Kehadiran massa dalam jumlah yang sangat akbar tak pernah dibiarkan berlalu begitu saja oleh pihak-pihak tertentu termasuk para politisi dan para pemilik modal dan juga lainnya.
Pada mulanya, pulang kampung
mungkin suatu tindakan “biasa-biasa”
saja; seseorang yang mencari nafkah di kota, untuk sementara waktu merasa
perlu pulang ke daerah asal, melepas
rindu pada keluarga dan syukur-syukur,
dari hasil kerja keras di kota itu, bisa
berbagi rezeki dengan keluarga di kampungnya.
Kebetulan, periode libur
yang cukup lama hanya terdapat di
sekitaran hari raya Idul Fitri. Maka, jadilah pulang kampung paling sering
dilakukan menjelang hari raya, tepat di hari raya dan beberapa hari setelahnya.
Dari ranah yang sangat populer
kita temukan lagu Selamat Hari Lebaran
dari tahun 50an yang ternyata di
lirik lagu tersebut tak sekalipun menyebut kata pulang kampung alias mudik di
dalamnya.
Pada bagian-bagian tertentu, lagu
ini secara karikatual dan
"nyinyir" melukiskan perbedaan
gaya antara orang kota dan warga desa dalam merayakan lebaran. Begini
bunyi potongan lirik Selamat Hari Lebaran;
//Dari segala penjuru mengalir ke
kota// Rakyat desa berpakaian baru serba indah// Setahun sekali naik terem listrik perey//
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore//
Libur Lebaran di desa ditandai
adanya pelesir orang-orang desa ke kota (dengan kata lain, bukan orang-orang
kota yang berasal dari desa kembali ke kampung halaman), sementara itu, bagi
orang kota, libur lebaran dijadikan kesempatan untuk foya-foya; //Cara orang
kota berlebaran lain lagi// Kesempatan
ini dipakai buat berjudi// Sehari semalam main ceki mabuk brandi//
Lirik di atas menggambarkan
bagaimana lebaran dijalani sebagai momentum untuk liburan, selain tentu
saja untuk //Berjabatan tangan sambil
bermaaf-maafan// Hilang dendam habis marah di hari lebaran// Di lagu ciptaan
Ismail Marzuki ini nyaris tidak ada upaya untuk mengidentikan lebaran dengan
pulang kampung.
PULANG KAMPUNG KE MUDIK
Pulang kampung yang awalnya
merupakan tindakan biasa-biasa saja,
dari orang-orang biasa, para
pejuang keluarga dan para pengembara
tanpa nama alias anonim itu, tampaknya
baru mengalami perubahan radikal
bersamaan dengan mulai sering dipakainya istilah mudik sebagai sinonim untuk
pulang kampung.
Lebih dari sekadar istilah, mudik
pun telah menjelma, meminjam istilah klasik sosiolog Emile Durkheim, sebagai
"fakta sosial." Walhasil, mereka yang karena satu dan lain hal harus
gagal mudik akan dicap tak tahu diri, merasa tertekan, terasing dan galau.
Pemudik di musim Lebaran nyaris
selalu memeroleh privilese yang
sebelumnya hampir-hampir tidak pernah didapat saat mudik dalam arti pulang
kampung, di luar musim Lebaran.
Puluhan bahkan mungkin ratusan
bus disediakan untuk para pemudik lewat pogram “mudik gratis” yang disponsori
oleh perusahaan pemerintah, swasta dan bahkan organisasi massa. Kepergian para
pemudik ke kampung halaman di acara mudik gratis, seringkali dilepas oleh para
pejabat dan bahkan para politisi.
Sejumlah pos penjagaan didirikan petugas polisi di beberapa titik yang akan dilalui pemudik dengan alasan keamanan dan kelancaran arus mudik. Tak lupa, reporter televisi yang bertugas di lapangan sesekali mewawancara para pemudik untuk mengetahui kesan-kesan mereka jalani mudik di tahun ini, sebuah pemandangan yang sangat jarang dijumpai di luar masa-masa mudik Lebaran.
Transformasi "pulang kampung" yang terkesan
organis menjadi "mudik," yang
lebih terstruktur, sistematis dan
massif itu memiliki implikasi mendalam. Pasalnya, kegiatan mudik mulai
disusupi berbagai kepentingan, baik
kepentingan ekonomi, politik maupun lainnya.
Di atas kendaraan dalam
perjalanan mudik, saat para pemudik
mulai membayangkan tanah kelahiran,
melamunkan wajah orang-orang tercinta
dan merancang rencana kegiatan apa saja
yang akan dikerjakan selama di kampung, jauh-jauh hari, para politisi dan
pemilik modal sudah memutar otak mengatur strategi bagaimana para pemudik yang
jumlahnya mencapai puluhan juta orang itu
tak sampai lolos dari kepentingan-kepentingan mereka.
Dalam konteks mudik gratis, para
peserta biasanya selain mendapat tumpangan secara cuma-cuma, mereka juga
mendapat uang saku, t-shirt, makan dan minum yang telah disediakan panitia.
Tentu saja di setiap merchandise yang diperoleh peserta mudik gratis selalu terpasang logo-logo sponsor mudik
gratis.
Mudik gratis ternyata tak pernah
benar-benar gratis karena di balik mudik gratis, berlangsung sebuah keputusan
strategis bagaimana para peserta bisa dikalkulasikan, dimanipulasi dan dikuasai
melalui pesan-pesan sponsor.
Perjalanan mudik menempuh jarak
puluhan kilo meter, diam-diam ditingkahi
narasi dominasi penyelenggara
mudik gratis terhadap pesertanya.
Pemudik menjadi subyek kehendak dan kekuasaan yang nyaris tak berujung.
Mudik menjadi satu tarikan nafas
dengan bulan puasa dan kemudian berpuncak di hari raya. Narasi dominasi dalam
rupa-rupa komodifikasi berlaku pada ketiga momen tersebut.
Iklan-iklan di acara-acara
televisi, konten-konten di media sosial lintas palform penuh sesak dengan narasi-narasi komersialisasi; busana
muslim/muslimah baru, aneka makanan dan minuman berbagai merek, keseluruhan
narasi di ruang-ruang publik itu diam-diam berusaha mengasingkan
individu-individu dari orientasi atau tujuan hakiki dari jenis-jenis peribadahan
yang lazim di bulan puasa. Komodifikasi menyeluruh berpeluang mengganggu
kekhusyukan ibadah.
Taktik Mengatasi Strategi
“Semakin bertumbuh kekuasaan, semakian berkurang
kemampuan dirinya memobilisasi sebuah bagian dari sarana-sarana kekuasaan yang
dimiliki dalam rangka memproduksi efek-efek penipuan,” begitu kata Jendral
Prusia Karl von Clausewitz seperti dikutip Michel de Certeau (1980), teoritisi
yang konsepsinya tentang strategi dan taktik
menjadi landasan teoritis tulisan yang sedang Anda baca ini.
Melalui pandangan Clausewitz kita
bisa meraba sebuah kemungkinan bagi tersedianya jalur titik balik sehingga
tercipta peluang untuk, setidaknya mengambil sikap oposisional terhadap dominasi melalui apa yang disebut Michel de
Certeau sebagai taktik, yang dimaknainya sebagai "seni bagi kaum
lemah" yang terdominasi.
Jika pihak dominan melancarkan
kuasanya lewat strategi maka pihak yang terdominasi berusaha mengimbanginya
lewat taktik. Menurut Michel de Certeau
taktik harus bermain dengan wahana yang dipaksakan kepada pihak yang
terdominasi karena kuasa straregi begitu menyeluruh.
Taktik masih menurut de
Certeau mengandaikan sebuah pergerakan
dalam arena visi musuh dan dalam ruang yang dikendalikan olehnya. Artinya,
sikap oposisisional pada pihak dominan mau tidak mau harus mengikuti formula
yang telah disediakan kaum dominan alias penguasa.
Strategi selalu berupaya
meringkus ruang gerak kaum yang terdominasi tapi cenderung abai pada waktu. Sebaliknya,
taktik menempatkan nilai dasar perjuangannya pada pemanfaatan waktu secara
cerdas. Ketika ruang gerak begitu terbatas maka tindakan paling mungkin
digunakan adalah dengan tidak menyia-nyiakan waktu.
Idealnya, rentang waktu di bulan
puasa disusul kemudian dengan momen mudik dan Lebaran yang kadung dikuasai
berbagai kepentingan itu, bisa dimaksimalkan
untuk kepentingan diri umat Islam sendiri untuk bisa meningkatkan kadar, katakanlah,
keimanan masing-masing, kesalehan sosial dan kreatifitas dalam kesadaran dan
pengalaman beragama, bukan malah larut dalam logika yang dibangun (baca
dipaksakan) oleh “para pendekar berwatak jahat” yang mau mengasingkan para
pemeluk agama (Islam) dari nilai-nilai fundamental ajaran agamannya.
Begitu kurang lebihnya. Selamat
hari raya Idul Fitri Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Komentar
Posting Komentar