Bersama Guruh Soekarnoputra, Chrisye
(Alm), Keenan Nasution, dan Fariz RM, Yockie Suryo Prayogo adalah pelopor pembiakan
musik yang tak sekadar mengikuti arus. Orang-orang ini adalah musisi dengan
semangat penciptaan melalui kontemplasi artistik terlebih dahulu; tak
sembarangan berbuat tanpa melalui pendalaman; menoleh pasar sebagai
pertimbangan akhir.
Mengacu pada pendapat Martin Hatch
(1983), posisi Yockie berada pada lahan pop berat (heavy pop) dimana salah satu kriterianya terletak pada lirik lagu
yang puitik, panjang dan rumit karena bertumpu pada pemilihan diksi yang tak
akrab dalam bahasa umum. Ini berbeda dengan pop ringan (light pop) yang liriknya mudah dicerna seperti pada lagu-lagu Koes
Plus, A Riyanto, dan Rinto Harahap. Kriteria lainnya menurut Hatch, pop berat
akrab dengan improvisasi musikal hingga tak jarang dituding sebagai anomali
dalam perspektif musik pop di Tanah Air.
Bukti mutakhir adalah album Yockie
bertajuk Perjalanan Waktu (Greenland
Indonesia, 2015). Di situ mencuat kesan kuat Yockie melakukan penafsiran ulang terhadap
kreativitas bermusiknya sejak tahun 1970-an dan sekarang disemburkannya dengan perspektif
kekinian atau di kalangan musisi sekolahan lebih dikenal dengan sebutan
kontemporer.
Perjalanan
Waktu adalah jenis album yang diikat oleh koherensi
baik dari segi alat musik, komposisi, alur, maupun dari bait-bait lirik yang
menyertai keseluruhan lagu di album tersebut. Selain itu, Perjalanan Waktu juga mencerminkan
gagasan, pendirian, dan sikap Yockie dalam merespons wilayah musikal yang
melingkupinya.
Dalam pengertian tersebut, Perjalanan Waktu dapat digolongkan
sebagai sebuah album yang menggarisbawahi konsep subyektivisme Yockie. Maksudnya,
keseluruhan lagu dalam album ini meski melibatkan begitu banyak musisi dan
seniman lain tetap menjadi bentuk pengejawantahan kreativitas tunggal, personal,
dan subyektif dari Yockie.
Kemerdekaan Seniman Musik
Angin Malam menjadi lagu
pertama album Perjalanan Waktu. Lagu
yang populer di tahun 1980-an itu dihadirkan kembali dengan sentuhan baru,
diawali alunan manis baby saxophone. Karya garapan Yockie bersama Erros Djarot dan Harry Sabar
itu, dikulik ulang menjadi lebih emosional. Suasana kasmaran yang menyelimuti versi lama Angin Malam, sekarang oleh Yockie
disusupi derak musikal pergulatan batin mendalam.
Serentetan lagu lain di album ini menunjukkan
sikap merdeka Yockie dalam bermusik. Di situ ia menghadirkan pemahamannya tentang
sejarah, lingkungan, dan kepribadiannya sendiri. Sikap hidupnya tertuang jelas
di sepenggal bait lagu Berhala Bulan (vokal
diisi Yockie & Aning Katamsi) yang
bernuansa rock: “Jiwaku menolak pada kepasrahan sia-sia.”
Dalam kemerdekaannya, Yockie melangkahi
berbagai belenggu, termasuk institusi perusahaan rekaman, menolak musik arus utama, dan segala yang
sedang trendy.
Lagu-lagu lain yang tersua dalam Perjalanan Waktu adalah Bergeraklah (vokalis Bagus Netral); Jaman Edan, Sing Sabar, Merdeka tapi Gelisah, dan lagu epik Terbanglah Rajawali. Menyimak
karya-karya Yockie di album ini
kita seolah dibawa ke dunia lain yang damai,
penuh cinta pada Tuhan dan sesama, serta harapan tentang hari depan
yang jauh lebih baik.
Salah satu keistimewaan lagu-lagu
ciptaan Yockie terletak pada kemampuannya menghadirkan keterkaitan vokal dan musik.
Sungguh bukan perkara mudah memunculkan hubungan yang harmonis antara vokal
penyanyi dengan bunyi yang dihasilkan instrumen.
Di dalam tradisi tembang atau sekar, suara pesinden sangat ditonjolkan.
Ini menuntut kemampuan vokal yang hebat. Demikian pula pada album terbaru
Yockie. Para vokalisnya bukan abal-abal. Kendati demikian, Yockie adalah musisi
sejati dengan egoisme tinggi pada dominasi bunyi instrumen musik. Pada titik
inilah diperlukan perenungan untuk terjadinya keseimbangan artistik. Hasilnyal,
vokal sebagai tradisi sekar sangat
dihargai oleh Yockie untuk berkelindan dengan musik ciptaannya (tampak pada
lagu-lagu Tetap Padamu; Bergeraklah;
dan Berhala Bulan).
Perjalanan
Waktu bisa jadi merupakan konkretisasi dari
gagasan besar Yockie seperti tercermin
dari pernyataanya saat menerima penghargaan Anugerah Musik Indonesia 2012 untuk
kategori lifetime achievement. Di situ
ia mengatakan, “Mengolah musik itu bukan sekadar mengolah nada tapi bagaimana
kita mengolah persoalan di lingkungan sekitar hidup kita sendiri. Dengan
persoalan itu kita akan menemukan karakter kita sebagai orang Indonesia dan
mudah-mudahan kita menemukan nada yang Indonesia.”
Pandangan Yockie ini sejalur dengan kegelisahan
almarhum Harry Roesli dan barangkali juga mendiang Slamet Abdul Sjukur. Mereka adalah
seniman-seniman yang tiada henti berikhtiar mencari “nada yang Indonesia”.
Itulah cakrawala keindonesiaan.
Itulah ideologi seorang musisi dalam bingkai keindonesiaan. Dalam konteks ini,
Yockie Suryoprayogo, yang hingga kini terus
bergulat dengan gagasan-gagasannya, dan para musisi lain yang berkutat dalam
perspektif keindonesiaan, adalah ideolog musik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar