Langsung ke konten utama

Suluk Sungai, Tubuh-tubuh yang Mengembara


Pertunjukan Suluk Sungai  Ahad, 30 Oktober 2016 di  Hutan Kota Sangga Buana, Lebak Bulus, Jakarta Selatan   menandai dimulainya rangkaian acara  Indonesian Dance Festival (IDF) 2016. Suluk Sungai karya Abdullah Wong  adalah sebuah sajian seni tari  yang berkehendak memperlihatkan  adanya saling-silang  antara tubuh dengan dunia sekitar.
Suluk Sungai  berkisah tentang  takdir tubuh serta penghayatan atas takdir tersebut. Pertunjukan dibuka dengan  adegan empat tubuh  terbungkus rapat  plastik tebal, teronggok   di pucuk empat batang pohon besar yang terpancang di beberapa titik  kubangan air  setinggi lutut. Selain keempat tubuh tersebut, terdapat satu tubuh lain yang berbalut kain putih; tubuh ini yang bergerak bebas, mengamati secara seksama   gerak-gerik tubuh-tubuh terbungkus plastik, dari balik pohon di tepi kubangan. 
Tubuh terbalut kain putih, pelan tapi pasti menuruni pohon, lalu menceburkan diri ke kubangan, mengitari batang-batang pohon  dan dengan gerakan-gerakan serupa tarian, memukul-mukulkan selendangnya secara ritmis pada keempat batang pohon yang di atasnya teronggok tubuh-tubuh terbungkus plastik. Mendapat  pukulan selendang yang bertubi-tubi,  empat tubuh terbungkus plastik tersentak dan  bergerak-gerak seolah baru terbangun dari tidur panjang.
Keempat tubuh kompak  merobek plastik pembungkus, berdiri tegak, merapal kata-kata “entah yang tak berkesudahan”  lalu menceburkan diri ke kubangan. Tubuh-tubuh  mulai   bergerak acak ke segala penjuru. Sayang, keempat tubuh tak bisa bergerak terlalu jauh karena ternyata  keempat tubuh itu,   terikat kuat oleh tali tambang yang terhubung dengan batang-batang pohon tempat di mana masing-masing tubuh berada.  
Menyadari adanya keterikatan antara tubuh dengan batang pohon, tubuh-tubuh mulai berjuang untuk melepaskan diri;  begitu kuat ikatan tali, tubuh-tubuh bahkan merobohkan sendiri batang-batang pohon, lalu dengan susah payah menyeretnya kesana kemari  mengikuti pergerakan tubuh masing-masing.
Upaya untuk dapat terbebas dari ikatan  akhirnya berhasil. Tubuh-tubuh merayakan kebebasan dengan berkeliling ke setiap penjuru kubangan. Menariknya, setelah terbebas, tubuh-tubuh bukannya menjauhi batang pohon, tubuh-tubuh justru kembali menaiki batang pohon tempat tubuh-tubuh semula menegaskan beradaannya, sebelum kemudian tubuh-tubuh itu    berdiri  tegak seperti   merayakan makna kebertubuhan yang baru.
Tubuh dan dunia
Suluk Sungai menyiratkan hal penting ihwal kait-kelindang tubuh dengan dunia. Tubuh seperti dipaparkan Suluk Sungai,  tak dapat dilepaskan dari situasi konkret yang menjadi asal-mula keberadaan tubuh dalam artian tubuh memiliki keterikatan  hakiki  dengan situasi-situasi konkret yang menjadi lingkungannya sendiri. 
Tubuh, seperti pernah dipaparkan filosof Maurice Merleau-Ponty, tak semata  bagian  tak terpisahkan dari dunia konkret yang melingkupinya,  lebih dari  itu tubuh adalah  perwujudan dari dunia konkret itu sendiri. Tubuh tak mengambill jarak dengan dunia; tubuh menghadapi dunia secara  langsung tanpa perlu perantara apapun.  
Pelbagai pemikiran dan refleksi tak lahir dari sesuatu yang melampaui tubuh. Sebaliknya, aneka gagasan, permenungan, bahkan pandangan tentang kekuasaan  seperti ditegaskan Michel Foucault, tercipta, tumbuh, dan berkembang  melalui sekujur tubuh  yang, di antaranya, tercermin  dalam apa yang kita kenal sebagai bahasa sehari-hari.

Tubuh senantiasa dalam pergerakan hingga sampai pada tapal batasnya   yaitu kematian. Tubuh dengan demikian  tak pernah tetap, selalu dalam perubahan, dan selalu mampu menggapai kebebasan. Lantas, apa makna kebebasan dalam tubuh? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya