Langsung ke konten utama

SUSAN BOYLE, VIRALITAS, DAN PARADIGMA BARU MEDIA


Viral itu virus. Artinya,  viral itu bukan menyerupai virus, viral itu sendiri adalah virus setidaknya kalau dilihat dari akar katanya yang menurut beberapa literatur sama-sama berarti--dalam artinya yang arkhaik dan medik--sebagai penyakit atau wabah. 

Apakah virus selamanya merugikan?  Bagi sebagian orang virus   akan dianggap sangat merugikan, misalnya saat  muncul berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus atau  ketika viral sejumlah expose dari warga via medsos tentang berbagai penyimpangan yang dilakukan aparatur negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi warga malah membikin repot warga. 

Dalam arti di atas, virus, meminjam lirik lagu Slank, bisa seperti  "api yang membakar hatimu" dan bisa "seperti  duri yang melukaimu."

Tapi, virus juga bisa memberikan manfaat semisal untuk proses pembuatan vaksin yang berguna bagi  pengobatan pasien, yang sakit karena terinfeksi oleh virus tertentu.  

Diskusi tentang virus ternyata bisa berfaedah untuk pekerja media yang berkeinginan agar konten-konten yang diproduksinya  mampu menyebar cepat secepat penyebaran virus. 

Begini ceritanya.

Tersebutlah seorang perempuan paruh baya bernama Susan Boyle yang mengadu nasib dengan mengikuti ajang pencarian bakat  Britain's Got Talent Musim 2009. Susan Boyle yang awalnya dipandang remeh oleh kawanan juri dan juga penonton di studio, pada penampilan audisinya  dia ternyata mampu menyihir para juri dan audiens dengan olah vokalnya yang  menggetarkan bahkan sejak detik pertama  Susan Boyle membuka mulut menyanyikan lagu indah "I Dreamed a Dream."

Kesuksesan Susan Boyle langsung memicu  histeria di dunia maya. Seorang warganet mengunggah ulang rekaman video audisi Susan Boyle yang  hingga tulisan  ini dibuat,  video unggahan dari warganet bernama Davy Leyland  di YouTube telah ditonton oleh lebih dari 261 juta orang.  

Yang menarik adalah jumlah  ini berhasil mengalahkan jumlah penonton pada video audisi Susan Boyle yang diunggah oleh akun medsos resmi Britain's Got Talent yang hanya mampu  meraih jumlah penonton sebanyak 11 jutaan penoton. 

Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari penjelasan-penjelasan di atas? 

Pertama, YouTube adalah media sosial berbagi video yang dari awal dirancang agar konten-kontennya bisa disebarluaskan oleh para pengguna. Perhatikan jargon yang selalu diutarakan para Youtuber "jangan lupa subscribe, like, comment dan share ya guys" begitu kira-kira bunyinya. 

Di situ ada kata share toh? Nah. kemudahan untuk me-share pun semakin menjadi-jadi di berbagai platform media sosial lain seperti TikTok, Instagram, Twitter dll termasuk dengan memangkas durasi video menjadi lebih pendek dan ramah audiens. Pada  titik inilah  terjadi perubahan paradigma reproduksi konten media sosial secara besar-besaran, demi konten yang diprodoksu mencapai level viral.  

Poin untuk pelajaran pertama  ini adalah konten-konten yang diproduksi mesti benar-benar memiliki keterikatan emosional   dengan audiens, sehingga audiens kelak dengan sukarela  menggerakan jemari menyebarluaskan konten-konten yang diproduksi oleh sang kreator konten tertentu.

Pelajaran kedua, pergeseran paradigma juga terjadi dalam hal penentuan target audiens.  Jika sebelumnya industri media cenderung menyasar audiens dengan segmentasi tertentu, dengan kata lain bersifat segmented, maka  target audiens kali ini bersifat cair dalam artian mengikuti pergerakan  yang terjadi di tingkat akar rumput, jenis-jenis audiens-audiens yang tersebar di berbagai penjuru dan seringkali sulit dikategorikan.

Terkhir,  sebagai pelajaran ketiga adalah  pergeseran  paradigma dalam hal penyampaian informasi  seperti dilukiskan  di atas, terjadi dalam skema yang disebut oleh para pakar kajian media mutakhir sebagai  "budaya partisipatoris" (participatory culture); dalam budaya partisipatoris ini  orang cenderung memahami  publik bukan sebagai konstruksi awal  untuk konsumen sasaran dari pesan-pesan tertentu, melainkan sebagai orang-orang dengan kecakapan melakukan pembentukan, penyebaran, pembingkaian dan penggabungan kembali konten-konten media. 

Fenomena ini,sejauh saya ikuti, termasuk baru dalam dinamika produksi dan reproduksi konten-konten di media. Risiko yang mengintai di balik fenomena baru ini adalah masalah pembajakan hak cipta, topik yang tidak ingin saya bahas di sini. 

Akhirul kalam, mengapa viralitas yang konsisten, yang diburu banyak  pihak itu termasuk  susah  diraih? 

Terlepas dari masalah teknis seputar algoritma dan utak-atik SEO, tampaknya karena kesulitan tersebut  menyangkut  adanya  perubahan  paradigma baik dari pihak  audiens dalam menerima pesan-pesan maupun dari pihak kreator dalam penyebaran konten-konten media yang nyaris tidak ada presedennya di masa lalu. Perubahan paradigman ini tentunya menuntut  adanya perubahan 'mindset' khususnya bagi  insan-insan yang mendaku diri sebagai kreator konten. 

Viral itu virus dan virus itu bisa sangat merugikan  tapi pada saat bersamaan bisa  bermanfaat juga. Semua tergantung Anda, apakah mau menjadi virus yang bisa melumpuhkan atau virus yang menghidupkan. 

(Khudori Husnan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya