Sebelum menyukai tulisan-tulisannya, yang kata Jakob Oetama seperti "berdesak-desakan, berkeringat, dan berurai air mata", saya lebih dulu terkesan dengan nama penulisnya: Sindhunata.
Kendati tak tahu persis apa arti
dari nama tersebut, nama Sindhunata menarik
perhatian saya karena secara kebahasaan seperti
ingin menyelaraskan dua unsur yang terdengar bertentangan.
Pokok perkaranya ada pada huruf
“u” dan “a” di nama Sindhunata.
Huruf “u” yang mengekspresikan
suasana minor, sendu sedan dan kegelisahan disejajarkan dengan huruf “a” yang
merefleksikan suasana mayor yang ceria, gembira, kasmaran dan berpengharapan. Penyejajaran dan
penggabungan huruf “u” dan “a” dalam kata Sindhunata, jika dibaca akan membentuk
satu-kesatuan kata yang puitik dan enak
didengar.
Dari sebaris nama Sindhunata,
kita bisa menarik suatu pandangan bahwa
di setiap suka selalu menyusup duka dan
di setiap duka kerap terselip suka. Kebahagiaan,
jika kita andaikan sebagai sebuah
mozaik, bisa terjadi ia tersusun dari sepihan-serpihan kesedihan. Sebaliknya, kesedihan mungkin saja ia tercipta dari kepingan-kepingan kebahagiaan.
Yang tersirat dari paparan di
atas kira-kira adalah dalam suka ataupun
duka hindarilah “euphoria,” sisakanlah selalu ruang untuk selalu “eling” dan “waspada,” hingga
tercipta suatu sikap berkata “ya” kepada takdir,
seperti ciri-ciri umum yang selalu melandasi
tulisan-tulisan Sindhunata (selanjutnya disebut Romo Sindhu).
Awal-awal mukim di Ciputat, sekitar 1999an, saya sudah
kepincut tulisan-tulisan Romo Sindhu di koran Kompas, majalah Basis, serta buku-buku
karyanya, baik novel maupun yang bernada studi;
Saya menikmati silang pendapatnya
dengan Gus Dur tentang sepak bola, tulisan panjangnya tentang Dick Hartoko, ulasannya
tentang musisi legendaris Leo Kristi, perjumpaannya dengan Pramoedya
Ananta Toer di Pulau Buru, karangannya tentang Rene Girard, Teori Kritis Mazhab
Frankfurt, testimoni mendalamnya tentang Romo Magnis, dan terakhir
kesan-kesannya tentang Didi
Kempot.
Kritik yang selalu ikut serta dalam tulisan-tulisan Romo Sindhu disampaikan secara
bersahaja sehingga pembaca tidak akan mengira bahwa apa yang ditulis Romo
Sindhu pada dasarnya adalah sebuah kritik mendasar terkait adanya krisis kemanusiaan. Walhasil, tulisan-tulisan
Romo Sindhu berada dalam persimpangan antara sikap kritis di satu sisi dengan adanya situasi
kritis dalam arti genting, di sisi lainnya.
Sindhu Sekoel
Sabtu, 4 Desember 2021 saya berjumpa Romo Sindhu. Mendengarkan penjelasannya tentang Sindhu Sekoel yang diinisiasinya.
Sindhu Sekoel terletak di salah
satu sudut Omah Petroek, komplek museum dan situs kebudayaan yang terletak
di Jalan Kaliurang, Sleman, Jogjakarta. Di Sindu Sekoel tersimpan berbagai memorabilia terkait kiprah dan sepak
terjang Romo Sindhu sebagai wartawan, akademisi, sastrawan, budayawan, hingga tokoh
religius.
"Sekoel itu plesetan dari school.
Sekoel diambil dari bahasa Jawa yang
berarti nasi, makanan pokok kebanyakan orang Indonesia." Begitu Romo menerangkan nama Sindhu Sekoel.
Romo Sindhu mewanti-wanti, Sindhu
Sekoel bukanlah tentang dirinya. Tapi tentang kerja dan karyanya seperti kerja
dan karya orang kebanyakan yang menempuh jalan seperti Romo Sindhu. Dari apa yang ada di Sindhu Sekoel, kata Romo
Sindhu, diharapkan bisa menginspirasi banyak orang, menjadi 'nasi' bagi
khalayak ramai.
Meski Romo Sindhu menampik anggapan
Sindhu Sekoel adalah tentang dirinya,
tapi cukup sulit untuk tidak memaknai Sindhu Sekoel sebagai penjelmaan dari
jejak-jejak perjalanan panjang Romo Sindhu
sebagai manusia multidimensional, sebagai rohaniwan Katolik, budayawan, jurnalis, akademisi, pengarang, maupun sastrawan.
