya akan mengutamakan empati dan 'rasa' saat memotret.
Pokok perkaranya barangkali bukan terletak pada adanya dua kutub berlawanan yang
mengatakan di satu pihak fotografi adalah medium
bagi berlangsungnya obyektivikasi atau dengan
lain perkataan fotografi “mematikan”
kekhasan subyek, dan di pihak lain fotografi
bisa “menghidupkan” subyek dengan cara
menonjolkan kekhasan-kekhasannya, tapi, yang perlu digaris-bawahi adalah perlunya sebuah sikap kreatif dan bertanggung
jawab terhadap fotografi.
BHP vs Kamera
Di hadapan kamera,
siapapun dia, akan merasa kikuk meski
hanya berlangsung sepersekian detik. Di hadapan kamera juga, karakter seseorang, dari sebuah pemeriksan
yang terperinci, akan bisa dikenali, seperti pernah dilakukan fotografer senior
Darwis Triadi saat dia mengatakan, “sudah ratusan ribu saya foto dan saya tau
betul membaca wajah dari pengalaman saya dan wajah Ahok adalah jujur, tegas,
dan komitmen.”
Ihwal BHP yang tampak tak nyaman dan terkesan selalu merasa terancam saat di hadapan kamera, bisa pembaca periksa pada beberapa fotonya di internet serta di sejumlah tayangan video di YouTube dan menampilkan BHP. Di sana akan terpampang jelas bagaimana mata BHP nyaris tak pernah menatap langsung ke arah kamera, bahkan ketika ia sedang melakukan diskusi virtual via aplikasi Zoom.
Keengganan BHP diabadikan
lewat kamera pernah disinggung B. Josie Susilo Hardianto dalam tulisan berjudul
Bertekun dalam Sepi (dalam A. Tri Nugroho dkk [ed], B. Herry
Priyono Dalam Kenangan, Ikatan
Alumni STF Driyarkara, 2021, hal, 61-62). B. Jossie Susilo Hardianto
mengisahkan pengalamannya saat menulis untuk rubrik Sosok koran Kompas dan dia
gagal mendapat foto diri BHP, hingga akhirnya visualisasi sosok BHP, hanya
muncul dalam bentuk karikatur berdasar salah satu foto BHP.
BHP, demikian Jossie
Susilo Hardianto, “tidak ingin terjebak dalam selebrasi dan menjadi selebritas.” B.
Jossie Susilo Hardianto juga menulis BHP
“ingin menyisihkan lebih banyak waktu untuk bergumul dengan buku, data, dan
statistik … baginya menghindar jauh
dari sorotan lensa dan cahaya studio membuatnya lebih bebas bergumul denga
isu-isu yang menjadi keprihatinannya.”
BHP sepertinya paham ada risiko tertentu di balik selebrasi dan
menjadi selebritas yang dimediasi oleh kamera. Walhasil, ia memilih menghindar.
Terlepas dari masalah selebritas dan selebrasi, yang diperantarai oleh perkakas
bernama kamera, ada perkara yang lebih mendalam
di balik praktik fotografi dan BHP.
Di lembar-lembar terakhir buku B. Herry Priyono dalam Kenangan, terdapat sejumlah foto BHP, dan dari delapan foto BHP, setidaknya hanya ada tiga foto yang menunjukkan BHP dengan wajah mengarah ke lensa kamera--itu pun saat BHP berfoto dengan sejumlah orang.
Pada foto tertanggal 14 Agustus 2014 BHP terlihat memicingkan mata, menatap ke arah kamera dengan tatapan mata yang khas BHP, “sinis tak sinis,” meminjam istilah dari Romo Magnis, seperti tertulis juga di buku B. Herry Priyono dalam Kenangan (Hal. 108).
Foto dari tahun 2001 di
Tana Toraja. BHP berdiri seorang diri di
teras sebuah rumah besar dengan
latar belakang sebuah pemandangan alam. BHP
tak beralas kaki. Tangan kiri BHP memegang pergelangan tangan kanan dan diletakkan di
depan perut.
Stola putih, penanda
sakramen imamat yang diterima dan dihayati BHP
sebagai seorang imam Jesuit, yang dikalungkan di leher terlihat
kontras dengan busana serba gelap yang
dikenakannya. Stola warna putih dipakai para
imam di Hari Raya Natal, Paskah, Hari Kamis Putih, Hari Raya Orang Kudus, atau
hari raya-hari raya khusus dalam liturgi
Gereja Katolik.
Wajah BHP tertunduk, seperti sedang merenung, terlihat murung, dan sedih. Juru kamera membidik BHP dari samping dan seperti biasa, tidak ada kontak mata langsung antara BHP dengan lensa kamera. Foto sepertinya diambil secara diam-diam. Sebuah foto yang sangat melankolis.
BHP dalam tulisan Kangen Kepada Tuhan (akan diulas lebih jauh di bawah) banyak
bicara tentang ketegangan yang selalu membayangi posisinya yang sekaligus sebagai
ilmuwan sosial dan imam Jesuit. Stola yang terkalung di leher terkesan begitu berat ditanggung BHP hingga tubuh BHP pun
terlihat ringkih dan menunduk. Tapi, ia berusaha
untuk tetap berdiri.
Suasana murung di foto BHP ber-Stola menyiratkan ketegangan antara di satu pihak sikap percaya
kepada Tuhan (iman) yang harus diutamakan oleh seorang agamawan di satu pihak
dan sikap skeptis dan kritis khas seorang
ilmuwan yang selalu bekerja dengan penalaran, data, statistika,
dan penelitian empirik di lain pihaknya. Kemurungan BHP di foto BHP ber-Stola
bisa jadi merupakan ekspresi ketegangan antara nalar/akal budi di satu sisi dan
iman kepada Tuhan di sisi lainnya.
Foto BHP ber-Stola ini
sangat dramatis. Foto ini berhasil mengungkap
karakteristik BHP yang kompleks; memiliki
kepekaan tinggi, terkesan sombong, serius,
hati-hati, cerdas, tertutup, penyendiri, keras kepala, konsisten, dan tanpa basa-basi.
Peziarah yang Melampaui
Melankoli
Kangen Kepada Tuhan (dalam B. Herry
Priyono Dalam Kenangan hal. 313-314)
adalah catatan yang dibuat BHP sehari sebelum BHP
menghembuskan nafas terakhir pada 21 Desember 2020 karena serangan
jantung di usia 60 tahun. Romo Magnis,
salah seorang mentor penting BHP, melukiskan kabar meninggalnya BHP yang mengejutkan banyak
pihak itu dengan kalimat “seperti kilat di hari cerah.”
Catatan Kangen Kepada Tuhan dibuka dengan tulisan “Ya … itu terasa sebagai
sebuah kekosongan yang pedih. Tapi, setelah jatuh-bangun melalui banyak krisis
besar, lambat laun saya punya cara sendiri.”
Sulit untuk tidak
merasakan adanya suasana melankolis
dalam tulisan “Kangen Kepada
Tuhan” yang sangat personal dari BHP ini.
“Kekosongan yang pedih,” lalu “jatuh bangun melalui banyak krisis besar,”
terdengar seperti sebuah pengakuan akan adanya pergulatan batin yang dahsyat dan beban
hidup amat berat, yang harus dipikul BHP
sendirian. Seorang melankolis , demikian
tulis pemikir mutakhir asal Inggris Alain
de Botton, tidak sekadar mengetahui dimensi tragis dari insight-insight mereka tapi juga berani menanggungnya seorang diri.
BHP menulis, “‘Kangen Kepada Tuhan’itu juga membuat saya
perlahan belajar bahwa tidak pernah ada situasi ideal. Situasi selalu
situasional. Artinya, tidak permah terjadi sepenuhnya apa yang saya inginkan…”
BHP mafhum segala sesuatu
yang terjadi di dunia, tak selalu berjalan sebagaimana seharusnya
seperti yang ia cita-citakan. Sebaliknya, kenyataan di sekitar BHP kerap
melenceng jauh dari apa yang ia bayangkan sebagai yang ideal. Kendati demikian, BHP juga menolak untuk
menanggapi situasi tidak beres, bahkan cenderung brengsek itu, dengan tindakan-tindakan ekstrim berbalut kemarahan yang frontal.
BHP memilih melakukan orkestrasi antara antara
yang idealistis dengan yang realistis.
Sikap BHP menunjukkan
kekhasan seorang melankolis yang, karena
kecakapan dan kedalaman wawasan keilmuannya, mengetahui dimensi-dimensi realitas secara jauh
lebih luas bila dibandingkan dengan orang kebanyakan. Ia adalah seorang pembaca
tanda-tanda zaman yang jempolan.
BHP menegaskan
“Maka mari peluk ciri terbatas situasi! Mari peluk kondisi yang
selalu terbatas ini! Peluklah ketidak-terjadinya
kepenuhan ini! Yaa mari kita peluk kegembiraan hanya dengan Anugerah Kangen
Kepada Tuhan” saja! Itu sudah cukup bagi saya bukan hanya untuk hidupi kondisi
terbatas (karena pandemi ini), tetapi
juga untuk tetap mengalami bahwa Dia menuntun saya. Maka, saya juga dekati
dengan mata batin “keterbatasan” dan ciri tidak ideal situasi, dan saya tidak
kehilangan kegembiraan batin.”
