Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Montage

Montage (sering dilafalkan montase, dari bahasa Prancis) adalah istilah teknis pembuatan film setelah proses syuting selesai dilakukan dan mulai masuk ruang editing. Montage mencakup beberapa tipe yaitu kontras, paralelisme, simbolisme, keserentakan, dan "leitmotif" (pengulangam tema). Maksudnya kira-kira begini. Dari sudut seorang pembuat film, ketika menghadapi beberapa gambar berbeda, yang diperlukan kemudian adalah cara bagaimana gambar-gambar tersebut disejajarkan, "dijembreng,"  serta terikat menjadi satu kesatuan menjadi narasi film. Cara ini ditempuh  tak lain demi menghadirkan efek psikologis tertentu pada penonton misalnya sedih, bergairah, gembira, murung, takut, marah, galau dan lainnya; dalam kata-kata Pudovkin montage merupakan "metode yang mengendalikan 'panduan psikologis' bagi penonton."  Tipe-tipe montage yang telah disebut di awal tulisan dapat disebut sebagai, katakan prinsip, bagi sebuah penyatuan gambar-gambar dalan ...

"Perjalanan Waktu", Kontemplasi Musikal Yockie Suryo Prayogo

Bersama Guruh Soekarnoputra, Chrisye (Alm), Keenan Nasution, dan Fariz RM, Yockie Suryo Prayogo adalah pelopor pembiakan musik yang tak sekadar mengikuti arus. Orang-orang ini adalah musisi dengan semangat penciptaan melalui kontemplasi artistik terlebih dahulu; tak sembarangan berbuat tanpa melalui pendalaman; menoleh pasar sebagai pertimbangan akhir. Mengacu pada pendapat Martin Hatch (1983), posisi Yockie berada pada lahan pop berat ( heavy pop ) dimana salah satu kriterianya terletak pada lirik lagu yang puitik, panjang dan rumit karena bertumpu pada pemilihan diksi yang tak akrab dalam bahasa umum. Ini berbeda dengan pop ringan ( light pop ) yang liriknya mudah dicerna seperti pada lagu-lagu Koes Plus, A Riyanto, dan Rinto Harahap. Kriteria lainnya menurut Hatch, pop berat akrab dengan improvisasi musikal hingga tak jarang dituding sebagai anomali dalam perspektif musik pop di Tanah Air. Bukti mutakhir adalah album Yockie bertajuk Perjalanan Waktu (Greenland Indonesia, 2...

Suluk Sungai, Tubuh-tubuh yang Mengembara

Pertunjukan Suluk Sungai  Ahad, 30 Oktober 2016 di  Hutan Kota Sangga Buana, Lebak Bulus, Jakarta Selatan   menandai dimulainya rangkaian acara  Indonesian Dance Festival (IDF) 2016. Suluk Sungai karya Abdullah Wong  adalah sebuah sajian seni tari  yang berkehendak memperlihatkan  adanya saling-silang  antara tubuh dengan dunia sekitar. Suluk Sungai   berkisah tentang  takdir tubuh serta penghayatan atas takdir tersebut. Pertunjukan dibuka dengan  adegan empat tubuh  terbungkus rapat  plastik tebal, teronggok   di pucuk empat batang pohon besar yang terpancang di beberapa titik  kubangan air  setinggi lutut. Selain keempat tubuh tersebut, terdapat satu tubuh lain yang berbalut kain putih; tubuh ini yang bergerak bebas, mengamati secara seksama   gerak-gerik tubuh-tubuh terbungkus plastik, dari balik pohon di tepi kubangan.  Tubuh terbalut kain putih, pelan tapi pasti menuru...

Bergerak Bersama Puisi (Pikiran Rakyat, 03/05/09)

"Menjadi penyair hebat harus juga menjadi audiens yang mumpuni" - Walt Whitman RISALAH Damhuri Muhammad "Kesadaran Puitis & Politik" (Pikiran Rakyat, 5/4) menyiratkan keterpesonaan pada Demonstran Sexy (2008) Binhad Nurrohmat. Sebaliknya Yopi Setia Umbara lewat "Dam, Dam, Dam"(Pikiran Rakyat, 19/04/09), meski judul tersebut terkesan melecehkan Damhuri, sepaham dengan Damhuri terkait kesejajaran kedudukan puisi dan politik yang diangkat keduanya. Pablo Neruda dikutip Yopi sebelum menyudahi tulisannya. Neruda, salah satu puisinya berjudul "Coretan-coretan untuk Lenin," termasuk penyair besar yang syair-syairnya baik "formal" maupun "materi" terpusat pada relasi timbal-balik antara puisi dan politik yang ini berbeda tajam dengan ekspresi seni yang "terkesan" harus steril dari kepentingan politik. Tema ini dalam sejarah seni abad ke-19 lampau disebut "Seni untuk Seni." "Seni untuk Seni,...

Detektif di Ladang Sastra (Pikiran Rakyat, 31/10/2010)

Dari cara pandang Binhad Nurrohmat kritik sastra selalu perspektif ("Kritik dan Hama Sastra", Pikiran Rakyat, 19 September 2010). Menurut dia, "perspektif selalu punya batas; dan kritik sastra dibatasi perspektifnya. Tiada perspektif total-sempurna." Dua pekan dari tulisan tersebut Maman S. Mahayana menjawab "perspektif dalam kritik sastra bukanlah pendekatan ... Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, relatif, dan perspektif." ("Seolah-olah Kritik Sastra", Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2010). Dua tulisan tersebut berhasil memicu hasrat untuk memikirkan kembali peran kritik dan kritikus sastra. Atas pernyataan Nurrohmat di atas Mahayana wajib resah karena bila penyataan tersebut diterima sepenuhnya kemungkinan besar kurikulum sastra dan kritik sastra semakin jauh terabaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jika ruang lingkup kritikus sastra direduksi menjadi sekadar ilmu perspektif maka semua orang, dengan ...