Memasuki ruangan Sindhu Sekoel, pengunjung akan langsung disergap vibe (meminjam istilah anak muda jaman sekarang) “yang gak karu-karuan” dalam konotasi yang positif tentunya. Atmosfir aneh terpancar dari aneka benda-beda yang terdapat di dalamnya.
Berbagai perabotan yang kita
kenal di keseharian bertukar tangkap dengan benda-benda yang
disakralkan—terutama bagi para pemeluk teguh
Katolik— seperti salib, patung Bunda Maria, Yesus, sumur keramat, hingga patung-patung
dari tradisi Tiongkok.
Di Sindhu Sekoel, yang sakral dan yang profan berseliweran memenuhi tiap sudut ruangan. Alih-alih saling bertubrukan keduanya
membentuk keselarasan yang indah dan menggetarkan.
Di dalam Sindhu Sekoel, lukisan
besar Romo Sindhu dengan ibunda dalam suasana bahagia, berhadap-hadapan langsung
dengan lukisan filosof Jerman Friedrich Nietzsche
yang hanya terpisah jarak sekitar dua Langkah. Di dalam lukisan, filsuf
berkumis tebal itu telihat ringkih dalam posisi berdiri ditemani ibunda yang merangkulnya dengan penuh
kasih.
Nietzsche seperti mendapat tempat istimewa di hati Romo Sindhu. Pasalnya di Sindu Sekoel, selain lukisan, patung Nietzsche dalam posisi tidur meringkuk di sebuah kursi kayu, juga hadir di sini.
Di hadapan patung dan lukisan
Nietzsche, di bawah lukisan Romo Sindhu dan ibunda, juga terdapat mesin jahit
zaman dulu yang masih tampak bagus dan bersih—barangkali mesin jait yang pernah
dipakai ibunda Romo Sindhu di masa lalu.
Di Sindhu Sekoel kita juga akan
mendapati poster besar wajah para pemain sepak bola legendaris dunia
seperti Pele, Platini, Maradona, dll; ada juga wayang kulit dan cetakan koran
Kompas yang diperbesar juga menghiasi ruangan Sindhu Sekoel. Kamera tua
dan alat tulis serta perabotan khas jurnalis lainnya tersimpn
rapi di sebuah lemari kecil.
Foto Pram dalam pose ikonik berkaus oblong putih sedang serius mengetik, hasil jepretan Romo Sindhu tergantung di dinding. Sementara itu, di salah satu sudut ruangan Sindhu Sekoel terdapat miniatur sumur kitiran mas yang menjadi salah satu tempat keramat di Pakem, Jogjakarta.
Dengan menempatkan benda-benda keramat
dengan benda-benda non-keramat di dalam
satu ruangan, Romo Sindhu seperti ingin menunjukkan bahwa yang sakral dengan
yang profan dapat berdiri sejajar tanpa ada kesan satu sama lain ingin
saling mendominasi atau menjatuhkan.
Sebagai seorang religious
berlatar Katolik, apa yang dikerjakan Romo
Sindhu lewat Sindhu Sekoel bukannya tanpa sebuah pendasaran teologis. Di
karangannya tentang Romo Magnis (2006), misalnya, Romo Sindhu menulis ihwal kultur mistik yang “tidak menganggap remeh dunia
ini.”
Alasan Romo Sindhu, “Kalau hubungan manusia dengan yang terdalam dengan Allah itu adalah mistik, dan karena dunia ini adalah tempat persembunyian-Nya, maka dunia ini pula tempat, di mana mistik itu terjadi, dan suatu kultur mistik untuk manusia bisa dibangun.”
Sebagai seorang penulis, Romo Sindhu
tidak hanya jeli menangkap setiap momen, bahkan yang paling kecil sekalipun. Romo
Sindhu juga terampil menggali, menguraikan dan merincikan apa yang ada dan
menggejala di setiap momen yang ia jumpai.
Dari setiap penggalian dan perincian yang dilakukan Romo Sindhu, terpancar sesuatu yang lain, yang barangkali tak terpermanai melalui perangkat-perangkat formal-rasional kecuali mungkin lewat jalan penghayatan. Jalur penghayatan inilah saya kira yang ditempuh Romo Sindhu saat ia menggumuli sesuatu yang barangkali tak bisa ia “tuliskan” namun selalu mampu ia “baca.”
Komentar
Posting Komentar