BHP yang menyebut dirinya seorang peziarah itu, dikenal
luas sebagai imam Katolik dari ordo Yesuit, ilmuwan, penulis, pemikir, aktivis,
dan akademisi. Aneka penyebutan untuk BHP
menyiratkan kesan BHP tidak hanya terpaku pada satu bidang kajian. Kendati
demikian, BHP bukanlah seorang yang hanya mengetahui suatu pengetahuan
sekadar dari kulit permukaannya belaka. Ia menekuni semuanya sejauh masih
berada di aras refleksi kritis dan radikal khas modus berpikir filosofis.
BHP di catatannya Kangen
Kepada Tuhan mennulis “Sebagai
Jesuit, saya memeluk mistik hidup dalam tegangan; antara sorga dan dunia,
antara kontemplasi dan aksi, antara yang tak terbatas dengan yang terbatas.
Yang pertama bukan musuh yang kedua, yang kedua bukan musuh yang pertama.”
BHP merelakan dirinya tetap terbuka bagi berbagai
diskursus, aneka disiplin ilmu dan arus gagasan-gagasan
besar. BHP tampaknya berpandangan hanya dengan cara seperti itu dia tetap
bisa berkiprah merawat kehidupan dan membela kemanusiaan di tengah
situasi-situasi yang melulu tidak ideal.
Melalui jalan “mistik
hidup dalam tegangan,” BHP terselamatkan
dari kemalangan eksistensial seperti banyak dialami para melankolis seperti
salah satunya oleh sang melankolis, pemikir
dan kritikus terkemuka Walter Benjamin, yang diyakini banyak pihak memilih mati
bunuh diri di usia 48 tahun.
Susan Sontag dalam tulisan
berjudul Under the Sign of Saturn yang mengulas karakter melankolis pemikiran dan sepak
terjang Walter Benjamin, pernah menulis
begini; “ Benjamin menempatkan dirinya pada persimpangan
jalan (crossroads). Hal ini penting baginya untuk tetap berada di banyak
‘posisi;’ teologis, surealis/estetis, komunis. Satu posisi mengoreksi yang
lain; dia memerlukan semuanya.”
Berada di banyak posisi
dan hidup dalam buaian ketegangan,
sementara Walter Benjamin harus tumbang dalam kemalangan di akhir hayatnya, tapi
tidak demikian halnya dengan BHP seperti
saat dia menulis “saya tetap lihat wajah
Tuhan dalam tegangan itu, dan saya tetap dengar suara-Nya dalam tegangan dua
kutub itu. ” Lugasnya, BHP “tidak
kehilangan kegembiraan batin.”
Orang-orang melankolis sering dikatakan
terlahir “di bawah tanda Saturnus.” Saturnus
sendiri adalah bintang terjauh yang dapat diketahui dari planet bumi. Saturnus
sering diasosiasikan dingin, bayangan,
dan kematian. Tapi, Saturnus, kata
Alain de Botton, “juga berkaitan dengan kekuatan untuk menginspirasi
pencapaian-pencapaian luar biasa di bidang pemikiran dan imajinasi.”
Ya. Kekuatan terbesar BHP adalah
dalam hal memberikan inspirasi bagi
orang-orang terdekatnya. Daya inspiratorial BHP
terrekam dalam sebuah buku berjudul B. Herry Priyono dalam Kenangan Kami (A. Tri Nugroho dkk [ed], Ikatan Alumni STF
Driyarkara, 2021). Di buku setebal kebih
dari tiga ratus halaman ini, pembaca akan menemukan begitu banyak cerita,
kesaksian, insight dari berbagai pihak yang pernah berinteraksi dengan BHP;
para mentor, anak didik, kolega, keluarga, dan masih banyak lagi.
Kebanyakan kontributor
tulisan di buku ini mengaku sangat terkesan dengan kecerdasan BHP, sosok yang pernah
menyandang predikat sebagai mahasiswa terbaik
di LSE (London School of Economics and Political Science). Mereka merasa berhutang banyak pada BHP melalui
caranya mengajar, menulis, gerak-gerik, hingga
kebiasaan-kebiasaannya di keseharian.
Tangan dingin BHP berhasil membangkitkan jiwa-jiwa yang sebelumnya “minder” menjadi sangat penuh percaya diri. Tidak sedikit yang nyaris tersesat dalam studi, akhirnya terselamatkan oleh sentuhan ajaib BHP. Di sini BHP tak ubahnya juru selamat.
Komentar
Posting Komentar